Pesantren Nasibmu Kini: Ma’had Al-Islamiy vs Islamic Boarding School
HIDAYATUNA.COM, Kendal – Pesantren merupakan istilah asli Indonesia sehingga tidak bisa dipadankan secara kongruen istilah dari bahasa lain, Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris.
Orang Arab tidak mengenal sistem pesantren seperti yang dianut di Indonesia. Oleh karena itu, istilah yang paling tepat hanyalah “Ma’had Al Islamiy”.
Padahal jelas sekali istilah ini tidak kongruen tapi apalah daya. Ada keterbatasan pada produk kosa katanya, apalagi orang Inggris tentunya.
Dalam perbendaharaan kata mereka, jelas sekali tidak bisa diharapkan pas-nya untuk menemukan padanan kata pesantren. Akhirnya, ditemukanlah istilah yang dianggap paling dekat yaitu Islamic Boarding School. Terjemahan bebasnya hanya “Sekolah Islam Berasrama”. Jelas berbeda sekali, kan?
Namun lagi-lagi karena merupakan asli produk Nusantara, maka kita memang tidak mampu menemukan padanan yang kongruen. Kecuali, pengguna kedua bahasa tersebut mau “menundukkan diri” mengambil atau menyerap kata “pesantren” ke dalam istilah kebahasaan mereka.
Setelah itu, barulah istilah yang diadaptasi atau diadopsi itu diberikan definisi operasional. Nah, kalau seperti itu baru bisa diterima dan bisa mendekati benar, sesuai dengan seharusnya.
Istilah Khas yang Indonesia ‘Banget‘
Walau dalam perkembangannya ada saja sistem ini dicoba untuk diiklankan dengan sebutan yang lebih menjual seperti Boarding School, Rumah Tahfidz, dan sejenis itu. Di sisi lain, dalam kenyataannya, memang kerap kali istilah asli Nusantara dianggap kurang prestisius bahkan diolok-olok sedemikian rupa. Walau pada akhirnya, mereka mau tidak mau kalau ingin diterima, ya, harus menggunakan istilah yang dulunya mereka olok-olok tersebut.
Misalnya, istilah Kiai, istilah ini Indonesia banget. Sebab, di belahan dunia lain tidak ada sebutan serupa dan mereka olok-olok dengan cara yang sadis. Mengungkit kembali sejarah bahwa Kiai itu juga sebutan bagi benda-benda mati, bahkan ada fauna yang diberi gelar Kiai.
Namun, belakangan mereka terpaksa harus mau menggunakan istilah ini karena yang mereka pakai dianggap kurang menjual dalam dakwah. Maka bertebaranlah gelar KH pada orang-orang tertentu yang dulunya tidak dikenal.
Demikian pula ketika mereka memiliki berbagai lembaga pendidikan yang diberi label Islami, namun kurang diminati oleh umat Islam mayoritas maka patut dimaklumi jika kemudian mereka membegal istilah ini bagi lembaganya.
Padahal, istilah ini sangat Indonesia banget, asli tradisi sejak pra Islam, diadaptasi oleh para Wali. Bahkan telah menjadi ciri khas Nahdllatul Ulama (NU) dan sebagian kelompok Islam tradisonal lainnya yang lebih kecil sebagai penerus dakwah para Wali.
Dengan begitu, jika disebutkan kata pesantren, maka terbayanglah bahwa itu NU banget. Sebuah pendidikan warisan tempo dulu khas Nusantara.
Penertiban Pesantren yang Tidak Qualified
Lagi-lagi, setelah mentok tidak mampu menandingi kharisma dari pesantren, maka cara yang dilakukan ialah menamakan diri sebagai pesantren. Tentu saja dari kurikulum, pengajaran, dan menejemennya jelas-jelas bukan seperti yang berlaku di pesantren yang sudah ratusan tahun. Tidak perlu heran jika ditemukan kejanggalan-kejanggalan akibat kasus begal istilah lembaga otoritas keagamanaan tradisional ini.
Jangan heran jika orang tidak bisa mengaji bisa menjadi pendiri pesantren. Tidak usah bingung kalau seorang pengasuh pesantren besar hanya mampu membaca kitab terjemahan di depan publik kemudian dengan ‘pede’-nya mengupas di depan jemaah.
Jangan kaget pemilik pesantren mati gaya dihadapkan dengan kitab kuning, khas pesantren Nusantara. Hingga akhirnya tidak usah gusar jika di kemudian hari mereka berperilaku jauh sekali dari apa yang telah mentradisi dalam pesantren.
Lebih mengerikan lagi ketika pemilik dan atau pemegang pesantren ternyata tidak ngerti makhorijul huruf dan tajwid dasar. Dalam membaca Alquran sebagai sumber hukum primer tertinggi dalam Islam.
Sudah saatnya pemerintah dalam hal ini kementerian agama menertibkan pesantren yang memang tidak qualified disebut sebagai sebuah pesantren. Sebab, resikonya terlalu besar bagi masa depan bangsa Indonesia.
Kejadian saat ini sebaiknya cukup dijadikan pelajaran berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kebebasan yang ada tetap ada koridornya sehingga tidak kebablasan dan membuat banyak kecolongan. Itu bukan bagian dari hak, tetapi bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam melindungi anak bangsanya.
Demikian juga harus ada informasi secara masif, dan memberi edukasi kepada masyarakat agar tidak sembarang memasukkan anak-anak mereka ke pesantren. Harus dicek kurikulum, sanad, dan akhlak dari pengasuh maupun pengajarnya.