Peristiwa Mihnah: Sisi Lain dari Era Kejayaan Islam
HIDAYATUNA.COM – Peristiwa Mihnah merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Islam yang mencerminkan konflik teologis dan politik yang terjadi di dalam dunia Islam pada abad ke-9 Masehi.
Kata “mihnah” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “ujian” atau “pengujian,” adalah suatu periode di mana para penguasa Abbasiyah. Khususnya Khalifah al-Ma’mun dan penerusnya yang berusaha memaksakan pandangan teologis tertentu kepada para ulama dan masyarakat umum.
Pada abad ke-8 dan ke-9, dunia Islam mengalami perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi. Di tengah perkembangan ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang mencoba untuk memahami dan menjelaskan ajaran Islam dengan cara yang lebih rasional. Salah satu aliran yang paling menonjol adalah Mu’tazilah.
Aliran ini menekankan pentingnya rasionalisme dan akal dalam memahami agama. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah, bukan sifat Allah yang qadim (azali). Pendapat ini bertentangan dengan pandangan tradisional yang dipegang oleh mayoritas ulama saat itu, yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang qadim.
Khalifah al-Ma’mun, yang berkuasa dari tahun 813 hingga 833 Masehi, adalah seorang pendukung kuat Mu’tazilah. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran rasionalisme dan filsafat Yunani yang pada waktu itu mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Al-Ma’mun melihat pandangan Mu’tazilah sebagai cara untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu pemahaman teologis yang rasional dan ilmiah. Pada tahun 827 M, al-Ma’mun mengumumkan Mihnah, sebuah kebijakan resmi yang mengharuskan para ulama dan qadi (hakim) untuk menerima doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Selama masa Mihnah, banyak ulama yang dipaksa untuk menyatakan kesetiaan mereka pada doktrin Mu’tazilah. Mereka yang menolak diancam dengan penjara, penyiksaan, atau bahkan hukuman mati. Salah satu ulama terkenal yang menjadi korban Mihnah adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas menolak untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Akibatnya, beliau dipenjarakan dan disiksa selama bertahun-tahun, tetapi beliau tetap teguh pada pendiriannya.
Mihnah mendapat perlawanan keras dari banyak kalangan ulama dan masyarakat umum. Banyak ulama yang menolak pandangan Mu’tazilah dan menentang upaya pemerintah untuk memaksakan doktrin teologis tertentu. Penolakan ini tidak hanya didasarkan pada perbedaan teologis, tetapi juga pada prinsip kebebasan beragama dan penolakan terhadap campur tangan negara dalam urusan teologi.
Mihnah berlangsung selama beberapa dekade, melewati masa pemerintahan beberapa khalifah setelah al-Ma’mun, termasuk al-Mu’tasim dan al-Wathiq. Namun, ketika al-Mutawakkil naik tahta pada tahun 847 M, kebijakan Mihnah mulai berubah. Al-Mutawakkil adalah seorang yang lebih konservatif dan kurang tertarik pada rasionalisme Mu’tazilah.
Pada tahun 848 M, ia secara resmi mengakhiri Mihnah dan mengembalikan kebebasan kepada ulama untuk memegang pandangan teologis mereka sendiri. Dengan berakhirnya Mihnah, pengaruh Mu’tazilah mulai meredup, dan pandangan tradisional tentang Al-Qur’an sebagai firman Allah yang qadim kembali mendominasi.
Peristiwa Mihnah memiliki dampak yang signifikan dalam sejarah Islam. Dari segi teologis, Mihnah menunjukkan ketegangan antara rasionalisme dan tradisionalisme dalam Islam. Konflik ini terus berlanjut dalam bentuk lain sepanjang sejarah Islam, mencerminkan dinamika yang kompleks antara pemikiran rasional dan kepercayaan tradisional.
Dari segi politik, Mihnah menunjukkan bagaimana negara dapat menggunakan kekuasaan politik untuk memaksakan pandangan teologis tertentu. Namun, perlawanan terhadap Mihnah juga menunjukkan bahwa ulama memiliki pengaruh yang besar dan dapat menentang campur tangan negara dalam urusan agama.
Hal ini memperkuat posisi ulama sebagai penjaga ortodoksi Islam dan mengukuhkan prinsip bahwa urusan teologi harus dipisahkan dari politik. Peristiwa Mihnah adalah salah satu babak penting dalam sejarah Islam yang mencerminkan konflik antara rasionalisme dan tradisionalisme.
Kebijakan Mihnah yang diterapkan oleh al-Ma’mun dan penerusnya menunjukkan upaya untuk menyatukan umat Islam di bawah satu pandangan teologis, tetapi juga menyoroti perlawanan keras dari para ulama yang menolak campur tangan negara dalam urusan agama.
Akhirnya, Mihnah berakhir dengan kembalinya kebebasan teologis dan penegasan kembali peran ulama sebagai penjaga ortodoksi Islam. Peristiwa ini meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam dan menjadi pelajaran tentang pentingnya kebebasan beragama dan batas-batas kekuasaan politik dalam urusan teologi.