Pernah Dengar Istilah Wasiat Wajibah? Begini Penjelasannya
Wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.
Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan baik diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.
Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warsian karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.
Hukum Asal Wasiat
Menurut pendapat yang berasal dari empat Imam dan para ulama zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan kadang mubah.
- Wajib, jika seseorang menanggung kewajiban syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkannya, seperti zakat.
- Sunnah, jika dilakukan dalam ibadah-ibadah atau diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang miskin yang shaleh diantara manusia.
- Haram, jika menimbulkan kerugian bagi ahli waris.
- Makruh, jika harta orang yang berwasiat sedikit, sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa orang ahli waris yang membutuhkannya.
- Mubah, jika wasiat itu ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga-tetangga yang penghidupan mereka sudah tidak kekurangan.
Dasar Hukum Wasiat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama: yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua: orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya.
Membedakan Wasiat dengan Wasiat Wajibah
Dari segi yang orang menerima wasiat
- Orang lain selain orang yang menjadi ahli waris.
- Diberikan kepada anak angkat yang tidak mendapat wasiat biasa.
- Cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama kakek atau neneknya (pewasiat).
Dari segi hukum
- Wasiat hukumnya sunah
- Wasiat Wajibah hukumnya wajib
Pembagian harta warisan bagi umat Islam adalah keharusan, karena merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan di laksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat dan berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Alasannya bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syariat yang ditunjuk oleh nash-nash adalah suatu keharusan. Bagi umat Islam yang menaati dan melaksanakan ketentuan pembagian sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT niscaya mereka akan dimasukkan ke dalam surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mengindahkannya akan dimasukkan dalam api neraka untuk selama-lamanya.
Hukum Islam menentukan bahwa pengangkatan anak dibolehkan tetapi akibat hukum terhadap status dan keberadaan anak angkat adalah sebagai berikut: status anak angkat tidak dihubungkan dengan orang tua angkatnya, tetapi seperti sedia kala, yaitu nasab tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada akibat saling mewarisi. Namun dalam KHI, akibat hukum dari harta tersebut adalah munculnya wasiat wajibah, yaitu hukum wajib terhadap adanya ketentuan wasiat. Wajib disini merupakan sesuatu yang mesti dan mutlak harus dilaksanakan, jadi meskipun orang tua angkat maupun anak angkat tidak berwasiat kepada anak angkat maupun orang tua angkatnya, tetapi dia telah dianggap melakukannya. Karena sebelum diadakan pembagian harta warisan maka tindakan awal yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan harta peninggalan untuk wasiat wajibah.
Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai kedudukan atau status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Namun menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah atau keturunan.
Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Maka sebagai solusinya menurut KHI adalah dengan jalan pemberian wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga).
Kedudukan atau status anak angkat menurut KHI adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab darah dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut KHI adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.
Pembagian harta warisan bagi anak angkat menurut KHI adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan jalan wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya, hal ini untuk melindungi ahli waris lainnya. Selain itu prinsip keadilan yang mesti dipenuhi yaitu prinsip kebebasan (freedom), perdamaian (peace) kebersamaan (democracy) dan toleransi (tolerance). Dengan demikian sejatinya keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan terdapat jaminan perlindungan terhadap kepentingan individu sekaligus jaminan ketertiban sosial.
Dalam suasana yang adil tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu. Dan untuk menjamin keadilan itulah dibentuk aturan-aturan yang adil. Demikian juga KHI yang telah mengatur hak anak angkat atas harta orang tua angkatnya dibentuk untuk memberikan keadilan. Keadilan yang tertinggi adalah keadilan yang bersumber dari nilai yang luhur (agama) untuk mencapai kesejahteraan bersama, dan untuk itu keadilan harus ditegakkan.
Dengan demikian keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan moral, keadilan sosial dan keadilan hukum. Meskipun keadilan moral, sosial dan hukum dapat dibedakan, tetapi dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga keadilan tersebut sebenarnya bermuara pada pelaksanaan hak dan keajiban individu dalam bergaulan sosialnya. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis dan sesama manusia.
Perbedaan manusia hanyalah aneka ragam usaha dan kerjanya dalam konteks tugas besar manusia yaitu sebagi hamba yang mengabdi hanya kepada Allah SWT sekaligus menjadi khalifah-Nya untuk mensejahterakan semua makhluk, sehingga tidak ada kedhaliman di muka bumi.
Sumber:
- Fiqih Mawaris Karya Dian Khairul Umam
- Warisan Dalam Islam Karya Abdul Rashid
- Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Karya Eko Setiawan