Perempuan Jawa Islam di Masa Silam

 Perempuan Jawa Islam di Masa Silam

Fatwa ulama wanita yang tidak menabrak Ijma’ (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di masa silam kita mungkin melulu disuguhi narasi yang sifatnya patriarki. Perempuan diharuskan tunduk pada kuasa dominan pria. Kepatuhan dan ketaatan pada pria, dengan bagaimana pun perlakukan pria terhadap perempuan, akan membawa perempuan pada kebahagiaan yang sejati. Bahkan dalam beberapa serat, suluk, dan babad kita akan menemukan bacaan dari para Raja Jawa tempo dulu yang memiliki seorang permaisuri dengan sekian selir-selirnya. Hal ini malah dinilai sebagai bagian dari kewibawaan seorang Raja Jawa.

Pada Serat Murtasiyah yang ditulis oleh Pakubuwana IV tahun 1814 di Keraton Surakarta kita akan menemukan cerita ihwal perempuan yang ideal adalah mereka yang memiliki kepatuhan total kepada suaminya. Serat ini kemudian disalin dan ditulis ulang dalam dua jilid oleh Pakubuwono IX pada tahun 1863.

Murtasiyah sendiri diceritakan sebagai putri yang cantik dan berbakat. Ia lahir dari keluarga kyai di pondok pesantren yang ada di daerah Wanasari. Karena usianya sudah matang untuk menikah, ada sekian orang yang melamar namun ditolak mentah-mentah oleh Murtasiyah. Ia memilih jalan suluk untuk mendekatkan diri kepada Maha Pencipta.

Lantas datanglah Seh Ngarib, keturunan Kanjeng Nabi Muhammad yang memiliki serangkaian kepandaian dengan tampilan menawan hendak meminang Murtasiyah. Namun jawaban Murtasiyah tetap sama: menolak.

Hanya saja diceritakan di serat, bapaknya memberi nasihat kepada Murtasiyah bahwa, pencapaian spiritual yang mungkin bisa diraih oleh perempuan adalah melalui jalan perwujudan kehidupan suami istri yang paripurna. Bapaknya menukil kisah Dewi Aklimah yang tetap setia kendati suaminya bersikap tidak adil padanya. Dari situ, Dewi Aklimah lantas ke surga. Namun ia enggan untuk masuk, jika suaminya juga tidak turut masuk ke dalam surga.

***

Akhirnya Murtasiyah ini mau menikah dengan Seh Ngarib. Layaknya kehidupan suami istri yang baru menikah, keduanya hidup rukun dengan bumbu asmara yang masih meluap-luap. Saat Murtasiyah mengandung, Seh Ngarib pamit melakukan laku tirakat ngudi ngelmu di beberapa tempat.

Maka Murtasiyah pun sejak mengandung sampai persalinan dilakukan dengan sendiri. Ia tidak berani meminta tolong kepada tetangganya karena Seh Ngarib berpesan, “percayalah hanya kepada Allah semata”.

Anaknya lahir perempuan dengan rupa yang cantik. Paginya, Seh Ngarib kembali ke rumah karena menerima tanda bahwa anaknya telah lahir. Keduanya hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.

Akan tetapi di suatu sore, sembari mengurus anak dan suaminya, Murtasiyah ini secara tidak sengaja menyenggol lampu lantas minyaknya tumpah di piring makan suaminya. Seh Ngarib pun murka. Ia lantas merebut anaknya dan mengusir Murtasiyah dari rumah. Kendati maaf dituturkan, namun oleh Seh Ngarib justru dibalas dengan menjambak rambutnya, menyeret keluar, dan memukulinya sampai tidak sadarkan diri.

Setelah beberapa saat sadar, Murtasiyah memutuskan untuk pamit pada kedua orang tuanya untuk pergi. Tapi orang tuanya tidak memberinya pintu. Karena luka di tubuhnya telah menunjukkan nistanya bahwa, ia adalah perempuan yang berdosa karena telah berani pada suaminya.

***

Akhirnya ia pergi ke hutan lantas berdoa untuk bertobat. Lamat-lamat lukanya sembuh dan ia berubah menjadi cantik kembali. Dari situ ia memutuskan untuk pulang ke rumah, meminta maaf kepada Seh Ngarib. Seh Ngarip pun memberinya maaf. Keduanya hidup bahagia dengan benih-benih asmara yang kembali muncul.

Serat Murtasiyah ini mungkin akan dinilai oleh pembaca hari ini sebagai serat yang melegitimasi kultur patriarki, khususnya di Jawa. Bahwa si istri mesti menunjukkan kepatuhan total kepada suaminya agar peroleh ridho-Nya, memang demikian cerita di serat tersebut.

Hanya saja, kita perlu melihat konteks kenapa Serat Murtasiyah ini oleh Pakubuwono ke IX mesti disalin-ulang? Apakah ia sebagai Raja Jawa di masanya mengalami kegagalan dalam meminang seorang perempuan?

Nancy K. Florida di tulisannya Sex Wars: Writing Gender Relations in Nineteenth-Century Java (1996) memberi terang bahwa, Pakubuwono IX pernah menyukai Gusti Sekar Kedaton, putri dari Pakubuwono VII. Hanya saja sekian rayuan dan pengejaran asmara yang ia lakukan selama 20 tahun, tidak membuahkan hasil apa-apa. Pakubuwono IX mengaku kalah dan pasrah.

Adapun Gusti Sekar Kedaton sendiri tetap menjaga dirinya dengan laku tirakat sampai ke tingkat yang cukup tinggi. Nancy menulis: “Sekar Kedathon melawan ideologi dominan laki-laki dan mengelak dari suatu realitas perempuan yang, bisa juga, kurang menguntungkan.” Dari peristiwa inilah kemudian Pakubuwono memerintahkan cariknya untuk menyalin Serat Murtasiyah ini.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *