Pitutur Islam di Balik Layar Kisah Seribu Satu Malam

 Pitutur Islam di Balik Layar Kisah Seribu Satu Malam

Kisah Salman Al-Farisi Ketika Masuk Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dalam Islam kita mengenal serangkaian pitutur yang memiliki nilai manfaat bagi umat manusia sesudahnya. Pitutur itu terbaca dan terbukukan oleh banyak penulis dari generasi ke generasi.

Bahkan pitutur tersebut tidak hanya ditemukan pada ayat-ayat di kitab suci atau suri tauladan dari para nabi. Akan tetapi juga bisa ditemukan dalam rangkaian cerita seperti halnya di buku Kisah Seribu Satu Malam.

Buku ini selain memiliki pitutur mengenai kebaikan juga dinilai sebagai salah satu bukti konkret kejayaan dari sisi seni sastra dalam ajaran Islam. Mungkin Kisah Seribu Satu Malam menjadi satu-satunya buku yang peroleh banyak perhatian dari pembaca, pengamat, peneliti, penulis, dan sastrawan dibandingkan buku-buku sastra lainnya.

Rusydi Khalid dalam artikelnya Mengenal Kisah Seribu Satu Malam (1998) memberi keterangan bahwa, salah satu musabab mashurnya karya sastra Islam ini. Hal ini pun memicu banyak perhatian dari berbagai pihak ialah persentuhan antara peradaban Islam dan Barat.

Saat itu peradaban Islam di Barat mulai berangsur-angsur menurun, Barat pelan-pelan mulai mengadaptasi dengan cara menerjemahkan karya-karya ilmuwan muslim. Dalam konteks seni sastra, tiga buku yang diterjemahkan; Alf Lailah wa Lailah, Khalilah wa Dimnah, dan Risalat Hayy bin Yaqzhan.

***

Alf Lailah wa Lailah sendiri ditulis oleh Abu Abdillah bin Abdus al-Jahsyiyari (942 M). Ia menulis berdasarkan kumpulan cerita dari tanah Persia, Hazar Afsana yang disadur dari sastra India.

Ia juga membubuhkan berbagai cerita lain dari Arab, Yahudi, dan sebagainya lantas diserasikan. Lantaran supaya enak dibaca dan memiliki rangkaian benang merah yang proporsional. Dari itu semua kemudian terkumpul sebanyak 264 cerita.

Alf Lailah wa Lailah mulai dikenal masyarakat Barat pasca diterjemahkan oleh Jean Antoine Galland (1646-1715) ke bahasa Perancis. Naskah tersebut ditemukan Galland dalam rangka menyalurkan hobinya sebagai kolektor benda purbakala, selain kerja pokoknya sebagai Sekretaris Kedutaan Perancis di Timur Tengah.

Saat kali pertama ditemukan, naskah tersebut tertulis bertahun 1548 dan dinilai sebagai naskah tertua yang pernah ia temukan. Dari penemuan naskah yang dilakukan Galland dengan penulisan al-Jahsyiyari memiliki jarak sekitar 5 abad.

Jarak tersebut terbilang cukup lama untuk ukuran eksistensi sebuah karya sastra. Barangkali, jika Alf Lailah wa Lailah tidak memiliki kualitas paripurna sebagai seni sastra, naskahnya tidak akan bisa bertahan lama karena diabaikan.

***

Dari Galland ini, secara berurutan Alf Lailah wa Lailah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Galland sendiri menerjemahkannya ke dalam 12 jilid yang kemudian oleh R. Heron diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Arabian Nights sejumlah 4 jilid pada 1792. Dilanjutkan William Beloe pada 1795 dengan jumlah jilid yang sama.

Tetapi terjemahan Beloe ini memuat tambahan dan koreksi dari peneliti orientalis seperti Denis Chavis, Jonathan Scott, Causin de Perceval, dan Edouard Gauttier. Kemudian selanjutnya ada nama E. W. Lane tiga jilid (1840), John Payne lima jilid (1882-1884), Sir Richard Burton sepuluh jilid (1886-1888), dan J. C. Marddrus dengan 16 jilid (1899-1904).

Adapun dalam dunia Islam sendiri, naskah ini pernah diedit oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Syirwani al-Yamani sebanyak dua jilid, pada 1814 dan 1818. Kemudian edisi bahasa Arab yang lengkap diterbitkan dua dekade setelahnya, yakni 1839-1842 sebanyak 4 jidil yang kemudian dikenal sebagai edisi Bulaq.

Sedangkan terjemahan naskah ini ke bahasa Indonesia pertama kali, dilakukan oleh Husain Haddawy dari bahasa Inggri. Sumbernya diambil dari naskah di Syria abad ke-14.

Naskah ini pertama kali diterbitkan dan bisa terbaca oleh masyarakat muslim Indonesia sekitar tahun 1994. Jarak yang terlempau jauh jika dihitung dari penulisan al-Jahsyiyari di abad ke-9.

Perjalanan naskah dari tahun ke tahun tersebut, memungkinkan ada pitutur yang peroleh penyesuaian di sana-sini, kendati pesannya tetap sama. Tapi yang lebih menarik dari itu, saya rasa mengenai kemunculan naskah ini dari Syahrizad, istri Raja Syahriyar.

Bahwa perempuan di masa itu ternyata telah memiliki kecakapan dalam menguasai retorika bercerita, dengan didukung daya ingat yang kuat. Serta kemampuan mencari celah di sela-sela pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

***

Terlepas dari Syahrizad ini tokoh rekaan atau nyata, secara tidak langsung juga membuktikan. Jika perempuan di masa itu selain memiliki pengetahuan yang mumpuni, juga memiliki rasa solidaritas yang cukup erat.

Rusydi Khalid di artikelnya mengatakan, “Syahrizad bersedia dinikahkan dengan Raja untuk menyelamatkan nyawa wanita-wanita muslimat lainnya.”

Belakangan, semangat Syahrizad tentang perempuan yang berpengetahuan dan bersolidaritas. Banyak diejawantahkan ke berbagai bentuk gerakan, organisasi, atau komunitas yang sensitif dengan isu perempuan.

Jika buku Kisah Seribu Satu Malam di masa lalu dinilai sebagai seni sastra paripurna. Maka sekarang, buku tersebut jadi prototipe tentang posisi egaliter umat manusia. Kira-kira begitu.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *