Plt Gubernur Aceh Ungkap 7 Alasan Dayah/Pesantren Jadi Kunci Penting Perdamaian Aceh
HIDAYATUNA.COM, Banda Aceh – Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah saat memberikan sambutan dalam upacara peringatan Hari Santri 2019 yang berlangsung di lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Kamis 24 Oktober 2019, menegaskan bahwa antar sesama umat Islam di Aceh, diakui atau tidak, pola kekerasan dan cara-cara anarkhis akan dapat menciderai pelaksanaan syariat Islam dan mengganggu keberlangsungan perdamaian di Aceh.
“Sikap bijak itu menjadi kunci penting dalam rangka merawat perdamaian dan mewujudkan keadilan di Aceh. Semangat ini pula yang memungkinkan para santri dayah atau pesantren untuk berkontribusi dalam mengawal dan memperkuat syariat Islam di Aceh,” paparnya.
Selain itu, ia menyampaikan ada tujuh alasan utama mengapa dayah atau pesantren menjadi kunci penting dalam memperkuat pelaksanaan syariat Islam dan merawat perdamaian di Aceh, sebagai modal membangun negeri.
“Pertama, pelaksanaan syariat Islam dan perdamaian di Aceh adalah sebuah nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah SWT yang patut disyukuri. Dan perjuangan mewujudkan formalisasi syariat Islam dan perdamaian di Aceh tidak terlepas dari peran dayah atau pesantren. Para alim ulama, para abu dengan elemen masyarakat Aceh lainnya, secara bersama-sama memperjuangkan agar syariat Islam dapat diterapkan secara legal formal di Aceh,” ungkapnya.
Menuai ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Perjuangan kalangan dayah tidak hanya berakhir sampai di situ. Di saat konflik yang berkepanjangan terjadi di Aceh, para Abu dan pimpinan dayah juga sangat berperan melalui kontribusi pemikirannya untuk menciptakan keharmonisan dan perdamaian.
Dialog serta negosiasi damai antara Aceh dan Pemerintah Pusat, dalam pandangannya, secara kontinyu melibatkan kalangan dayah di Aceh, yang pada akhirnya kesadaran mewujudkan perdamaian berujung dengan lahirnya MoU Helsinki yang kemudian ditetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Disadari bahwa, sampai kini pun komitmen santri Aceh untuk memperkuat Syariat Islam dan merawat damai di Aceh, tidak akan lekang karena panas dan tidak akan pernah lapuk karena hujan.
“Kedua, para santri di dayah atau pesantren biasanya diajarkan pengabdian atau khidmah. Pola ini merupakan ruh dan prinsip yang penuh dedikasi. Loyalitas ini ditunjukkan para santri, baik kepada gurunya, kepada lembaga tempat santri menuntut ilmu, maupun pengabdian kepada masyarakat. Karena di dayah/pesantren para santri dibingkai paradigma tentang etika beragama sekaligus realitas kebutuhan sosial masyarakat,” katanya.
Ketiga, dalam proses transfer ilmu, baik melalui mengaji maupun mengkaji, selain didapatkan secara langsung dari para Abu di dayah juga diterapkan keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab. Sejatinya, sampai kajian lintas mazhab itu dipahami. Hal ini akan dinilai akan membentuk santri berkarakter terbuka. Metode ini juga yang memungkinkan para santri dapat belajar dalam menerima perbedaan.
“Keempat, kemandirian para santri yang diajarkan di dayah atau pesantren dapat memupuk sikap solidaritas, kepedulian, dan kebersamaan antar sesama santri. Kelima, adanya tradisi seperti seni berpidato (muhadharah) yang tumbuh berkembang di dayah atau pesantren akan berpengaruh bagi karakter kepribadian seseorang. Sebab, dapat mengekpresikan prilaku yang mengedepankan pesan syariat Islam dan perdamaian,” jelasnya.
Keenam, lanjutnya, salah satu fenomena menantang dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah perkembangan zaman yang bergerak sangat progresif telah melahirkan banyak permasalahan. Era milenial saat ini yang ditandai dengan kemajuan bidang teknologi dan komunikasi, terbukti berhasil menyebarkan paham-paham konstruktif maupun destruktif yang pada gilirannya dunia terasa begitu kecil dan sempit.
“Paham liberalisme, materialisme, dan hedonisme tak terasa telah memasuki ruang dan rumah kita. Di tengah zaman yang semakin pragmatis ini, maka dayah atau pesantren menjadi ruang yang sangat kondusif untuk menjaga khazanah kearifan lokal sekaligus memperkuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Ketujug adalah prinsip kemashlahatan ummat merupakan pegangan tak tergoyahkan di kalangan dayah atau pesantren. “Prinsip ini yang selama ini menjadi spirit tersendiri para santri terutama dalam merawat perdamaian agar berkekalan di Aceh,” ungkapnya.
Dalam memperkuat implementasi syariat Islam dan merawat perdamaian di Aceh, pelaksanaan program pembangunan Aceh Hebat yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2017-2022 menjadi momentum bagi seluruh elemen masyarakat terutama para santri, agar turut berperan aktif mendukung dan menyukseskan pembangunan di Aceh. Semua ini perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan Aceh menjadi negeri baldatun thaiyibatun warabbun ghafur.
“Pada kesempatan ini kita juga patut bersyukur karena peringatan Hari Santri tahun ini telah memberikan nuansa berbeda dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Kehadiran undang-undang ini tentu akan berdampak positif bagi kemajuan pesantren pada masa yang akan datang. Undang-undang ini sekaligus telah menjustifikasikan eksistensi dayah/pesantren sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional,” tukasnya.