Perjuangan Pekerja: Kemanakah Islam?

 Perjuangan Pekerja: Kemanakah Islam?

Omnibus Law

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Isu ketenagakerjaan semakin marak dibicarakan akhir-akhir ini. Pada akhir 2019, Omnibus Law Cipta Kerja disahkan sekalipun mendapat banyak penolakan dan kritik.

Tidak lama berselang, hampir sepanjang tahun 2020, pandemi Covid-19 merebak dan mengancam tidak hanya nyawa secara langsung. Tetapi secara langsung dengan membuat banyak orang kehilangan pekerjaannya. Berbagai permasalahan dalam ketenagakerjaan yang sudah ada sebelumnya menjadi semakin ramai dibicarakan di tengah kondisi yang semakin sulit.

Di sini, penting untuk melihat peran Islam dalam isu ketenagakerjaan. Pilihan yang bisa diambil Islam dalam keterlibatannya dengan isu tenaga kerja adalah menjadi pembebas dan membantu gerakan pekerja atau justru mendukung hegemoni kekuasaan yang ada.

Islam, dengan kemampuannya menghimpun umat, bisa memainkan keduanya. Bahkan bila melihat persoalan ketenagakerjaan di Indonesia, Islam pernah memainkan keduanya.

Pertanyaan ini menjadi penting untuk menentukan arah perjuangan Islam dalam isu ketenagakerjaan dan tidak mengulangi kesalahan yang diperbuat sebelumnya.

Dalam sejarah, isu ketenagakerjaan dan buruh kerap diidentikkan dengan komunisme. Padahal Islam juga pernah tercatat memiliki peranan dalam sejarah buruh seperti misalnya lewat Sarbumusi (Sarekat Buruh Muslimin Indonesia) yang terafiliasi NU.

Sayangnya, alih-alih memperjuangkan pekerja, Sarbumusi terlalu sering bergerak untuk menyaingi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Indonesia) yang terafiliasi PKI. Pada akhirnya, di era Orde Baru, keduanya gugur.

SOBSI turut runtuh bersama PKI dan Sarbumusi harus tunduk pada aturan Orde Baru yang memberlakukan wadah tunggal untuk pekerja dalam FBSI. Di masa sekarang, perlu melihat terlebih dahulu dampak Islam pada isu ketenagakerjaan untuk menentukan arah gerakan.

***

Dalam masa kontemporer, neoliberalisme menguasai perekonomian dunia. Di tengah neoliberalisme ini, Islam menjadi salah satu fondasi yang menyokong neoliberalisme.

Daromir Rudnyckyj, seorang antropolog, dalam artikelnya yang berjudul “Spiritual Economies: Islam and Neoliberalism in Contemporary Indonesia” (2009). Dalam jurnal Cultural Anthropology menganalisis penggunaan Islam dalam mengarahkan buruh pabrik sesuai dengan nilai-nilai neoliberalisme. 

Islam digunakan agar pekerja menganggap kerja sebagai ibadah dan melupakan perjuangan pekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak. Sekilas memang tidak ada yang salah, tetapi pandangan ini menyimpan bahaya bagi pekerja yang menjadi rentan ditindas dan diperas tanpa adanya kelayakan upah dan kondisi kerja.

Tidak hanya pada pekerja pabrik, Islam juga berperan dalam persoalan tenaga kerja migran. Terlihat dari ramainya pekerja migran Indonesia yang pergi ke negara-negara yang dianggap memiliki kedekatan secara religius seperti Arab Saudi dan Malaysia.

Sayangnya, pandangan mengenai kedekatan religius harus runtuh setelah melihat banyaknya kekerasan dan kondisi kerja yang tidak layak yang diperoleh oleh pekerja migran dari Indonesia. Rachel Silvey dalam artikelnya “Mobilizing Piety: Gendered Morality and Indonesian-Saudi Transnational Migration” di jurnal Mobilities (2007). Menunjukkan penggunaan cap kesalihan untuk menggerakkan pekerja migran di Indonesia untuk bekerja di tanah suci, Arab Saudi.

Isu ini menjadi semakin relevan di tengah ramainya Islam radikal. Ramainya Islam radikal tidak hanya sebatas isu agama dan tafsir belaka, tetapi juga isu sosial.

Dalam hal ini, Islam moderat yang berupaya mengatasi Islam radikal gagal untuk menghimpun massa yang tidak puas dengan kondisi sosial sekarang, terutama kondisi penghidupan yang tidak layak. Tidak jarang misalnya baik penganut atau simpatisan Islam radikal turut bersuara mengenai isu tenaga kerja asing yang dianggap meminggirkan mereka.

Golongan rakyat yang dalam memenuhi kehidupannya mengalami kesulitan tidak menemukan jawaban dalam Islam yang ditawarkan Islam moderat. Sebaliknya, Islam radikal, seperti misalnya dalam ormas-ormas garis keras yang kerap melakukan main hakim sendiri, kerap menawarkan pekerjaan kasar.

***

Ian Wilson dalam Politik Jatah Preman (2019) menunjukkan tawaran seperti bisnis keamanan atau tukang parkir lewat penguasaan lahan dengan pengerahan massa dari berbagai ormas yang mengatasnamakan Islam. Padahal rakyat dengan kondisi ini merupakan basis massa yang amat besar di Indonesia.

Islam sebenarnya menjadi salah satu basis dalam gerakan pekerja di Indonesia setelah Reformasi. Vedi R Hadiz, sosiolog, dalam “Reformasi Total: Labor after Suharto” (1999) di jurnal Indonesia menyebut berbagai gerakan seperti Sarbumusi yang dihidupkan kembali dan juga PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia).

Sayangnya keduanya masih kurang mendapat tempat dalam gerakan pekerja mainstream di Indonesia. PPMI juga lebih terpinggirkan karena afiliasinya pada ICMI yang banyak dicurigai berpihak pada Soeharto pada akhir Orde Baru dan awal Reformasi.

Namun krisis ketenagakerjaan sekarang ini dapat menjadi kesempatan bagi Islam, termasuk Islam moderat, untuk tidak hanya sekadar moderat, tetapi progresif. Benih-benih peran Islam dalam perjuangan pekerja sudah mulai terlihat akhir-akhir ini.

NU dan Muhammadiyah, misalnya, terang-terangan menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Sarbumusi juga turut serta dalam menolak Omnibus Law Cipta Kerja dengan mengambil proses uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Sikap yang ditunjukkan oleh NU dan Muhammadiyah ini harus diteruskan dan menjadi contoh bagi pergerakan Islam dalam isu ketenagakerjaan di masa mendatang. Sekalipun M. Najib Azca, sosiolog, dalam “Yang Muda, Yang Radikal” (2013) di Jurnal Maarif menyatakan sembrono menarik keterkaitan langsung kaum muda, kemiskinan, dan pengangguran dengan terorisme.

Dengan demikain, bukan berarti isu pengangguran dan kemiskinan yang terkait erat dengan ketenagakerjaan tidak menyimpan bahaya. Islam harus mengarahkan pergerakannya ke arah yang lebih progresif dan menjadi pembebas bagi pekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak

Karunia Haganta

Karunia Haganta merupakan peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com, artikel tersebut adalah tulisan yang lolos ke tahap penjurian sebelum penetapan pemenang.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *