Perjuangan Memakai Jilbab pada Masa Orde Baru

Perjuangan Memakai Jilbab pada Masa Orde Baru (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di Indonesia, di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah tidak heran kita berjumpa dengan perempuan yang menggunakan jilbab.
Bahkan di masa modern seperti sekarang, jilbab bukan lagi dimaknai sebagai sebuah kewajiban sebagai muslim semata, akan tetapi juga menjadi trend muslimah.
Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya model jilbab yang digunakan oleh perempuan. Tidak hanya itu, tren penggunaan jilbab di kalangan masyarakat, secara tidak langsung mereduksi persepsi masyarakat tentang agama.
Kerapkali kita melihat perempuan yang tidak menggunakan jilbab bukanlah seorang Muslim, karena penggunaan jilbab diartikan sebagai identitas sebagai seorang muslimah.
Persoalan jilbab tidak hanya bisa dilihat dari kacamata agama saja. Hal yang paling mendasar untuk ditelaah lebih jauh adalah hubungan ekspresi keagamaan dengan sikap negara yang perlu dipertanyakan.
Jauh sebelum penggunaan jilbab di sekolah menjadi wajib, hingga sikap pemaksaan dan perundungan kepada siswa yang tidak menggunakan jilbab, di Indonesia ternyata mengalami banyak persoalan tentang kewajiban jilbab dalam ranah publik.
Secara historis, pemakaian jilbab sudah ada sebelum adanya Islam. Di Indonesia, pemakaian jilbab merupakan hasil dari budaya yang dibawa oleh orang orang-orang Arab sering dengan Islamisasi yang berlangsung di Indonesia.
Sementara itu, penggunaan penutup kepala atau jilbab, menjadi salah satu budaya baru yang diterapkan oleh masyarakat pribumi, meskipun sebutannya berbeda-beda pada masing-masih daerah di Indonesia.
Orde Baru dan Jarak Jauh Agama dengan Negara
Pada masa orde baru, sekitar tahun 80-an, penggunaan jilbab di kalangan muslimah memperoleh hambatan dari pemerintah dengan aturan yang diciptakan.
Maraknya penggunaan jilbab di masa itu, secara tidak langsung berdasarkan hasil dari kaderisasi dakwah, salah satunya di Masjid Salman ITB.
Ketika para pelajar di sekolah negeri sudah familiar dalam penggunaan jilbab dan menjadi pilihan bagi mereka untuk berjilbab, justru mendapat tantangan dari pemerintah.
Munculnya kebijakan berkenaan dengan peraturan seragam sekolah, yang secara tidak langsung melarang para pelajar putri memakai jilbab di sekolah negeri (lembaga pendidikan) melalui Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D.1982 yang ditetapkan pada tanggal 17 Maret 1982 dan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), di mana pada masa itu dijabat oleh Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. SK.
Polemik penggunaan jilbab di sekolah negeri bagi kalangan pelajar, pada pemerintahan orde baru menjadi representasi hubungan tidak baik antara umat Islam dengan negara.
Ketegangan tersebut tercipta karena kekhawatiran pemerinta terhadap Islam yang mengancam eksistensi pemerintahan.
Gagasan Pancasila sebagai asas tunggal dalam dunia politik di Indonesia, pada masa tersebut mendapatkan pertentangan oleh organisasi-organisasi massa Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dsb.
Kekhawatiran pemerintah atas ancaman agama Islam dalam kekuasaannya, menyebabkan munculnya kebijakan yang merugikan umat Islam, salah satunya kebijakan SK 025 yang mengancam para pelajar.
Tidak sedikit para pelajar yang ada di sekolah negeri, mendapatkan ancaman akan dikeluarkan bahkan dipindahkan di sekolah swasta apabila menggunakan jilbab.
Kondisi ini menyebabkan banyak sekali upaya-upaya yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, supaya pemerintah tidak membuat kebijakan yang merugikan umat Islam.
Pemerintah pada order baru, berusaha untuk menutup ruang dan meminggirkan simbol-simbol Islam selama periode kepemimpinannya.
Sikap tidak toleran yang ditampilkan oleh pemerintah, menyebabkan ormas-ormas Islam terus bergerak bersembunyi untuk memperjuangkan ideologinya.
Seandainya pemerintah lebih toleran dalam persoalan ini, ketegangan antara masyarakat Islam dengan negara mungkin tidak akan tercipta.
Tidak hanya itu, keadaan partai politik Islam pada pemerintahan orde baru, sama sekali tidak memilik ruang untuk bergerak.
Hal ini karena kekhawatiran pemerintah bahwa mereka adalah kelompok yang keukeuh untuk menerapkan syariat Islam dalam pemerintahan.
Sedangkan pemerintah sendiri, justru tetap ingin berjuang menegakkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam pemerintahan.
Sejarah ini setidaknya membuka tabir yang sudah lama tersimpan bahwa, polemik aturan jilbab dari pemerintah yang belum menemukan titik terang.
Sebenarnya faktor lain juga berasal dari pihak sekolah yang menutup ruang aman bagi siswa, ketika tidak berkenan untuk menggunakan jilbab.
Aturan wajib jilbab di sekolah negeri, perlu diseimbangkan dengan sikap toleran para guru untuk menerima para siswa yang tidak berkenan menggunakan jilbab. []