Polemik Penegakan Syariat Agama

 Polemik Penegakan Syariat Agama

Refleksi Output Puasa Ramadan dalam Ketaatan Beribadah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Penegakan syariat menjadi topik yang kerap kita dapati dalam berbagai literatur, diskusi, maupun obrolan santai. Topik tersebut hampir selalu relevan untuk diperbincangkan. Hal ini ditengarahi oleh sikap mereka yang hendak menegakkannya di tiap-tiap fenomena sosial-budaya teraktual.

Maka tidak jarang ketika tengah ada fenomena sosial-budaya, mereka melulu menyodorkan tanya dalil yang mendasarinya. Bagi mereka, keberadaan dalil jadi indikasi fenomena sesuai tuntunan-Nya atau tauladan Kanjeng Nabi Muhammad.

Saya menyebut lebih tepatnya adalah tafsir sesuai kelompok dan kepentingannya. Tentu saja hal semacam ini memicu polemik.

Tidak sedikit memang yang mendukung penegakan syariat di negeri ini. Bagi mereka ini diturunkan kepada manusia untuk ditegakkan dan penegakkannya mesti tegas, sesuai rambu-rambu tafsir dari syariat tersebut.

Tetapi di sisi lain banyak juga pihak-pihak yang mengkritik dan menolaknya karena dinilai tidak relevan dengan konteks sosial zamannya. Hal ini mengacu pada posisi syariat yang dapat digunakan sampai akhir zaman, maka syariat mesti ditafsiri sesuai dengan keadaan zamannya.

Syariat untuk Mengatur Manusia

Pada dasarnya, syariat memang diperuntukkan kepada manusia. Orientasinya supaya manusia dapat menuai hidup yang ayem, tentrem, mulyo, dan tinoto baik di dunia maupun kehidupan setelahnya.

Dia Yang Maha Kuasa tidak berkepentingan terhadap tegak dan tidaknya syariat. Untuk topik ini, ada beberapa dalil penguatnya yang bisa digali dari ayat-ayat di kitab suci. Seperti misalnya di surah Al-Isra’ ayat 7, surah Al-Luqman ayat 12, dan surah Hud ayat 118.

Di hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim juga ditemukan topik serupa. Bahwa ketaqwaan atau kemaksiatan seluruh manusia dan jin sekali pun, tidak akan pernah mengurangi Maha Kuasa-Nya.

Jika memang diperuntukkan kepada manusia, lantas kenapa manusia saling berseteru? Apa yang jadi pemicu seteru, debat, dan polemik jika sumber yang digunakan itu sama, Alquran dan hadis Kanjeng Nabi Muhammad?

Edi AH Iyubenu dalam bukunya Berislam dengan Akal Sehat (2020) memberi gugatan serupa. Salah satu artikel di buku itu, “Syariat Bukan Kepentingan Allah Swt, Tapi Kita” memberi gambaran yang kontradiksi dalam konteks penerapan syariat.

Ambisi dari Kelompok Tertentu

Mengutip pernyataan yang ditulis: “Kita bisa menukil ayat dan hadis apa saja pada suatu konteks hukum dan mengatakannya sebagai “inilah syariat Allah SWT.”, tetapi tepat di detik yang sama, kita tergulung dalam gelora ambisi kita dan kelompok kita sendiri hingga berseteru dengan liyan dan kelompok lainnya.” Pernyataan ini menemukan kesesuaiannya di setiap kejadian berbalut narasi agama.

Barangkali pernyataan tersebut juga mengisyaratkan dua pesan yang saling berkelindan. Pertama, tentang argumentasi agama yang sifatnya tafsir dan multitafsir.

Kelompok yang mendukung penegakan syariat memosisikan tafsir sebagai keharusan untuk ditunaikan, padahal tafsir sifatnya relatif. Oleh karena ayat yang sama dapat peroleh penafsiran beragam dari berbagai ulama dan cendekia, tergantung pada latar si penafsir, kecakapan keilmuan, dan kepentingannya.

Kedua, hampir bisa ditemukan nalar klaim kebenaran di setiap penegakan syariat. Bagi mereka yang mendukung, keberadaannya di bumi dinilai sebagai wakil Tuhan yang absah. Nalar semacam ini yang kemudian memicu munculnya polemik sampai adanya benturan fisik.

Maka, kata Edi AH Iyubenu: “… semakin luas dan dalam ilmu seseorang, semakin lengkap fondasi perspektifnya atas suatu hal.” Mungkin memang demikian, bila penegakan syariat bertujuan pada kemanfaatan pada hidup manusia, maka kepemilikan ilmu pengetahuan yang dalam dan beragam menjadi mesti untuk dilakukan.

Wallahul’alam

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *