Pergeseran Otoritas Ulama di Era Digital
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dulu waktu kecil, saya masih ingat betul ketika menghabiskan waktu cukup banyak di langgar dan di madrasah untuk mengaji.
Setiap subuh, habis dhuhur dan habis maghrib, wajib untuk mengaji. Bahkan kegiatan tersebut dilakukan setiap hari sampai kuliah selesai.
Pertemuan offline dan mengaji secara langsung di TPA, madrasah, ataupun pondok pesantren, menjadi salah satu sumber informasi utama untuk mendapatkan pengetahuan agama yang kredibel.
Di masa silam, tahun 2000-an, televisi menjadi salah satu media yang paling dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu, ada pula radio. Sumber keagamaan bisa didapatkan dari para dai yang tampil di televisi, atau disiaran radio untuk berceramah.
Namun, tidak semua masyarakat memiliki radio atau televisi. Sehingga pada dasarnya, kebutuhan untuk mengakses informasi dan pengetahuan agama, bisa didapatkan melalui mengaji di madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan agama Islam lainnya.
Salah satu dai yang terkenal pada masa itu adalah Ustaz Jefry Al-Bukhori. Ia sosok yang sangat populer di kalangan anak muda Muslim di Indonesia.
Tidak hanya ceramahnya yang cukup populer dalam isu anak muda, ia juga menyasar pemuda perkotaan dengan touring menggunakan motor.
Hijrah yang dibawa kepada kalangan anak muda muslim, menjadi salah satu potret kepopuleran Uje (sapaan akrabnya) dalam berdakwah.
Selain Uje, ada Mamah Dedeh yang memiliki ciri khas sebagaimana emak pada umumnya.
Gaya dakwah yang cocok sekali dengan kaum ibu, memberi warna tersendiri pada potret ceramah di Indonesia.
Uje dan Mamah Dedeh, merupakan dai yang menikmati ketenaran dan populer menjadi pendakwah melalui televisi.
Arus Teknologi Informasi yang Berubah
Pergeseran dalam penyampaian informasi dan melakukan segala aktivitas di dunia digital, membuat kita lebih mudah menerima dan mendapatkan informasi secara cepat.
Hal ini termasuk juga pengetahuan tentang agama, di mana masa silam bisa kita dapatkan melalui ngaji, di madrasah ataupun di pondok pesantren.
Lembaga pendidikan Islam, saat ini bukan satu-satunya sumber informasi untuk mendapatkan pengetahuan agama.
Kecepatan internet membuat masyarakat semakin mudah untuk mencari jawaban atas ketidaktahuan persoalan agama.
Hal ini juga berpengaruh terhadap eksistensi para dari dai atau penceramah untuk merebut kontestualisasi ruang digital.
Setidaknya ada beberapa tokoh yang cukup famous di era digital seperti ustaz Somad, Uztaz Hanan, dan lain-lain.
Kedua tokoh ini tidaklah dihasilkan tanpa proses yang panjang. Artinya, baik ustaz Somad ataupun Hanan, pernah menempun pendidikan formal keagamaan seperti pesantren dan universitas.
Keduanya merupakan alumni dari universitas Islam terkemuka di dunia, Al-Azhar Kairo, Mesir.
Khusus ustaz Somad alumni Darul Hadits, Maroko dan mengambil program doctoral di Universitas Omdurman, Sudan.
Secara kredibilitas agama berdasarkan latar belakang pendidikan, keduanya memiliki kemampuan yang cukup mumpuni untuk berbicara tentang agama.
Namun, apakah hanya dua tokoh tersebut di Indonesia yang berhasil menempuh pendidikan agama melalui universitas Islam terkemuka di dunia? Tentu tidak.
Ada banyak tokoh di Indonesia yang memiliki pengalaman serupa namun, tidak memiliki kepopuleran seperti keduanya.
Upaya yang dilakukan oleh ustaz Somad dan ustaz Hanan merupakan salah satu strategi dakwah di era digital.
Dukungan massa, khususnya kelompok hijrah dari anak muda. Mereka memobilisasi ustaz Hanan dan menjadi pionir nyata dakwah yang dilakukan.
Mengemas Dakwah di Era Digital
Melakukan re-branding dakwah di era kontemporer, sangat penting untuk masuk dalam sebuah dunia. Memiliki target anak muda, misalnya.
Pendakwah harus mampu mengemas dakwahnya agar bisa diterima oleh anak muda. Ustaz Hanan merupakan potret pendakwah kekinian.
Dari segi penampilan, ia tampil dengan sepatu, topi, celana dan baju flanel. Penampilan semacam ini jarang terlihat dari seorang pendakwah yang biasanya memakai kopyah, sarung dan semacamnya.
Pengemasan dakwah di era digital, jika melihat potret ustaz yang dikenal di era digital seperti ustaz Hanan dan ustaz Somad, merupakan tindakan yang sangat kompleks.
Di satu sisi, mereka memiliki kelompok muda sebagai kelompok yang memobilisasi media massa untuk menyebarkan dan mengkampanyekan kontek dakwah yang diproduksi.
Di sisi lain, gaya dan penyampaian dengan pembahasan populer, akan membuat masyarakat mudah menerima kehadiran pendakwah di era digital.
Pembahasan populer seperti persoalan kehidupan anak muda, jodoh, rumah tangga, adalah produk dakwah yang dibutuhkan oleh masyarakat masa kini.
Arus media teknologi, membuat masyarakat lebih mencari sumber referensi keagamaan melalui handphone dibandingkan dengan bertemu langsung dengan pemuka agama, ataupun membuka kitab yang membutuhkan waktu lebih banyak.
Dengan demikian, eksistensi peran ulama di era digital harus cukup mampu untuk mengemas dakwah di media sosial agar masyarakat memiliki sumber referensi keagamaan yang mumpuni dari orang yang benar-benar memiliki pengetahuan agama. Wallahu A’lam. []