Perihal Pertanyaan “Kapan Menikah dan Mempunyai Anak” dalam Islam

Kapan Nikah
HIDAYATUNA.COM – Sebagian besar orang yang bertanya perihal “kapan menikah” dan “kapan mempunyai anak” bukan karena benar-benar peduli, melainkan basa-basi. Orang yang peduli justru akan menjaga hati saudaranya agar tidak merasa risih, sedih bahkan stress.
Perihal pertanyaan kapan menikah dan kapan mempunyai anak jika tak hati-hati bisa cilaka. Bisa saja seseorang yang Anda tanya perihal tersebut memiliki sensitifitas yang tinggi dalam hal ini karena berbagai faktor. Allah memerintah agar sesama manusia tidak saling menyakiti.
Allah berfirman dalam QS. Al Isra ayat 36:
Wa laa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilm, innas-sam’a wal-basara wal-fu’aada kullu ulaa’ika kaana ‘an-hu mas’ulaa
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Perihal kapan menikah dan mempunyai anak dalam Islam merupakan cita-cita mulia. Mengapa? Menikah adalah sunah Rasulullah saw yang menjadi ladang pahala bagi manusia lantaran menimbulkan ketenangan. Sekaligus medan jihad (berjuang di jalan Allah).
Perihal kapan menikah dan memiliki anak menjadi privasi bagi setiap mukmin. Sebagaimana beribadah, maka hendaknya disembunyikan alias tidak dipamer-pamerkan. Apalagi jika menyangkut rencana besar untuk menikah atau memiliki anak.
Pengumuman menikah dan memiliki anak mesti tepat sasaran. Agar tidak ada peluang orang hasud menggagalkan pinangan dan pernikahan, maupun untuk mempunyai anak. Berbeda dengan pernikahan yang harus diumumkan agar tidak terjadi fitnah.
Sebagaimana hadis dari Muadz bin Jabal ra yang mengatakan bahwa seorang laki-laki telah meminang seorang perempuan maka hal itu harus dirahasiakan.
“Gunakan cara rahasia ketika ingin mewujudkan rencana. Karena setiap pemilik nikmat, ada peluang hasadnya.” (HR. Thabrani).
Pahami Privasi Seseorang
Memahami kondisi seseorang bukanlah hal yang sulit bagi umat beragama. Paham datangnya dari berpikir dengan hati nurani. Seorang muslim tidak harus mengalami sendiri apa yang dirasakan saudaranya untuk bisa memahami seseorang.
Sayangnya pemahaman akan hal ini masih sangat jauh di masyarakat kita. Misalnya dalam menghargai privasi seseorang. Tidak harus sekolah tinggi-tinggi untuk bisa berempati dan berhati-hati dengan ucapan.
Perihal kapan menikah dan memiliki anak selalu menarik perhatian orang-orang untuk diperbincangkan. Sayangnya perbincangan atau sekadar basa-basi itu sampai keluar dari hati nurani. Barangkali karena terlalu menganggap remeh perihal menikah dan memiliki anak ini.
Bagi sebagian besar umat Islam, perihal menikah tentu impian dan momen sakral yang sangat diidamkan. Demikian pula memiliki buah hati. Masyarakat umum beranggapan jika menikah adalah keharusan. Ketika mendapati lelaki atau wanita yang masih sendiri, selalu dikaitkan dengan pertanyaan “kapan menikah?”, lalu “kapan punya anak?”
Fenomena seperti itu terlalu mainstream di kalangan masyarakat umum. Bahkan lucunya mereka terkadang ada yang menjadikan hal tersebut sebagai bahan lelucon yang tentu tidak lucu. Kadang dalihnya agar yang digoda segera menikah karena merasa iba dengan kesendiriannya.
Tenang, Mereka Pun Sedang Berusaha
Pahami bagaimana kondisi psikis seorang lelaki atau wanita yang sudah mengimpikan momen sakral sekali dalam seumur hidup. Namun terkendala dengan berbagai hal sehingga mereka harus berusaha lebih ekstra daripada lainnya. Agar bisa menjalankan ibadah menikah.
Pasangan suami-istri yang sedang mengupayakan kehadiran buah hati dalam rumah tangganya. Untuk dapat menghasilkan janin, pasangan ini tidak boleh kelelahan baik secara fisik maupun psikis karena hal itu dapat berdampak ke proses pembuahan.
Upaya yang dilakukan ini terkadang cukup menguras energi, yakni tenaga dan pikiran yang mudah lelah. Munculnya keinginan yang besar kerap membuat kita terhanyut dalam kesedihan, emosi, bahkan minder dengan orang lain. Meski hal tersebut sebaiknya tak perlu dipikirkan karena melelahkan.
Sudah lelah, tambah pula dengan barisan pertanyaan “kapan” yang bukannya memotivasi, yang ada justru jengah sendiri.
Kita tidak tahu apa yang dilakukan seseorang di sana untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan banyak orang. Selayaknya ibadah, menikah adalah hal yang privasi dan tidak perlu digembar-gemborkan. Kalau sudah waktunya jika Anda kenal, pasti akan dikabarinya.
Perihal kapan menikah dan mempunyai anak adalah privasi bagi setiap orang, namun agaknya menjadi ‘urusan’ banyak orang. Basa-basi perihal ini yang membudaya di masyarakat sebaiknya tidak perlu diucapkan. Sudah sepatutnya kita menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti sesama.