Perdebatan Negara Bangsa: Paradigma Sistem Kenegaragaan Negara Muslim Modern

 Perdebatan Negara Bangsa: Paradigma Sistem Kenegaragaan Negara Muslim Modern

Sistem Khilafah (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

HIDAYATUNA.COM – Islam dalam tinjauan nash, baik itu didalam Alquran ataupun Hadis, tidak pernah menformalkan bentuk Negara harus seperti apa. Adapun yang diperintahkan oleh nash adalah taat kepada pemimpin yang sah, seperti halnya yang tertuang dalam surat An-Nisa ayat 59.

K.H Abdurahman Wahid alias Gusdur berpendapat bahwa Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Etik kemasyarakatanlah yang diperlukan, oleh karenanya, menurut Gusdur Islam tidak perlu diformalkan dalam kehidupan bernegara.

Terkait bentuk negara, entah itu Kekhilafahan, ataupun Negara bangsa itu diserahkan kepada kesepakatan bersama antar masyarakat dari masing-masing wilayahnya. Dalam konteks kekhilafahan pun praktiknya terdapat suatu perbedaan sistem yang diterapkan.

Sebab sejarah mencatat, khilafah pernah dijalankan berdasarkan Syura dan Khilafah dengan gaya Monarki. Secara konsep dasar khilafah berdasarkan syura, proses pemilihan kepala negaranya dilakukan secara musyawarah. Kemudian nantinya disepakati oleh umat melalui bai’at kepadanya.

***

Model ini pernah dijalankan pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin. Meski proses pemilihan Umar bin Khattab menjadi khalifah dilakukan atas dasar penunjukan langsung oleh Abu bakar sebelum wafat.

Kendati demikian, yang membedakan hal ini adalah Umar bin Khattab tidak memiliki hubungan darah dengan dengan Abu bakar sebagai khalifah sebelumnya. Menjelang wafatnya pun, Umar membentuk Majelis Syura untuk memilih khalifah selanjutnya, dan tidak diserahkan kepemimpinan kepada anaknya Abdullah bin Umar.

Hal ini berbeda tentunya dengan konsep kekhilafahan berdasarkan monarki yang pertama kali diterapkan oleh dinasti Umayyah. Pada saat itu Muawiyyah bin Abu Sufyan mengangkat anaknya, Yazid bin Muawiyyah untuk menjadi khalifah selanjutnya menggantikan dirinya di dinasti Umayyah. Praktik ini pun diwariskan terus menurus hingga dinasti itu runtuh.

Perbedaan cara pemilihan ini tentu menghasilkan kualitas yang berbeda dalam memilih pemimpin tentunya. Jangan harap dengan memilih pempimpin atas konsep kekeluargaan tanpa keterbukaan dan partisipasi masyarakat, akan menghasilkan pemimpin yang sesuai yang diinginkan dan dikehendaki oleh masyarakat.

***

Pemilihan pemimpin berdasarkan jalur keluarga ini pun sangat rentan terjadinya kecemburuan antar anggota kerajaan. Parahnya menggunakan cara yang tidak baik, cenderung kotor dan sangat gampang sekali menggunakan dalil agama untuk melegitimasi kekuasaannya.

Semisal contoh Umar bin Abdul Aziz yang diracun oleh keluarganya sendiri. Begitu pun perang saudara antara putranya Khalifah Harun ar-Rasyid yakni al-Amin dan al-Ma’mun tak bisa dihindarkan dengan terpenggalnya kepala al-Amin.

Padahal sebelumnya sudah ada perjanjian yang waktu itu tersimpan di dinding ka’bah antara keduanya dengan ayahnya. Perjanjian itu menyatakan bahwa yang berwenang menggantikan setelah Harun ar-Rasyid adalah al-Amin. Namun sifat ingin berkuasa al-Ma’mun tidak bisa dihindarkan, walau harus bertarung dengan saudaranya sendiri.

Pemimpin yang dipilih berdasarkan kekeluargaan ini terkadang sangat mengesampingkan kapasitas dan integritas si calon pemimpin tersebut. Meskipun terdapat khalifah seperti Umar bin Abdul Aziz pada dinasti Umayyah dan Harun ar-Rasyid pada dinasti Abbasiyah yang dianggap luar biasa dalam sejarah. Namun ini hanya sedikit dari banyaknya pemimpin rusak pada saat itu. 

Kita mengenal bagaimana kejamnya Yazid bin Muawiyah sebagai seorang yang fasiq, pemabuk. Beliau juga dikenal sadis, sebab beliau yang memerintahkan untuk membunuh sayyidina Husein melalui tentaranya.

