Permasalahan Seputar Kurban
HIDAYATUNA.COM – Tidak diragukan lagi bahwa salah satu ritual yang sering dilaksanakan tatakala hari Iduladha adalah prosesi penyembelihan hewan kurban. Secara historis—sebagaimana lazim disampaikan khatib setiap salat id—ini biasanya erat kaitannya dengan kisah nabi Ibrahim.
Kita mafhum bahwa nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail. Singkat kisah, hingga akhirnya Ismail diganti oleh seekor hewan sebagai ganti sembelihan. Dari titik historis seperti itulah ibadah kurban bisa berlangsung hingga sekarang.
Namun, sejatinya ada banyak problematika terkait dengan kurban tersebut. Penggunaan lema ‘problematika’ di sini bukan dalam arti hendak menyatakan bahwa kurban bermasalah, melainkan lebih kepada beberapa pembahasan yang dipermasalahkan.
Sebagaimana kita pahami bahwa nalar ikhtilaf di dalam fikih menjadi hal yang tak terhindarkan. Artinya, dalam pembahasan ini kita akan meninjau dan mendiskusikan kembali beberapa bab bahasan terkait kurban tersebut. Serta bagian-bagian yang membuat ulama silang pendapat.
Bahasan-bahasan yang dipilih di sini tidak lain adalah pembahasan yang terjadi beberapa ikhtilaf di dalamnya. Mulai dari hukum dari kurban itu sendiri hingga hal-hal praktis yang menyangkut dengan proses kurban.
Menarik untuk menilik pembahasan tersebut musabab tidak banyak yang menaruh perhatian. Kendati kurban telah mengakar, namun persoalan terkait hal yang prinsipil dan praktis justru tidak mendapat banyak atensi. Tatkala hari raya Idul Adha tiba yang banyak ditilik justru historisitas dari kurban itu—kisah nabi Ibrahim dan Ismail.
Hukum dan Hujah
Pertama yang paling erat kaitannya dengan kurban itu sendiri adalah hukumnya. Terkadang sebagian orang diserang miskonsepsi terkait dengan hukum dari kurban itu sendiri.
Hanya karena kurban telah berlangsung sekian abad lamanya dan turun temurun sehingga hal tersebut dianggap wajib. Padahal hukum dari kurban tersebut merupakan hal yang terdapat perbedaan di dalamanya. Sedikitnya ikhtilaf fukaha terkait dengan hukum berkurban itu dibagi menjadi dua.
Pendapat kurban diwajibakan bagi orang yang mampu
Pionir dari pendapat ini tidak lain adalah sang rasionalis dari Irak, Abu Hanifah, dan beberapa pengikutnya. Hujah yang dikemukan oleh Abu Hanifah sendiri tidak lain bersandar pada surah Al-Kautsar[108]:2.
Menurut barisan ini lafaz dengan sighat amar di dalam ayat tersebut menunjukkan kewajiban. Sebagaimana lazim kita sering dengar dalam kaisad usul fikih bahwa asal dari perintah adalah wajib. Selain ayat tersebut juga terdapat beberapa riwayat sunah yang dijadikan sandaran oleh kelompok ini.
Berbeda dengan kelompok di atas, kelompok kedua menjabarkan bahwa kurban itu sunah bagi orang yang mampu. Pendapat ini yang merupakan pendapat dari mayoritas fukaha.
Dalil dari kelompok ini tidak lain adalah hadits daru Ummu Salah bahwa rasulullah bersabda “apabila kalian melihat bulan Zulhijjah, dan kalian punya inisiatif untuk berkurban. Maka hendaklah kalian tidak memotong rambut dan kuku”.
Dapat dipahami bahwa ihwal keharusan kurban itu dikembalikan kepada inisiatif orang muslim. Apabila ia berinisiatif, maka hendaknya itu dilakukan, dan ia punya hak prerogatif untuk memilih bersandar pada hadits di atas—tanpa ada tekanan kewajiban.
Selain hukum dan hujah yang mendapat perhatian dan sorotan dari ulama. Ada satu pembahasan menarik yang penting untuk dikemukakan di sini.
Kita mungkin sering melihat orang yang menggunakan satu hewan(secara spesifik sapi) untuk banyak nama(individu). Apakah hal tersebut dibolehkan atau terdapat problematika khusus terkait itu?
Kongsi dalam Kurban
Penting untuk ditekankan kembali yang dimaksud dengan ‘kongsi’ di sini adalah menggunakan satu hewan atas nama banyak orang. Dengan penegasan seperti itu, kemudian kita dapat memberi klasifikasi terkait bagaimana hukum perkongsian di dalam kurban.
Ada banyak pendapat, sependek pengamatan saya terdapat empat pendapat, yang mengulas terkait tema hal ini. Pendapat pertama mengemukakan bahwa satu hewan itu bisa dijadikan kurban untuk banyak orang serta tidak tedapat batasan dalam hal itu. Ini adalah pendapat salah satu pentolan mazhab Zahiri, Ibn Hazm.
Pendapat yang berbanding terbalik dengan yang diungkapkan Ibn Hazm
Pendapat ini mengungkapkan bahwa satu hewan hanya untuk satu orang saja, baik itu kambing, sapi, bahkan unta. Artinya, tidak ada perbedaan apakah itu kurban menggunakan sapi, kambing, unta sekalipun, semuanya hanya untuk satu orang.
Hal ini merupakan pendapat dari imam mazhab yang masyhur dengan konsep amal ahl-madinah, Malik bin Anas.
Pendapat satu kambing hanya untuk satu orang
Sedangkan sapi dan unta bisa digunakan untuk lebih dari satu orang. Namun pendapat ini memberi batas maksimum bahwa sapi dan unta hanya cukup untuk tujuh orang, tidak lebih.
Inilah yang dipraktikkan di dalam masyarakat kita hari ini. Pendapat ini juga dipelopori oleh tiga imam mazhab, selain Malik bin Anas. Juga Daud az-Zahiri merupakan ulama yang berada di barisan ini.
Sebagai pamungkas, pendapat terakhir datang dari syiah Zaidiyah yang mengatakan bahwa satu kambing cukup untuk tiga orang dan unta badanah untuk sepuluh orang.
Problematika terkait dengan kurban yang mungkin masih bisa terus dinegosiasi dan dipertanyakan lebih lanjut. Ini sekaligus memberikan peluang kepada kita untuk melihat kembali hal-hal yang sebelumnya tak mendapat perhatian.
Sekali lagi, di hari raya Idul Adha banyak orang hanya fokus terhadap historisitas dari kurban itu sendiri dan melupakan haal substansial, terkait hukum dan beberapa praktiknya. Kita memang terlalu sering melupakan hal yang sebetulnya lebih relevan daripada sekadar mengulang-ngulang cerita masa lalu.