Percepat Sertifikasi Halal, Waspada Pelaku Usaha Nakal
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 sifatnya wajib (mandatory).
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UUJPH yang berbunyi “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”
Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) tersebut dilaksanakan secara bertahap. Dari mulai tanggal 17 Oktober 2019 sampai pada 17 Oktober 2024 untuk makanan dan minuman.
Pemerintah mempunyai waktu 5 tahun sejak dimulainya tahap pertama dan kini November 2022, artinya sisa waktu untuk menyelenggarakan JPH tahap pertama hanya sekitar 2 tahun lagi.
Melalui program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis) Pemerintah optimis akan bisa menyelesaikan program JPH tahap satu.
Dilansir dari akun instagram BPJPH @halal.indonesia pada September 2022, BPJPH telah menerbitkan sertifikat halal self declare sebanyak lebih dari 11 ribu.
Ditambah dengan 11 ribu dokumen yang masih proses, seperti pada tahap sidang fatwa, verifikasi, dan pengecekan LP3H.
Jika melihat angka jumlah sertifikat halal yang sudah keluar, tentu Pemerintah dalam hal ini BPJPH masih harus bekerja keras untuk memaksimalkan Jaminan Produk Halal tahap 1.
Mengingat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, jumlah Usaha Mikro Kecil (UMK) makanan dan minuman di Jawa Barat saja mencapai 791.435 UMK.
Artinya pemerintah kini hanya baru mengeluarkan sekitar 1,3 % dari jumlah UMK yang ada di Jawa Barat, belum untuk UMK wilayah lainnya.
Waspada Pelaku Usaha Nakal
Mengingat jumlah UMK makanan dan minuman yang jumlahnya banyak dan belum tersentuh oleh program SEHATI.
Pemerintah terus menggalakan program ini dengan membuka pelatihan Pendamping Proses Produk Halal (PPPH).
Pada Agustus 2022 lalu, total pendaftar PPPH ini mencapai 80.000. Pendamping PPH ini adalah orang yang akan mendampingi pelaku usaha (UMK) dalam permohonan sertifikat halal gratis.
Pendamping PPH melakukan verifikasi dan validasi terhadap produk makanan dan minuman yang bisa melalui jalur self declare.
Pelaku usaha akan diarahkan untuk menggunakan bahan-bahan yang halal atau yang sudah mempunyai sertifikat halal.
Artinya dalam hal ini, pelaku usaha harus menyesuaikan dan megikuti arahan dari Pendamping PPH agar produknya bisa diterbitkan sertifikat halal.
Selain itu, Pendamping PPH juga membantu pelaku usaha dalam mengurus perizinan, seperti dalam pembuatan NIB.
Bukan tidak mungkin, pelaku usaha bisa saja mengganti bahan yang telah dinyatakan dalam manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dengan alasan lebih ekonomis seandainya tidak ada kesadaran halal pada diri pelaku usaha.
Misalnya, ia mengganti minyak goreng yang pada awalnya memakai produk yang sudah bersertifikat halal, namun karena harganya lebih mahal, maka pelaku usaha menggantinya dengan minyak yang belum ada sertifikat halal dengan harga yang lebih murah.
Dalam percepatan proses sertifikasi halal, BPJPH perlu mengacu pada tujuan utama dari Undang-undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 Tahun 2014. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan ketersediaan produk halal bagi masyarakat sebagai konsumen
Jadi jangan sampai, karena fokus pada target proses tahap satu sampai Oktober 2024, sementara tujuannya terabaikan, sehingga masyarakat masih berpotensi mengkonsumsi produk yang kehalalannya tidak terjamin karena masih adanya celah kecurangan bagi pelaku usaha nakal.
Pengawasan dan Edukasi sebagai Solusi
Menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya sertifikasi halal tentu bukanlah suatu perkara yang mudah. Apalagi bagi para pelaku usaha yang berada pada keadaan dilematis.
Apakah Ia harus mempertahankan kehalalan produknya yang sudah mendapat jaminan dari pemerintah atau kembali menggunakan bahan bahan yang secara ekonomi lebih menguntungkan usahanya, meski melanggar aturan yang ada?
Dalam pelaksanaannya, tentu hal ini harus dilakukan oleh Pendamping PPH. Karena PPPH yang berinteraksi secara langsung dengan pelaku usaha.
Maka, PPPH jangan hanya memberikan edukasi terkait proses halal, tetapi juga mengenai urgensi halal suatu produk.
Untuk menanamkan kesadaran halal pada pelaku usaha, tentunya tidak cukup hanya sekali atau dua kali saja, apalagi dalam pelaksanaannya PPPH diberikan tugas administrasi yang cukup menyita waktu.
Untuk memaksimalkan edukasi, PPPH bisa mengadakan kajian rutin bagi pelaku usaha binaannya.
Misalnya dengan tergabung dalam PPPH se-Kecamatan melalui program kajian rutin seminggu sekali atau dua minggu sekali.
Adapun dana untuk pelaksanaan program ini bisa diajukan ke LP3H atau langsung ke BPJPH, mengingat BPJPH mempunyai kewajiban dalam hal edukasi kepada masyarakat.
Dalam hal ini bagi pelaku usaha sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal Nomor 33 Tahun 2014.
Begitu juga dengan pengawasan. Terlalu berat beban pengawasan ini jika hanya dilakukan oleh BPJPH yang belum tersebar secara menyeluruh diberbagai wilayah.
Sementara itu, untuk menegakkan hukum berupa ancaman pidana pada pasal 56 UU JPH mengenai pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang sudah memperoleh sertifikat halal, mutlak perlu adanya pengawasan.
Oleh karena itu, Pendamping PPH bisa diberikan tugas tambahan untuk berperan sebagai pengawas pelaku usaha yang dibinanya atau pelaku usaha diwilayahnya agar tetap menjaga sistem jaminan halal yang sudah ada.
Mengenai masalah insentif, tentunya BPJPH perlu memperhatikan hal ini, karena pada dasarnya pengawasan pada pelaku usaha merupakan kewajiban BPJPH sebagai amanah dari Undang-undang.
Edukasi secara intensif dan pengawasan kepada pelaku usaha dengan melibatkan Pendamping PPH merupakan cara agar tujuan utama sertifikasi halal terwujud, yaitu menjaga keselamatan dan kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi produk yang beredar di wilayah Negara Indonesia.
Tanpa adanya edukasi secara intensif dan pengawasan kepada pelaku usaha, sangat rentan terjadinya kecurangan, mengingat kesadaran para pelaku usaha mengenai pentingnya menciptakan produk halal belum begitu baik. []