Perundingan Perdamaian AS-Taliban Dibuka Kembali di Qatar

 Perundingan Perdamaian AS-Taliban Dibuka Kembali di Qatar

Amerika Serikat akhirnya membuka kembali perundingan dengan Taliban di Qatar setelah tiga bulan lalu Presiden Donald Trump tiba-tiba menghentikan upaya diplomatik yang dapat mengakhiri perang terpanjang AS itu.

Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, pada hari Sabtu kemarin, utusan perdamaian AS, Zalmay Khalilzad, telah mengadakan pembicaraan resmi yang pertama sejak bulan September lalu dengan kelompok Afghanistan di ibukota Qatar, Doha.

Pembicaraan terbaru ini diharapkan akan membuka jalan bagi pembicaraan langsung antara Taliban dengan pemerintah di Kabul, dan pada akhirnya memungkinkan terciptanya perjanjian perdamaian setelah lebih dari 18 tahun mereka berperang.

“AS bergabung kembali dalam pembicaraan hari ini di Doha. Fokus dari diskusi ini adalah pengurangan aksi kekerasan yang nantinya akan mengarah pada negosiasi intra-Afghanistan dan gencatan senjata,” kata juru bicara itu.

Pertemuan di Doha, tempat dimana kantor politik Taliban berada, akan dilanjutkan dengan beberapa hari pembicaraan di ibukota Afghanistan, Kabul, di mana Khalilzad akan bertemu dengan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani.

Sejauh ini Taliban masih terus menolak pembicaraan langsung dengan Presiden Afghanistan, mereka beralasan bahwa Ghani adalah ‘boneka AS’.

Selama masa penghentian perundingan, Khalilzad dalam beberapa pekan terakhirnya terus melakukan tur ke berbagai negara dengan kepentingan perdamaian Afghanistan, termasuk Pakistan.

Dia baru-baru ini mengatur pertukaran tahanan di mana Taliban telah membebaskan seorang akademisi dari Amerika dan Australia yang telah mereka sandera selama tiga tahun.

Sementara itu, dalam laporan harian militer AS, mengatakan bahwa serangan udara AS pada hari Sabtu malam telah menewaskan 37 anggota kelompok bersenjata, dan operasi yang dilakukan oleh Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan telah menewaskan 22 anggota kelompok bersenjata lainnya.

Taliban, yang kini telah menguasai hampir separuh dari daratan Afghanistan, terus melakukan serangan hampir setiap harinya terhadap pos-pos militer di seluruh penjuru negeri.

Trump telah menyatakan rasa frustrasinya terhadap perang terpanjang yang pernah dialami AS ini, berulang kali ia mengatakan ingin membawa sekitar 12.000 tentara Amerikanya pulang ke rumah dan menyerukan agar polisi dan militer Afghanistan untuk maju dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Sementara itu, pemerintah Afghanistan masih terlibat dalam kebuntuan pemilu terbaru mereka. Hasil poling pemilihan presiden pada tanggal 28 September telah berakhir dengan tuduhan pelanggaran dan korupsi, tanpa adanya hasil yang diumumkan hingga saat ini.

Abdullah, yang menjabat sebagai Ketua Eksekutif Afghanistan dan sekaligus penantang kursi kepresidenan, meminta penghitungan ulang beberapa ratus ribu surat suara, menuduh bahwa lawannya Ghani telah berusaha memanipulasi hasil penghitungan tersebut.

Ghani telah memimpin pemerintahan Afghanistan bersama dengan Abdullah dalam perjanjian pembagian kekuasaan yang ditengahi oleh AS setelah pemilihan presiden pada tahun 2014 lalu begitu terperosok ke dalam masalah korupsi sehingga pemenangnya tidak bisa ditentukan.

Untuk menghindari konflik pada waktu itu, Washington turun tangan dengan membuat perjanjian tersebut dan memaksa dua kandidat utama, Ghani dan Abdullah, untuk berbagi kekuasaan dalam apa yang disebut sebagai Unity Government, yang sebagian besar telah lumpuh karena pertengkaran tanpa henti antara kedua pemimpin.

Sumber : Aljazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *