Persinggungan Teologi Islam dan Politik
HIDAYATUNA.COM – Dalam dunia Islam, kita mengenal sejumlah aliran teologi. Aliran-aliran ini di masa silam pernah saling bersitegang antara satu sama lain. Beberapa aliran teologi ada yang tumbuh subur masih diikuti sampai sekarang, ada juga beberapa aliran yang mesti tenggelam menyisakan pelajaran bagi umat muslim dewasa ini, dan beberapanya lagi lahir dalam konsepsi baru dengan kecenderungan lebih keras guna merespon problem teraktual yang dihadapi umat muslim.
Pada dasarnya, teologi -atau dalam istilah umat muslim disebut ilmu kalam- merupakan salah satu keilmuan yang membahas tentang ketuhanan. Ilmu ini berkelindan erat dengan rasa iman umat muslim dalam mengejawantahkan keberislamannya sehari-hari.
Kita tahu dari banyak literatur dan ceramah, teologi di dunia Islam pertama kali muncul saat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan tengah berpolemik. Dari sini akhirnya muncul sekian teologi yang masing-masing memiliki klaim keberislaman sesuai dengan Al-Qur’an dan mengikuti tauladan Kanjeng Nabi Muhammad.
Berbagai aliran teologi ini tidak muncul dalam sekali waktu. Karena beberapa aliran teologi ada yang muncul untuk merespon teologi yang sebelumnya dirasa terlalu dominan dalam menggaungkan sesuatu. Seperti misalnya teologi Sunni muncul untuk merespon teologi Muktazilah yang cenderung mengagungkan penggunaan akal. Atau teologi Jabariyah yang konsepsinya saling berseberangan dengan Qadariyah.
Narasi historis semacam ini dibaca oleh sebagian cendekia muslim maupun orientalis awal sebagai dampak perpecahan politik umat Islam. Hal ini terlihat saat wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad, umat muslim mulai kehilangan sandaran otoritatif dalam memecahkan masalah. Para sahabat saling berebut kuasa legitimasi antara satu sama lain.
Meskipun dalam konteks di masa itu, para sahabat dapat diklasifikasikan sebagai muslim yang baik. Artinya, dari sisi laku, para sahabat mengikuti laku Kanjeng Nabi yang dikemudian hari dirumuskan menjadi rukun Islam. Sementara dari sisi keimanan, para sahabat juga tidak diragukan lagi kualitasnya dalam rangka mengimani-Nya dan Kanjeng Nabi sebagai utusan-Nya.
Lantas yang menjadi persoalan untuk diketengahkan adalah, bagaimana peristiwa yang dinilai sebagai perpecahan politik, malah dapat memicu munculnya berbagai aliran teologi yang mewarnai perjalanan umat muslim?
Mohammad Yunus Masrukhin dalam bukunya Menjadi Muslim Moderat; Teologi Asy’ariyah di Era Kontemporer (2020) memberi uraian yang saya rasa, dapat dijadikan salah satu perspektif dalam menjawab persoalan tersebut. Uraiannya berangkat dari kualitas keimanan para sahabat yang telah meresap dalam laku di kesehariannya. Peristiwa makan, minum, berpakaian, berdagang, berdiskusi, dan seabrek peristiwa yang kini dinilai lumrah, pada eranya para sahabat melulu dilekatkan dengan keimanan.
Mengutip pendapatnya di buku: “Berangkat dari pola kesadaran di atas, lingkup kesadaran muslim generasi sahabat sangat kuat diwarnai oleh keimanan dan kesalehan yang mengambil bentuknya dalam kehidupan sehari-hari. perbedaan pandangan politik merupakan salah satu pola perilaku yang mencerminkan bagaimana iman mengambil bentuknya dalam sejarah, pada ruang dan waktu.”
Barangkali jika kala itu polemik di antara para sahabat yang sifatnya politis tidak muncul, bisa jadi keimanan mereka akan diejawantahkan dalam bentuk lain. Teologi sebagai ilmu dalam dunia Islam, kemungkinan juga datang agak belakangan.
Dari sini kita dapat membaca bahwa, kemunculan sekian aliran teologi dalam Islam bukan ditengarahi karena adanya intrik politik, tetapi lebih kepada keimanan. Maka aliran teologi ini merupakan produk dari keimanan para sahabat, bukan produk dari perpecahan politik.
Hanya saja saya rasa, teologi yang muncul belakangan dengan mengambil embrio dari teologi masa silam, justru terbalik. Sebab titik tekannya bukan keimanan, tetapi kepentingan politik yang berujung pada pundi-pundi pendapatan kapital.
Wallahul’alam