Perkembangan Istitusi Politik Islam di Indonesia (Bagian 2)

Dinamika Perkembangan Fikih Mazhab Indonesia dalam Lintasan Sejarah (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perkembangan institusi politik Islam di Indonesia masih terus berlanjut dari zaman ke zaman. Artikel ini adalah bagian kedua dari artikel Perkembangan Institusi Politik Islam di Indonesia Bagian 1, Anda dapat membacanya melalui link berikut ini, KLIK DI SINI.
Beralih ke Indonesia bagian Timur, Kerajaan Ternate pada abad 14 mulai berkembang dengan perdagangan rempah-rempah.
Perdagangan yang dilakukan orang Jawa dan Melayu yang datang ke Maluku, terutama ke Ternate dan Tidore.
Perdagangan ini semakin ramai setelah kedatangan para pedagang dari Arab yangmana hal ini mengakibatkan rasa cemburu dari daerah Tidore dan Obi.
Kedua daerah tersebut ingin maju seperti Ternate, hal tersebut ditunjukkan dengan pemakaian gelar raja oleh pemimpin Tidore dan Obi.
Kecemburuan ini hingga mengakibatkan peperangan antara Tidore, Obi, Jailolo melawan Ternate. Peperangan dapat diredam dengan adanya perundingan yang di Pulau Motir, yang selanjutnya disebut Perjanjian Motir.
Perjanjian berisi bahwa Raja Jailolo akan menjadi raja kedua, Raja Tidore menjadi raja ketiga dan Raja Bacan sebagai raja keempat.
Perjanjian itu tidak berlangsung lama karena pada akhir abad urutan tersebut berubah menjadi Sultan Ternate sebagai raja utama di Maluku.
Keadaan politik Kalimantan Selatan sebelum datangnya Islam terdapat dalam Hikayat Banjar yaitu akibat dari ikatan perjanjian Raden Samudera (Raja Banjar) dengan Raja Demak pada pertengahan abad ke-16.
Di mana Raden Samudera meminta bantuan untuk memerangi Pangeran Tumenggung (Raja Daha) di daerah Amuntai.
Sejak kekalahan Raja Daha inilah Kerajaan Banjar mengalami perkembangan. Para petinggai kerajaan mulai belajar Islam dari penghulu kerajaan Demak.
Raden Samudera mendapat gelar Sultan Suryanullah, sebuah gelar yang diberikan oleh orang Arab setelah ia masuk Islam.
Di Sulawesi Selatan, Islamisasi terjadi pada abad 15. Sudah ada sekitar 50 kerajaan disana, seperti Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu.
Raja ‘Alauddin (1591-1638) adalah raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam. Raja ini menerima ajaran Islam dari Dato Ri Bandang dan Dato Sulaiman dan Kerajaan Gowa-Tallo secara resmi menerima Islam pada 22 September 1605.
Hal tersebut diikuti oleh Kerajaan Bone pada 1606. Yang dimaksudkan dengan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang biasanya disebut dengan kerajaan Makassar.
Sebetulnya, Makassar adalah kotanya, sedangkan Goa-Tallo adalah nama kerajaannya. Tallo merupakan kerajaan yang berbatasan langsung dengan dengan Gowa, tetapi karena selalu bersatu dengan Gowa sehingga merupakan kerajaan kembar.
Istana dari Raja Gowa yang tertua, di antara keduanya terletak di Sombaupu. Orang-orang asing menamakan raja ini Raja Makassar atau Sultan Makassar.
Kerajaan ini selalu terjadi persaingan hegemoni dengan Wajo, Bone, dan Soppeng yang tergabung dalam persekutuan Tellum Pocco (tiga kerajaan).
Keharmonisan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tersebut mulai terusik dengan datangnya Portugis dengan motif agama, ekonomi maupun petualangan.
Meski demikian, kebanyakan kerajaan Islam Indonesia dapat mengatasi orang-orang Portugis, karena itulah Portugis hanya mengakibatkan sedikit pengaruh terhadap kebudayaan Indonesia bagian barat.
Berdasarkan analisis Ricklefs, Portugis telah melakukan sesuatu yang memiliki dampak yang berjangka waktu lama di Nusantara, yakni kacaunya jaringan perdagangan Asia karena ditaklukkannya Malaka dan penyebaran agama Katolik di Maluku.
Selain itu, kehadiran orang Belanda juga memberi dampak bagi institusi politik umat Islam. Bahaya ini belum mengancam ketika motif petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar.
Banyak penguasa lokal Muslim yang menyambutnya dengan ramah. Ketika keinginan memonopoli perdagangan timbul, maka orang-orang Belanda mulai mengintervensi institusi perpolitikan Islam di Indonesia yang pada umumnya tidak stabil.
Hal tersebut ditandai dengan didirikannya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada 1602. Kekacauan politik ini dimanfaatkan Belanda dengan untuk memperkuat hegemoninya.
Belanda perlu menunggu waktu yang cukup lama untuk melemahkan kekuatan-kekuatan politik Islam lokal satu persatu.
Dengan jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam bukan berarti kejatuhan kekuatan-kekuatan politik Islam lokal. Kecuali di beberapa tempat tertentu, sebenarnya Belanda belum pernah bercokol lama di pedalaman pulau-pulau Nusantara. []
Perkembangan Istitusi Politik Islam di Indonesia – END