Bahkan dalam peristiwa al-Harrah beliau dengan mengirimkan 10 ribu tentaranya dibawah pimpinan Muslim bin Uqbah al-Murri. Membunuh banyak sahabat dan menghancurkan kota madinah, dengan alasan untuk melanggengkan kekuasaannya itu.

Tak lupa dengan Al-Walid II yang dikenal sejarah sebagai fir’aunnya umat Islam, sebab tindakanya diluar aturan syariat. Diantaranya, menikahi istri dari ayahnya, naik haji dengan membawa minuman keras, bahkan meminumnya didepan Ka’bah, dan bersifat diktaktor ketika memimpin.

***

Saat ini pun, pasca runtuhnya kekhilafahan turki Usmani pada 1924, khilafah tidak di kenal lagi. Umat Islam lebih memilih untuk mendirikan negara sendiri-sendiri secara nation state daripada mengharuskan terbentuknya pemerintahan ala khilafah. Pemerintahan yang dipimpin oleh 1 pemimpin dan wilayahnya mencakup seluruh umat muslim berada.

Seiring dengan perkembangnya era terdapat 3 kecendrungan atau paradigma mengenai Hubungan agama dan Negara. Ada yang bersifat Integralistik, simbiotik, ataupun sekuleristik. Integralistik memiliki pemahaman bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Golongan ini menganggap berjalannya Negara dan pemerintahan harus bersesuaian dengan syariat Islam. Pendirian Negara Islam sebagai kewajiban yang harus dilakukan umat Islam dan tokohnya itu ada Rasyid Ridha, al-Maududi, Sayyid Quthb, serta Imam Khomeini.

Lalu ada Paradigma Intersection atau simbiotik bahwa hubungan agama dan Negara itu saling membutuhkan. Agama membutuhkan adanya negara sebagai wadah untuk menegakkan syariatnya.

Negara pun membutuhkan agama sebagai sumber hukum, moral warga negaranya, dan juga untuk mendapatkan legitimasi. Adapun mengenai tokoh dari golongan ini seperti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad, dan Fazlur Rahman.

Terakhir, ada kecendrungan sekuleristik yang menyatakan bahwa Negara dan agama itu harus dipisahkan, sebab nabi tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan Negara. Oleh karena itu, jika negara itu ingin maju maka harus terpisah dengan kepentingan agama. Tokoh yang mendukung ini ialah Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, dan Mustafa Kemal Ataturk.

***

Dari ketiga perdebatan tersebut, semuanya sangat memungkinkan mendirikan negara bangsanya sendiri. Termasuk kaum Integralistik, jika golongan integralistik memahaminya bahwa negara Islam tidak melulu berbicara soal khilafah.

Sebab tiap negara kini memiliki aturannya sendiri-sendiri dan teritorialnya masing masing sangat kecil kemungkinan jika disatukan terorganisasi oleh sistem khilafah islamiyah. Tujuan negara Islam pun, dari hemat penulis, bukanlah berdirinya khilafah, melainkan adalah kemaslahatan seperti halnya yang terdapat kaidah fiqh:

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

Kaidah ini membawa pesan agar tindakan pemimpin kepada rakyatnya harus disarkan oleh maslahat. Maslahat bisa dikatakan sebagai konsep welfare dalam islam, sehingga dalam islam yang terpenting bukanlah bentuk negara itu harus seperti apa. Tetapi bagaimana negara tersebut bisa menjaminkan kesejahteraan untuk rakyatnya.

Nyatanya, saat ini sah-sah saja mendirikan negara Islam walau tidak mengharuskan seperti Khilafah Islamiyah. Saat ini kita mengenal Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, Kerajaan Saudi Arabia dan masih banyak lagi yang menjadikan Islam sebagai sumber hukum sekaligus ideologi negara mereka.

Namun hal ini tidak berlaku bagi Indonesia karena kita memiliki pancasila. Pancasila ini sebagai Kalimatun sawa atau titik temu atas kemajemukan dan beberapa paham yang dibawa dan diperdebatkan oleh founding fathers kita sehingga, kita harus senantiasa merawatnya.

Meski Indonesia bukan negara Islam, tetapi kita dapat merasakan Islam dari tiap aspek kehidupan kita. Ajaran Islam serta segala bentuk peribadatannya tidak dilarang bahkan cenderung difasilitasi. Kita juga memiliki peradilan agama yang mempraktikkan hukum Islam secara keperdataan dari segi formil maupun materil.

Denis Kurniawan

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *