Perbedaan antara Waktu Shalat dan Waktu Puasa

 Perbedaan antara Waktu Shalat dan Waktu Puasa

Bagaimana Hukumnya Berpuasa Ramadhan Tapi Meninggalkan Sholat? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Jika Anda kerap bertanya mengenai sebenarnya apa perbedaan antara waktu shalat dengan waktu puasa? Maka silakan simak tulisan berikut ini.

Tentang shalat, Allah berfirman:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّیۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودࣰا

Artinya:

“Laksanakanlah salat karena matahari tergelincirnya matahari sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. Al-Isra’ ayat 78)

Jadi, yang penting sudah terjadi “dulukis syamsi” (tergelincirnya matahari) maka silakan shalat dhuhur. Bagaimana cara mengetahuinya?

Tentu penting untuk mengetahui perbedaan antara waktu shalat dengan waktu puasa.

Tidak anda instruksi soal ini yang artinya bebas. Anda bisa melihat bayangan matahari, bisa juga menoleh ke atas melihat posisi mataharinya langsung, boleh juga pakai jadwal shalat.

Bahkan tanpa itu semua cukup pakai feeling kira-kira sudah dhuhur ketika melihat ke luar rumah itu pun sudah cukup. Bebas sebab tidak ada instruksi teknis.

Sebab itu jangan sampai ayat itu dibaca seolah berbunyi:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لرؤية دُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ

Artinya: “Dirikanlah shalat karena melihat tergelincirnya matahari.”

Sebagian kawan merasa rancu sebab seolah “duluk” dibaca sebagai “rukyat ad-duluk”.

Padahal tak ada instruksi rukyat (melihat) di sini. Apabila misalnya anda tidur siang tetiba bangun sekitar jam 2, maka langsung saja shalat dhuhur tidak perlu keluar untuk melihat bayangan matahari atau melihat posisi matahari di atas atau masih repot mencari jadwal shalat. Malah konyol itu.

Sedangkan puasa beda lagi sebab instruksi teknisnya jelas. Rasulullah bersabda pada Abu Hurairah:

سَمِعْتُ أبا هُرَيْرَةَ ﵁، يَقُولُ: قالَ النَّبِيُّ ﷺ: أوْ قالَ: قالَ أبُو القاسِمِ ﷺ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبانَ ثَلاَثِينَ»

Artinya:

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan akhirilah puasa karena melihat hilal. Apabila hilal tidak terlihat atas kalian, maka genapkan hitungan sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari)

Jadi instruksinya di sini teknis, yakni untuk melihat. Kalau terlihat maka puasa atau lebaran.

Kalau tak terlihat maka genapkan jadi 30 hari. Hadis berisi instruksi teknis tersebut jangan sampai salah baca seolah berbunyi begini:

صوموا لوجوده وأفطروا لوجوده فإن غبي عليكم فاقدروا وجوده

Artinya:

“Berpuasalah kalian sebab hilal sudah wujud dan akhirilah puasa sebab hilal wujud. Kalau hilal tak terlihat maka perkirakanlah wujudnya.”

Andai saja begitu sabda Rasulullah, maka bebas kita memakai cara apapun sebab yang penting pokoknya hilal sudah wujud.

Namun sayangnya bukan demikian instruksi Rasulullah sehingga instruksi teknis tersebut tidak boleh kita abaikan.

Ini kasusnya sama dengan perintah Allah berikut:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِیۤ

Artinya:

“Dirikanlah shalat untuk berdzikir kepada-Ku.” (Q.S. Tha-Ha ayat 14)

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah tapi dengan instruksi teknis mendirikan shalat.

Instruksi teknis ini harus kita patuhi. Tetapi sebagian orang kebatinan malah salah baca dengan ijtihad mereka.

Kesimpulan mereka justru bahwa ayat tersebut menyuruh shalat dengan tujuan berdzikir sedangkan dzikir itu bisa dicapai dengan cara lain tanpa shalat.

Akhirnya mereka tidak shalat sebab merasa sudah bisa sampai ke dzikir yang menjadi tujuan shalat.

Tentu saja ini potong kompas, sok tahu dan tidak patuh instruksi teknis. Akhirnya semua sepakat bahwa mereka yang menyimpulkan begini ini adalah sesat.

Kesimpulannya, soal shalat boleh pakai jadwal/hisab sebab tidak ada perintah teknis untuk rukyat.

Sedangkan soal puasa harus pakai rukyat sebab instruksi teknisnya dari Rasulullah jelas. Sebab itu, para ulama, di antaranya adalah al-Qarafi berkata:

يَجُوزُ إثْباتُها بِالحِسابِ والآلاتِ وكُلِّ ما دَلَّ عَلَيْها، وقاعِدَةِ رُؤْيَةِ الأهِلَّةِ فِي الرَّمَضاناتِ لا يَجُوزُ إثْباتُها بِالحِسابِ

Artinya:

“Boleh menetapkan Shalat dengan hisab, peralatan atau segala sesuatu yang menunjukkan waktu shalat. Adapun kaidah hilal Ramadhan, maka tidak boleh menetapkannya dengan hisab [belaka].” (Mawahib al-Jalil, II/388).

Bukan berarti soal hilal tak boleh ada campur tangan hisab, salah baca besar kalau dibaca begitu.

Justru seharusnya hisab dan peralatan astronomi digunakan secara maksimal, tapi hanya dalam rangka membantu mempermudah rukyat dan mengecek validasi rukyat sebab yang merukyat di lapangan bisa saja salah lihat.

Dengan demikian, hisab bukan untuk menggantikan dan membuang rukyat sebab ketika digunakan untuk membuang rukyat sama sekali artinya kita juga membuang instruksi teknis dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hal penentuan awal dan akhir ibadah. Ini salah besar.

Begitulah pembahasan mengenai perbedaan waktu shalat dengan waktu puasa. Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *