Peristiwa Bersejarah 18 Februari, Dua Wartawan Indonesia Diculik Mujahidin di Irak

 Peristiwa Bersejarah 18 Februari, Dua Wartawan Indonesia Diculik Mujahidin di Irak

Perlu Diketahui Bahwa Ada Peristiwa Bersejarah Pada 18 Februari. Dimana Dua Wartawan Indonesia Diculik Mujahidin di Irak

HIDAYATUNA.COM – Limabelas tahun silam, tanggal 18 Februari 2005, dua wartawan Indonesia di salah satu stasiun televisi swasta yaitu  Meutya V. Hafid, 26 tahun, dan juru kamera Budiyanto, 38 tahun ketika sedang bertugas di Irak diculik dan disandera oleh sekelompok pria bersenjata yang belakangan diketahui adalah mujahid.

Penyandera menganggap kedatangan kedua wartawan tersebut merupakan utusan pemerintah Indonesia untuk ikut campur dalam kepentingan politik yang saat itu sedang terjadi.

Mereka akhirnya dibebaskan pada 21 Februari 2005. Peristiwa itu pun Meutya abadikan dalam sebuah buku ‘168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak’.

Bagaimana peristiwa itu terjadi? Begini kisahnya menurut sumber data terpercaya yang dihimpun hidayatuna.com:

Kedua reporter Metro TV itu diberitakan hilang sejak Selasa silam, setelah dihadang sekelompok orang berseragam militer di Kota Ramadi, yang juga wilayah kekuasaan muslim Sunni. Saat itu, keduanya dalam perjalanan dari Amman, Yordania, menuju Baghdad. Meutya dan Budiyanto berada di Irak untuk meliput pelaksanaan pemilihan umum di negara sarat konflik itu.

Pertama kali, tanda tanya soal keberadaan dua awak stasiun televisi Metro TV yang dinyatakan hilang di Irak, Selasa silam itu terjawab setelah Kantor Berita Associated Press menerima rekaman video yang berisi gambar reporter dan juru kamera asal Indonesia yang disandera kelompok perlawanan Irak itu disiarkan, Jumat (18/2/2005).

Dalam rekaman terlihat Meutya V. Hafid dan Budyanto memegang kartu pers dan paspor diapit dua anggota kelompok perlawanan yang menodongkan senjata. Suara yang muncul dalam rekaman menyebutkan keduanya disandera kelompok yang menamakan diri Mujahidin. Menurut suara itu, nyawa kedua korban kini berada dalam bahaya jika pemerintah Indonesia tak segera menjelaskan alasan keberadaan mereka di Irak.

Meutya dan Budyanto diberitakan hilang sejak Selasa silam, setelah dihadang sekelompok orang berseragam militer di Kota Ramadi, yang juga wilayah kekuasaan muslim Sunni. Saat itu, keduanya dalam perjalanan dari Amman, Yordania, menuju Baghdad. Meutya dan Budyanto berada di Irak untuk meliput pelaksanaan pemilihan umum di negara konflik ini.

Bagi Budiyanto, liputan ke Irak adalah bukan yang pertama kali. Bahkan sudah tiga kali. Sebelumnya, Budiyanto juga pernah meliput suasana di Kota Baghdad sebelum agresi militer Amerika Serikat pada 2003. Saat itu, Budiyanto pergi bersama Desi Anwar.

Jurnalis SCTV Merdi Sofansyah dan Effendi Kassah juga sempat bersama-sama Budiyanto di Baghdad. Saat itu, berempat menjadi wartawan Indonesia yang mendapat izin pemerintah Saddam Hussein untuk meliput detik-detik sebelum agresi terjadi.

Dua hari menjelang agresi militer AS, di Baghdad hanya tinggal 26 mahasiswa Indonesia. Dubes RI Dahlan Abdul Hamid dan dua stafnya, mulai melakukan proses evakuasi. Kota Baghdad sudah tidak mungkin lagi menjadi tempat yang aman. Budiyanto dan Desi Anwar memilih keluar dari Irak melalui perbatasan Yordania. Sementara Merdi Sofansyah dan Effendi Kassah memilih ke Damaskus di Siria bersama Dubes Dahlan Abdul Hamid.

Setelah agresi militer terjadi dan Irak jatuh ke tangan pasukan koalisi, suasana di Baghdad dan kota-kota lain seolah seperti negeri tanpa tuan. Warga Irak dengan mudah menenteng senjata meski sudah ada patroli pasukan AS.

Perjalanan darat ke Baghdad memang tidak lagi mudah dilalui. Rintangan pasir di jalan-jalan untuk menghambat laju kendaraan menjadi momok bagi siapa saja yang ingin masuk ke Baghdad. Belum lagi, penculikan jurnalis dan warga asing di Irak. Sudah banyak korban penculikan yang dilepas tetapi ada juga yang tidak jelas rimbanya.

Meutya dan Budiyanto sebenarnya sudah kembali ke Yordania setelah meliput detik-detik pengumuman pemilu. Namun, kembali memasuki Irak untuk meliput sebuah hajat besar yang setiap tahunnya selalu diperingati warga Syiah di Kota Karbala. Warga Syiah Irak setiap 10 Muharam memperingati terbunuhnya Husein dan Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW.

Menurut Meti, putri bungsunya sempat menelepon pada 15 Februari silam pukul 10.00 WIB. Dalam percakapan tersebut, Meutya memberi kabar dirinya bersama Budiyanto kembali berangkat ke Baghdad untuk melakukan peliputan. Lajang kelahiran Bandung, Mei 1978 ini juga mengabarkan akan kembali ke Indonesia 25 Februari mendatang.

Waktu itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengklarifikasi bahwa kedua jurnalis itu sedang menjalankan tugas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan politik. Ia pun meminta Brigade Mujahiddin di Irak untuk membebaskan wartawan tersebut.

“Kami semua rakyat Indonesia berharap kedua wartawan itu segera dibebaskan dan dapat kembali ke Tanah Air dengan selamat,” harap Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (19/2/2005) silam.

Sebelumnya, melalui televisi berbahasa Arab Al-Jazeera, Presiden juga memberikan klarifikasi bahwa kedua jurnalis itu menjalankan tugas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan politik yang terjadi di Irak. Penegasan Yudhoyono itu sebagai jawaban atas tuntutan para penyandera yang meminta klarifikasi pemerintah Indonesia tentang kedatangan kedua wartawan tersebut ke Irak.

Juru Bicara Kepresidenan Dino Pati Djalal menyatakan, selain memberikan klarifikasi Yudhoyono juga telah meminta Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda terus memantau berbagai perkembangan atas kasus penyanderaan itu.

Dino memberikan informasi, pemerintah telah mengirimkan seorang warga Irak ke Ramadi, sekitar 150 kilometer dari Kota Baghdad, untuk mencari informasi mengenai keberadaan penyandera. Depertemmen Luar Negeri juga kembali mengaktifkan Crisis Center di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman dan perwakilan Indonesia di Irak. (AS/Hidayatuna.com)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *