Pluralisme Dalam Al Qur’an
وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-Hujurat: 13)
Dalam Al Qur’an ada beberapa kata yang biasa digunakan untuk menyebut manusia, yang secara garis besarnya dibagi menjadi tiga, yaitu; Pertama, menggunakan kata yang terdiri dari tiga huruf: alif, nun, dan sin seperti insan, ins, nas, anasy, insiy, dan unas. Kedua, menggunakan kata basyar dan Ketiga, menggunakan kata bani adam atau zurriyatu adam.
Kata insan memiliki tiga asal kata, pertama, anasa yang berarti melihat, mengetahui dan meminta izin, kedua, nasiyayang berarti lupa dan ketiga, al-uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Makna pertama menunjuk pada kemampuan manusia sebagai mahluk yang memiliki nalar dan beradab. Makna kedua menunjuk pada manusia sebagai mahluk yang memiliki kesadaran, makna ketiga, menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk yang bisa diatur, dengan kata lain manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan, baik perubahan sosial maupun alamiah. Ia juga adalah mahluk yang berbudaya tidak liar, memiliki etika, sopan santun dan lain-lain.
Dalam Al Qur’an, kata insan disebut 65 kali, dari penyebutan sebanyak itu, insan memiliki tiga makna, pertama,dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah dan pemikul amanah serta tanggungjawab. Sebagai khalifah, ia dibekali ilmu pengetahuan, kedua, dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia seperti cenderung zalim, kafir, tergesa-gesa dan lain-lain, ketiga, berkaitan dengan asal mula penciptaan manusia dan klasifikasinya seperti diciptakan dari tanah dan terdiri dari laki-laki dan perempuan seperti yang terdapat dalam ini.
Kata syu’ub merupakan bentuk plural dari kata sy’aba yang berarti golongan atau cabang. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menyebut danau atau oase dimana beberapa kanal bertemu dan kanal-kanal menyalurkan air. Kemudian kata ini digunakan juga untuk sekumpulan manusia yang beragam identitasnya, namun bertemu karena kemanusiaannya.
Sedangakan kata Qoba’il merupakan bentuk jama’ dari kata qobilah yang berarti sekumpul orang yang bertemu yang satu sama lainnya bisa saling menerima. Kata ini terbentuk dari asal tiga huruf; qof, ba, dan dal yang membentuk beberapa kalimat dengan makna yang beragam seperti qoblu: belum dan lawannya: ba’du: sudah. Qoblu bisa juga berarti menghadap ke depan (seperti qubul [kelamin depan] dan lawannya adalah dubur; belakang [saluran belakang manusia]). Bentuk lainnya seperti qobala yang berarti menerima, qublah yang berarti mencium, taqabala yang berarti menghadap.
Dengan kata lain, kata qoba’il selalu menunjuk pada dua pihak atau lebih yang saling berpasangan atau berhadap-hadapan. Karena itu manusia sejak dari awal diciptakan dengan ‘kanal-kanal’ yang berbeda. Namun meski ia berbeda pada hakekatnya ia adalah mahluk interdepedensi (sosial) yang saling bergantung satu sama lainnya. Inilah salah satu dari makna pluralisme atau keberagaman.
Ayat ini turun sebagai jawaban atas respon atas pandangan sempit sebagai sahabat terhadap fenomena pluralisme identitas kulit dan kedudukan. Sebagai akibatnya mereka memandang secara diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda warna kulitnya dan kedudukannya. Hal ini seperti terjadi dengan politik apartheid dan budaya feodal di Jawa. Pandangan tersebut kemudian melahirkan sikap diskriminatif terhadap orang lain, sehingga berakibat pada misalnya, pemberian kesempatan yang tidak sama,pembasmian etnis dan kecuriagaan atau prasangka seperti yang disinyalir oleh ayat sebelumnya.
