Pesantren dan Gerakan Literasi Kaum Sarungan
HIDAYATUNA.COM – Membincang ihwal pondok pesantren, seringkali masih berkutat dari akar historis. Memang, di masa lalu pesantren memiliki kenangan yang cukup manis. Bisa dikatakan, santri menaruh separuh saham di negeri ini, khususnya dalam ranah melepas jeruji kemerdekaan dari kolonial.
Hal tersebut adalah hal yang patut diapresiasi dari pesantren di masa lalu, kaum santri dan kiai secara spesifik. Namun, di hari ini ada tantangan-tantangan yang cukup mendesak dan sangat perlu respon secepat mungkin dari lembaga otoritas keagamaan konvensional itu sendiri.
Lintasan zaman dan waktu, perbedaan sisio-kultural sangat bisa dirasakan. Sementara pesantren terus-menerus dituntut untuk hidup di zaman yang berubah-ubah. Kata lainnya, tantangan yang dihadapi lembaga otoritas keagamaan konvensional pun berubah-ubah pula. Dengan demikian, untuk menjawabnya perlu amunisi-amunisi baru.
Kita tidak lagi hidup di zaman berperang menggunakan senjata tajam, hari ini peperangan justru sangat dingin. Di masa depan ada hal yang lebih menakutkan; peperangan wacana dan serangan dari banyak arah.
Nilai-nilai dalam lembaga otoritas keagamaan ini hendak digerus oleh perang wacana ini sehingga formula yang hendak dibangunnya harus tahan banting. Ditambah lagi, realita yang lebih condong pada desrupsi. Hal-hal semacam itu yang harus dicarikan solusi sekarang.
Pesantren dan Masyarakat
Pesantren masih sangat erat dan berkutat dengan masyarakat. Santri sendiri, meminjam istilah H Syaifudin Zuhri, berasal dari rakyat dan akan kembali ke tanah rakyat.
Ada sisi-sisi di dalam tubuh masyarakat yang hendak direkonstruksi oleh santri, yakni santri akan kembali dan menjadi pioner di dalam masyarakat. Ia hendak dan harus menunjukkan jalan yang sekiranya pantas dilalui masyarakat.
Santri membantu masyarakat menjawab tantangan-tantangannya. Di sinilah andil terbesar pesantren dalam dinamika dan perjalannya sejak awal.
Lalu, apa yang bisa ditawarkan sebagai formulasi pesantren? Agaknya “keadaban literasi” dalam tubuh pesantren penting untuk diterapkan.
Di satu sisi, ini murni sebagai sebuah gagasan atau mungkin bisa disebut pembaharuan. Di sisi yang lain, ini adalah semacam kritik konstruktif bagi wajah pesantren itu tadi.
Kritik di sini dimaksudkan sebagai evaluasi atau bahkan masukan bagi dinamika pesantren. Perlu dicatat, kritik bukan sesuatu yang tabu, ia adalah keniscayaan dalam membangun sebuah konsep yang lebih berkemajuan.
Embrio Literasi Pesantren
Ada dua pemaknaan “literasi” yang dapat kita pahami. Pertama, literasi yang dengan pemaknaan yang sempit tetapi lazim kita temui, yakni sebuah usaha baca-tulis. Kedua, nanti saya akan membawa pembaca pada pemaknaan yang lebih universal ketimbang makna yang pertama.
Untuk masuk dalam tahap pertama ini, perlu kiranya untuk ditarik kembali bagaimana sejatinya embrio literasi di dalam dunia pesantren. Kemudian, bagaimana relasi antara orang-orang pesantren dengan literasi.
Dalam dunia pesantren, secara spesifik di Jawa, tentu mengenal dengan tradisi Arab pegon. Berangkat dari sana bisa kita lacak, bahwa embrio literasi di dalam tubuh pesantren sejatinya sudah ada dan memang tertancap sangat dalam.
