Perkembangan Istitusi Politik Islam di Indonesia (Bagian 1)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Institusi politik Islam di Indonesia mulai berkembang sekitar abad XIII. Akan tetapi waktu dimulainya perkembangan institusi tersebut tidak sama di beberapa daerah.
Ada beberapa institusi politik Islam di Sumatera yang telah mengalami perkembangan dalam abad ke-14 ataupun abad ke-15.
Pada abad 16 telah muncul kerajaan-kerajaan baru, terutama di Jawa. Sebagian besar kerajaan-kerajaan itu lazim disebut sebagai kerajaan Islam.
Sedangkan beberapa daerah di pedalaman masih bersifat Hindu. Perkembangan kerajaan Islam di daerah Maluku, Sulawesi Selatan, dan lain-lain daerah mulai tampak dalam abad ke-16 juga.
Sementara itu masih terdapat kerajaan-kerajaan yang bereksistensi terus dengan memakai sitem tradisional pra-Islam, seperti kerajaan Mataram di Jawa.
Kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri setelah kerajaan bercorak Budha atau Hindu mengalami kemunduran.
Wilayah kerajaan itu seperti Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak dan beberapa kerajaan lainnya.
Kerajaan Samudera Pasai mulai menjadi salah satu pusat perdagangan internasional pada abad ke-13 dan kemudian tumbuh menjadi kerajaan Islam yang kuat.
Pertama didirikan oleh Sultan Malik al-Shalih yang sangat berpengaruh dalam Islamisasi di wilayah sekitarnya, seperti Malaka, Pidie dan Aceh.
Samudera Pasai selanjutnya menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh yang menerima pengislaman dari Samudera Pasai pada abad 14.
Kerajaan Aceh berasal dari penggabungan dua negeri kecil, Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal, pada abad ke-10H/16 M.
Kemajuan Aceh dilanjutkan oleh Iskandar Tsani (Iskandar II). Iskandar Tsani ini mengembangkan Aceh.
Ia dengan lembut dan adil mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik.
Pada masa ini, pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Tidak lama kemudian Iskandar Tsani meninggal yang mana masa-masa setelahnya merupakan bencana ketika para sultan perempuan menduduki singgasana pada 1641-1699 M menjadikan Aceh lemah. Wilayah taklukannya menjadi lemah dan kekuasaannya menjadi terpecah-pecah.
Berpindah dari Sumatera, di Jawa ada Kerajaan Demak (1518-1550) yang di pandang sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Kerajaan ini berdiri setelah Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1527. Setelah berapa lama, Kerajaan Demak mengalami kemunduran setelah meninggalnya Raja Trenggana.
Raja Setelahnya, Raja Prawata mati terbunuh dalam kisruh politik di keraton. Jaka Tingkir yang tidak lain adalah menantu Prawoto dari Pajang menuntut balas atas kematian Prawata.
Ia dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan untuk membunuh Arya Penangsang, penguasa Demak membunuh Prawata.
Hal ini menjadikan Jaka Tingkir dilantik sebagai Raja Kerajaan Demak. Jaka Tingkit pulalahyang memindahka pemerintahan ke Pajang.
Lalu berdirilah kerajaan Pajang antara Salatiga dan Kartasura. Berdirinya kerajaan Pajang pada akhir abad 16 sekaligus sebagai pertanda berakhirnya Kerajaan Islam di pesisir utara Jawa dan bergeser masuk ke daerah pedalaman yang bercorak agraris.
Kerajaan Pajang juga dianggap sebagai pengganti dalam garis legitimasi dari kerajaan Majapahit melalui Demak ke Pajang, karena itulah Pajang memiliki corak sinkretis antara Hinduisme dan Islamisme.
Selanjutnya, Kerajaan Mataram berdiri setelah Panembahan Senopati Ingalaga (1584-1601 M), putra dari Ki Ageng Pemanahan yang mengalahkan Pajang setelah berdiri kurang dari 20 tahun (1568-1586).
Hal ini berdasarkan pada tidak digunakannya gelar-gelar kerajaan yang berbahasa Arab, melainkan menggunakan gelar dari bahasa Jawa atau Sanskerta sejak Sultan Tranggono sampai raja Mataram.
Hal ini berbeda dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Aceh, Banten, Makassar yang memakai gelar berbahasa Arab.
Perkembangan Islam di Jawa Barat dimulai dengan ekspedisi Syeh Nurullah alias Sunan Gunung Jati (w. 1570) yang merupakan ulama dari Pasai.
Ia memiliki istri saudara perempuan Sultan Trenggana. Suatu ketika, Nurullah pergi ke Banten dan mendirikan pemukiman bagi Muslim.
Ia dan masyarakat Muslim berkuasa di Banten hingga tahun 1552. Salah satu putranya meninggal, sehingga ia pindah ke Cirebon. Pemerintahan di Banten diserahkan kepada putranya, Hasanuddin.
Cirebon yang pada awalnya diislamkan, lalu ditinggalkan kini mulai dihidupkan kembali. Nurullah meninggal di Cirebon pada 1570, lalu digantikan Panembahan Ratu pada 1570. Ia memiliki hubungan damai dengan Mataram dan para penguasa lokal di sebelah barat Mataram.
Hasanuddin yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten menikahi putri Sultan Trenggana pada 1552 dan memiliki putra Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara.
Pangeran Jepara merupakan menantu Ratu Kalinyamat yang kemudian menjadi penguasa Jepara dan Maulana Yusuf menjadi pengganti ayahnya pada 1570.
Maulana Yusuf meninggal pada 1580 dan putranya, Maulana Muhammad belum dewasa. Hal tersebut menyebabkan Pangeran Jepara merasa berhak menggantikannya.
Pangeran Jepara lalu menyerang Banten, akan tetapi mengalami kegagalan yang menyebabkan Pangeran Jepara menghentikan intervensinya.
Akibat lainnya adalah Cirebon dan Banten dapat menegakkan kedudukannya, bebas pengaruh dari kerajaan-kerajaan Jawa Tengah.
Selain itu, hal tersebut juga disebabkan oleh kekalahan Demak oleh Pajang dan Pajang oleh Mataram.
“Perkembangan Istitusi Politik Islam di Indonesia” Bersambung ke Bagian 2