Dalam khazanah kita dikenal istilah Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda tapi tetap satu. Istilah ini untuk mendeskripsikan dan sebagai petunjuk bahwa ‘bapak-ibu pendiri’ bangsa ini sadar akan keragaman bangsa Indonesia ini. Dalam istilah modern Bhineka (kemajemukan) ini kemudian sering diterjemahkan dengan pluralisme.Dalam wacana modernitas, pluralisme merupakan bentuk kesadaran baru yang mulai mengubah paradigma lama yang monolitik dalam doktrin agama, sosial-politik dan lainnya yang ditumbuhkan untuk perdamaian dan kerjasama serta menghilangkan prasangka dan truth claim. Sejarah mencatat bahwa akibat kurangnya kesadaran tersebut, beberapa konflik terus menghiasi panggung dunia.
Istilah pluralisme sendiri sebenarnya berasal dari bahasa latin; pluralis yang berarti jamak. Lawan katanya adalah monisme, dualisme atau uniter. Pluralisme berarti suatu pandangan bahwa realitas itu tidak tunggal, tetapi berlapis secara independen dengan keutuhannya masing-masing. Dalam bahasa agama islam seperti tersurat dalam ayat di atas, kemajemukan merupakan sunnatullah atau taqdir. Pluralisme adalah sebuah keniscayaan, apalagi kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang benar-benar tunggal, tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Bahkan istilah persatuan (keadaan bersatu) sebenarnya kebanyakan terjadi dalam keadaan berbeda-beda.
Pluralisme terdapat dalam berbagai hal; agama, kebenaran, kebudayaan, ilmu, ras, dan lain sebagainya. Pluralisme juga dapat dijumpai dimana-mana, karena pluralisme adalah sebuah taqdir, maka kesadaran pluralisme tidak melulu dan berhenti pada percaya akan adanya kemajemukan, tapi lebih jauh dari itu adalah keterlibatan aktif di dalamnya. Seorang pluralis adalah orang yang dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan. Maka sikap yang harus dikembangkan bukanlah su’udzan (buruk sangka), tapi husnudzan, sehingga pemahaman pluralisme bukan saja menghendaki adanya pengakuan eksistensi dan hak-hak orang lain, tapi lebih dari itu adalah terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami perbedaan tersebut. Karena al-qur’an secara jelas menegaskan bahwa perbedaan itu agar diketahui dan dikenali.
Mengenali perbedaan sangat penting, sebab tanpa mengenali ini, maka manusia akan menuai kegagalan dalam kemanusiaannya. Konflik dan tragedi kemanusiaan adalah buah atau hasil langsung dari kegagalan tersebut. Dalam beberapa teks al-qur’an, pluralisme bukan saja kehendak Tuhan, tapi juga kehendak sejarah (Qs. Al-Maidah [5];48, Hud [11]; 118) dan semua itu dimaksudkan agar manusia berlomba-lomba dalam mencari dan menempuh kebaikan (Qs. Al-Baqarah [2]; 147) dan saling mengenal potensi masing-masing sehingga tumbuh sikap bersama yang sehat seperti menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk mewujudkan kemaslahatan di masyarakat dan saling menutup kekurangan masing-masing. Dalam ayat ini juga ditegaskan, keunggulan seseorang tidak ditentukan oleh warna kulit dan lainnya, tapi prestasi baiknya yang secara singkat dideskripsikan dengan istilah taqwa.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pluralisme bukan berarti relativisme absolut dan singkretisme. Sebab, pluralisme bukan berarti menafikan adanya persamaan dan kebenaran yang relatif universal. Dalam setiap perbedaan pasti ada persamaan dan kesatuan. Hal ini seperti ditegaskan sebelumnya, persamaan itu adalah pada kemanusiaannya. Oleh karena itu agar tidak terjatuh pada pluralisme yang mengarah pada relativisme, maka seorang pluralis dituntut untuk commited terhadap apa yang diyakininya. Kemudian pluralisme bukan berarti mencampur adukkan dan memadukan unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan dan mengarah pada pengaburan, tapi lebih dari itu adalah bagaimana perbedaan itu memperkaya pengalaman.