Karya-karya tulis menumental, sekadar menyebut, seperti Tafsir al-Ibriz lahir dari tangan-tangan orang pesantren. Dengan begitu, di masa lalu pesantren memiliki titik pijakan yang kuat.
Hal tersebut mengalami semacam keruntuhan pelan-pelan. Dari hal ini yang diharapkan ialah bagaimana orang-orang pesantren kembali mengentalkan literasi. Kegiatan yang bersangkut-paut dengan baca tulis di zaman digital.
Ini adalah formulasi yang hendak dibangun, menghadapi banjir berita dan wacana keagamaan. Pada ujungnya, bermuara pada pemahaman terhadap fakta yang kuat dan sebagai upaya mengisi persaingan wacana keagamaan. Tentunya hal tersebut untuk membangun wacana agama yang lebih akomodatif dan tidak menindas terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang plural.
Sekali lagi, perang hari ini lebih terhadap perang wacana dan saling sikut pemahaman. Maka, literasi dalam pemaknaan yang pertama yang sempit bisa diarahkan ke dalam hal itu.
Makna Universal
Pemaknaan bagi “literasi” yakni sebagai upaya penuh untuk menggunakan rasio. Artinya, selain hanya mengedepankan membaca dan menulis, hendaknya penggunaan rasio yang matang dalam hal ini harus dicarikan siasatnya.
Berpikir secara sistematis adalah yang saya maksud dalam hal ini. Gagasan ini terlihami dari bapak filsafat barat modern, Rene Descartes, yang berusaha semaksimal mungkin mengunakan nalar dan rasio.
Adagium yang masih terkenal yang dibawanya hingga kini, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Ini yang masih sangat minim dalam tubuh pesantren, meski tidak sedikit lembaga otoritas keagamaan konvensional yang memasukkan materi ilmu mantiq yang berkutat dengan logika sebagai bahan kajian keseharian.
Di titik itulah kritik konstruktif hendak dikemukakan. Di pesantren hari ini masih kental dengan sorogan atau bahkan bandongan. Dari kedua poin di atas, sejatinya tetap menjadikan seorang pendidik sebagai pusat.
Implikasinya, hal tersebut mengurangi kekritisan dan penggunaan rasio maksimal santri. Maka, diperlukan literasi yang lebih liberal (baca;bebas) untuk membentuk santri yang ngintelek.
Dengan berpikir dengan sistematis, hal yang terakhir ini dapat terwujud. Hal ini bisa dimulai dengan hal-hal kecil. Semisal pembacaan yang tidak hanya di teks dan kitab klasik, melainkan lebih dari itu. Menelah pemikir-pemikir luar pesantren, akan sangat menentukan di bagian ini.
Puncaknya, adalah menjadi Intelektual organik, sebagaimana gagasan Antonio Gramsci. Tidak lupa juga sebagai sebuah gerakan keadaban literasi dalam tubuh pesantren.
Santri-santri yang dihasilkan dipastikan mampu berdaptasi dengan gerak zaman dengan akal dan rasio yang penuh. Bagaimanapun santri yang sedang berada jauh dari kampungnya adalah rakyat dan akan kembali ke tanah rakyat.
Sumber :
Abid Rohmanu dkk. Nalar Kritis Keberagamaan(IRCiSoD, 2021).
Abu Maskur Penguatan Budaya Literasi di Pesantren(Jurnal Pendidikan Islam Volume 2 No. 01 2019).
Agus Sunyoto Atlas Walisongo(IIMaN, 2018).
Aksin Wijaya Ragam Jalan Memahami Islam(IRCiSoD, 2019).
Andi Arief dan Nezar Patria Antonio Gramsci Negara & Hegemoni(Pustaka Pelajar, 2003).
KH. Saifudin Zuhri Guruku Orang-Orang dari Pesantren(LKiS, 2012).
Zaim Elmubarok dan Darul Qutni Bahasa Arab Pegon Sebagai Tradisi Pemahaman Agama Islam di Pesisir Jawa(Journal of Arabic Learning and Teaching Volume 9 no. 01 2020).