Perempuan di Mata Keadilan

 Perempuan di Mata Keadilan

Mengapa Sunat Perempuan Tidak Perlu? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – “Seseorang takkan memuliakan perempuan, kecuali dia orang mulia, dan tidaklah seorang meremehkan atau bahka menghina perempuan, kecuali dia orang yang hina.” Begitulah kira-kira apa yang telah diucapkan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra.

Siapa pun yang mempunyai kesehatan dalam berpikir, maka saya kira akan sangat sepakat dengan apa yang telah di ucapkan oleh Sayyidina Ali tersebut. Saya juga teringat dengan apa yang telah disampaikan oleh Buya Hamka.

Kira-kira begini, bahwa pandai menghormati orang lain, adalah merupakan representasi dari kemuliaan budi dalam pergaulannya. Hal ini, adalah akan semakin baik di mata kebaikan manakala dituangkan dalam konteks hubungan dengan perempuan.

Kedua hal di atas, dalam tulisan ini, akan saya coba untuk tarik ke dalam perspektif keadilan. Nah, berbicara keadilan, keadilan sendiri mempunyai makna sangat universal.

Tetapi begini, hemat saya, kita sadari atau tidak, bahwa tak ada satu manusia pun yang tak dapat menyingkir atau menghindar dari pergaulan yang ramai, pertukaran kepentingan, bahkan pergantian pikiran. Maka, hanya keadilan-lah yang akan menjadi sebuah pengawas dalam masyarakat ramai itu.

***

Berbuat baik kepada orang lain, tulus dan ikhlas, membela kemanusiaan, mencintai tanah air, dermawan, menjaga budi pekerti, dan juga menjaga hak-hak persamaan, termasuk dalam konteks laki-laki atas perempuan, misalnya. Ini semua menjadi bentuk nyata sebuah keutamaan yang bergantung pada keadilan itu.

Di dalam Islam sendiri, Kanjeng Nabi Muhammad Saw pun telah mengajarkan, bahwa “Tidaklah beriman seorang kamu sebelum dia mencinta saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri.”

Mirip dengan ini, di dalam filsafat Nasrani pun mengajarkan arti dari sebuah keadila, bahwa “jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kita tidak senang, kalau dilakukan orang kepada kita.

Kedua ajaran di atas, jelas ada kemiripannya, bahwa keadilan itu boleh kita katakan bahwa takarannya adalah kemaslahatan. Tidak ada yang dirugikan, atau keadilan itu berarti keseimbangan, atau pun boleh dikatakan tegak di tengah.

Lebih spesifik lagi, di dalam hukum dasar dunia keadilan, maka sebuah keadilan harus mengandung tiga aspek, yakni persamaan yang menjunjung tinggi hak segenap manusia. Kemerdekaan yang menjunjung tinggi kebebasan manusia atas fitrahnya, dan menghargai hak milik atas hukum mengakui hak milik seseorang atas hartanya sendiri.

Nah, ketiga itu harus tetap ada, manakala agar tetap terciptanya sebuah keadilan. Sekali lagi, tak terkecuali ini juga termasuk dalam konteks hubungan laki-laki dengan perempuan.

***

Berbicara posisi perempuan di mata keadilan, saya kira kurang kuat manakala kita tidak masuk dalam ruang Alquran. Baik, berbicara perempuan, maka sama saja berbicara tentang penciptaan manusia.

Di dalam Alquran itu ada tiga sebutan untuk manusia, yakni khalifah, basyar, dan al-insan. Hal ini tertuang dalam QS al-Baqarah [2]:30-4, QS al-Hijr [15]:26-34, and QS Shad [38]:71-77.

Terkait dengan tafsirannya dalam hubungannya dengan penciptaan Adam tersebut, maka umat Muslim pun telah memiliki atau membentuk suat gagasan kemanusian yang berasal dari laki-laki. Begitu juga persepsi ini menandaskan bahwa sama sekali tidak merujuk pada bagaimana pasangan perempuannya diciptakan.

Persepsi di atas, saya kira keliru. Meski demikian, saya pribadi mempunyai pendapat bahwa bungkamnya atas Alquran terhadap cara penciptaan Hawa.

Hal itu tidaklah mengurangi arti penting penciptaan Hawa bersamaan dengan penciptaan Adam. Artinya, penciptaan itu tidak bisa direduksi, bahwa pesan universal penciptaan Hawa adalah mengulangi maksud Allah, menjadi satu atau yang lainnya.

Sebab, baik Adam dan Hawa mencerminkan model-kecil kemanusiaan (microcosmos) yang terbentuk oleh keduanya (Hawa dan Adam). Ketika ketidakjelasan tentang penciptaan Hawa telah menimbulkan berbagai penafsiran.

Maka, sebagaimana telah dicatat sebelumnya, bahwa teori yang paling lazim ialah perempuan diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam.

***

Riwayat di atas pula, pasti pemahaman oleh setiap manusia hari ini, seketika menggambarkan bagaimana cara Hawa diciptakan. Proses pemberian nama, pengetahuan Hawa, dan sampai hubungannya dengan seorang laki-laki.

Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Tafsir ini mengindikasikan bahwa Adam dimaksudkan sebagai ciptaan primer, dan Hawa adalah ciptaan sekunder.

Demikian, boleh jadi, inilah sebabnya hari ini banyak yang membuat perempuan dipandang lebih rendah (derajatnya) ketimbang Adam/laki-laki. Tetapi d sisi lain, jika di balik pandangannya, begini misalnya, Hawa memiliki pengetahuan-sendiri ihwal menjadi “seorang perempuan”.

Lalu seorang Adam melakukan pemberian nama dan mengambil nama tersebut berdasarkan asal-usul Hawa dari sesuatu yang hidup. Maka peran Hawa akan bersifat perluasan (ekstensional), dalam artian bahwa eksistensinya tidaklah terpisah dari Adam.

Seorang Adam mungkin menemukan ketenangan bersama Hawa, tapi Hawa tidak memiliki tempat berpaling untuk menemukan ketenangannya. Sampai di sini, saya berkesimpulan bahwa, ketika manusia tidak sempurna mencerna pemahaman dari teks Alquran, atau tafsir-tasifnya, atau bahkan malah mendikotomikan antara tafsir satu dengan yang lainnya.

Maka saya menduga keras akan tetap terjadi perbedaan pandangan atas nasib laki-laki dan perempuan di mata keadilan. Sehingga juga akan tetap melahirkan sebuah budaya yang ebrsifat ketimpangan dan bakal merugikan di salah satu pihak.

Jadi, salah satu caranya untuk mereduksi atau menghilangkan budaya ketimpangan itu, maka harus juga menarik dan mengorelasikan dengan dasar keadilan di atas. Agar ketidak sempuraan pemahaman manusia bisa tersempurnakan. Sehingga keadilan pun terjadi. Semoga.

 

Rojif Mualim

https://hidayatuna.com

Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengajar dan Peneliti, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *