Pesantren Waria, Melihat Mereka sebagai Manusia

 Pesantren Waria, Melihat Mereka sebagai Manusia

Pendidikan Agama untuk Waria (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Ada pesantren yang terbilang langka dan (mungkin) satu-satunya yang ada di Indonesia bahkan dunia, yakni pesantren waria. Lebih familiar dengan pesantren waria al-Fatah yang berlokasikan di Kota Gede Yogyakarta.

Jangankan mendengar pesantren yang bersanding dengan ‘waria’. Anggapan umum ihwal waria saja masih cenderung sinis dan terstigma negatif bahkan cenderung teramat diskriminatif terhadapnya.

Hal ini dibuktikan dengan riset kecil-kecilan yang saya buat kapan lalu melalui insta-story dengan sedikit menyuguhkan pertanyaan. “Apa dan bagaimana menurut teman-teman terkait waria?”

Tidak bermaksud apa pun, pertanyaan tersebut disusun untuk sekadar mengetahui tanggapan teman-teman maya terkait waria. Alhamdulillah, saya memperoleh respon jawaban yang beragam.

Ada yang memberikan jawaban dengan argumen teologis yang menyebut waria seseorang yang menyimpang dari seharusnya. Bahkan sampai menyebutnya (maaf) ‘tolol’ karena menurutnya sudah jelas-jelas haram, dan jahanam tempatnya.

Anggapan Sinis kepada Waria

Tidak hanya itu, beberapa lainnya menyebut begitu risih, merusak gender, unik nan menggelitik, menganggapnya aneh tapi bagaimana pun itu adalah pilihannya. Bahkan ada yang beranggapan yang mampu menjadi waria adalah manusia setengah dewa.

Meskipun beberapa jawaban lainnya terlihat biasa saja, dan beberapa lainnya ingin turut membela hak-hak mereka yang terpinggrikan. Saya sama sekali tidak menyalahkan jawaban yang terlontar begitu saja dari teman-teman pembaca insta-story saya.

Oleh karenanya, betapapun nada yang dimunculkan dengan nada sinis pada kaum waria tetap saja itu berdasar dan memiliki dasar pijakan. Anggapan sinis yang muncul dari mereka acapkali terlahir dari konstruks sosial yang mengakar kuat di kepala.

Bahkan sebelum saya terjun langsung dan mengenal lebih dekat dengan seorang yang mendeklarasikan diri sebagai waria. Saya tidak jauh berbeda dengan mereka yang kerap memunculkan kesinisan dan menyebutnya sebagai orang yang menyimpang secara moral dan agama.

Namun anggapan tersebut runtuh seketika. Saat saya bertemu langsung dan bincang-bincang santai dengan beberapa waria yang juga nyantri di Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta.

Diskriminasi terhadap Kaum Waria

Saya mencoba mengesampingkan prespektif yang tertanam kuat di kepala dengan membiarkan prespektif diri waria sendiri (in sider) untuk bicara. Biar agak keren, hal ini, dalam istilah filsafat disebut dekonstruksi dan dilanjutkan dengan upaya rekonstruksi pemikiran yang telah usang atau runtuh.

Sekali lagi, stigma orang-orang yang cenderung diskriminatif itu tidak lepas dari konstruksi sosial terhadap waria yang acapkali lebih banyak bernada negatif daripada positifnya. Keberadaan waria telah memunculkan ragam rupa prespektif, dan persoalan ini teramat kompleks dan kalut.

Terlebih bila ditinjau dari kacamata religiusitas, ragam pendapatpun berseliweran, dan bahkan muncul anggapan sebagaimana di atas, “menyalahi kodrat dan ketentuanNya”. Namun kalau kita melihat realitas yang terjadi dan menimpa teman-teman waria, dalam hal ini yang menjadi santri di Pondok Pesantren al-Fatah berasal dari latar belakang yang beragam.

Menurut penuturan sang Pengasuh, Ibu Shinta Ratri pun mengatakan bahwa kebanyakan dari waria yang menjadi santri adalah mereka yang telah usia lanjut. Para waria seperti halnya yang lain, yakni manusia yang juga terkadang merindukan belaian Tuhan.

Fenomena waria usia lanjut ini pun tak ubahnya manusia kebanyakan dalam hal ekspresi religiusitas yang mengitarinya. Kita lihat bagaimana masjid, gereja dan tempat peribadatan lainnya yang lebih banyak dipenuhi oleh mereka yang telah mencapai usia matang, yang telah banyak merasakan pahit garam kehidupan.

Begitulah kira-kira yang sampaikan pengasuh pondok pesantren waria tersebut mengapa kebanyakan dari mereka adalah yang telah mencapai usia matang.

Keberadaan Santri Waria di Pondok Pesantren

Namun yang terkadang mengiris hati adalah saat seorang melihat seorang waria yang sedang mengekspresikan keberagamaan yang dilakukan. Seringkali hal ini ditimpali ragam pandangan yang menyudutkan bahkan cenderung deskriminatif.

Oleh karena itu, waria seolah-olah tidak layak untuk merayakan ekspresi keagamaannya dan dianggap telah salah dan tidak akan diterima oleh Allah sejak dalam pikiran dan niatnya. Dengan begitu, dari pandangan tersebut waria dipandang sebagai jenis manusia yang berbeda yang seolah-olah tidak membutuhkan pelukan Allah.

Padahal jikalau kita mau jujur, kebanyakan santri waria masih terlalu terbata-bata dalam membaca Alquran, dan . Begitu jauh dari apa yang dianggap orang-orang sebagai jalan menuju kesalihan.

Bahkan banyak yang telah lupa cara mengeja huruf hijaiyah karena telah lama ditinggalkan, dan segala bentuk tindakan spiritual lainnya yang tidak juga terjamah.

Oleh karenanya, jika para pemuka agama, atau orang-orang muslim pada umumnya saja mendahulukan justifikasi diskriminatif tanpa merangkul para waria. Apa mungkin waria akan semakin dekat dan semakin mengenal dalam upaya mempelajari agama dan ajarannya yang telah lama ditinggalkan?

Ini bukan hanya tentang masalah fiqhiyyah yang juga debatable (bisa diperdebatkan). Namun ini tentang hak waria yang juga harus dipandang sebagai sosok yang sama sebagai seorang manusia yang juga merindukan belaian Allah yang terejawantah dalam laku peribadatan sebagai taqarrub menujNya.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *