Polemik Kerukunan Beragama di Masa Orde Baru
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sekira bulan Juli 1976, Presiden Soeharto berpidato pada momen Kongres ke-8 di hadapan Dewan Gereja Indonesia di Salatiga.
Pidatonya itu membahas perihal kerukunan umat beragama yang mesti diprioritaskan oleh pihak-pihak yang bergelut serius di bidang agama.
Pasalnya pada tahun-tahun sebelumnya, beberapa konflik antar umat agama meletus yang dampaknya tidak hanya merusak fasilitas publik, tetapi juga memakan korban jiwa dari mereka yang tidak bersalah.
Beberapa konflik tersebut di antaranya pernah terjadi di Aceh pada Juli 1967 yang dikenal sebagai Peristiwa Meulaboh.
Di Makassar terjadi pada 1 Oktober di tahun yang sama. Tahun berikutnya di bulan Septermber, konflik antar umat beragama meletus di Asahan, Sumatera Utara. Kemudian pada 28 April 1969 konflik terjadi di Slipi Jakarta.
Konflik-konflik ini secara garis besar ditengarahi karena pendirian tempat beribadah yang diakumulasi dengan pernyataan agamawan yang dinilai sebagian pihak telah menistakan agama lain.
Mereka yang berkonflik umumnya terjadi antara pemeluk agama Islam dengan agama Kristen.
Kendati data menunjukkan angka konflik umat beragama di masa itu tidak sebanyak dewasa ini, namun pemerintah Orde Baru merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan demi menjaga stabilitas keamanan negara.
Sejumlah isu tertentu yang dirasa pemerintah bisa menyulut konflik antar umat beragama peroleh perhatian serius.
Seperti isu penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar keagamaan, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan dan pendirian rumah Ibadah. Isu-isu ini lantas dibuatkan regulasi oleh pemerintah.
Sebelum itu, melalui Menteri Agama Mohammad Dachlan, para pemuka agama diundang untuk duduk dalam satu meja.
Mereka diajak untuk bersama-sama menemukan pemecahan adanya polemik antar umat beragama ini. Momen ini terjadi pada 30 November 1967.
Hadir juga kala itu Presiden Soeharto sekaligus menyampaikan pidato. Pidatonya terdokumentasikan di Departemen Agama RI dalam Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (2009).
Saya rasa ada kalimat menarik yang perlu digarisbawahi. Katanya,
“Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui bahwa musyawarah antaragama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di berbagai daerah yang mengarah pada pertentangan-pertentangan agama.”
Ternyata di masa itu, formulasi kehidupan yang harmonis baru menjadi perhatian serius pemerintah saat konflik antar umat beragama telah terjadi.
Pada momen itu juga Mohammad Dachlan melalui pidatonya menyampaikan konsepsi kerukunan yang dikemudian hari kerap dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru.
Konsepsi kerukunan itu menyangkut tentang; kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Adapun beberapa pokok yang dibahas pada pertemuan tersebut secara garis besar ada dua hal.
Pertama, propaganda agama boleh dilakukan selama tidak bertujuan untuk menambah kuantitas pemeluk agamanya.
Tetapi untuk memberi pemahaman mendalam terkait agama yang dianut.
Bahasan pertama ini bagi kalangan muslim di masa itu dinilai bertentangan dengan syiar dakwah Islam.
Pokok bahasan selanjutnya, propaganda agama boleh dilakukan di daerah-daerah yang belum memeluk agama yang telah peroleh cap resmi dari pemerintah.
Hal ini tentu saja secara tidak langsung, akan menuai banyak konflik. Tidak hanya antara agama resmi pemerintah, tetapi juga penganut agama lokal setempat.
Pada akhirnya, pertemuan ini gagal mencapai mufakat. Meski begitu, pemerintah Orde Baru mengeluarkan regulasi SKB 2 Menteri tahun 1969 berdasarkan pokok bahasan tersebut.
Regulasi yang diharapkan pemerintah Orde Baru bisa menjaga stabilitas nasional.
Kita bisa membaca regulasi tersebut memang berdampak pada seluruh umat beragama di masa Orde Baru.
Tetapi bukan didasarkan pada kesadaran untuk hidup rukun, harmonis. Melainkan malah melahirkan rasa takut.
Karena setiap konflik yang terjadi, entah benar atau salah sama-sama dikenai sangksi karena itu tadi, mengganggu stabilitas negara. Begitu. []