Perbedaan antara Penafsiran dan Penyesatan

 Perbedaan antara Penafsiran dan Penyesatan

Mengenal Mufasir dari Tatar Sunda, KH. Ahmad Sanusi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sebuah penafsiran dibatasi dengan kaidah-kaidah baku yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. Dalam arti ia tidak asal bicara hanya berdasar pikirannya sendiri lebih enak begini dan begitu, tetapi ada landasannya.

Salah satu penafsiran yang barangkali aneh di telinga pembaca adalah penafsiran yang mengubah penetapan menjadi negasi atau sebaliknya dari negasi menjadi penetapan. Misalnya dalam Tafsir Jalalain terhadap ayat al-Baqarah: 184 berikut ini:

﴿وَعَلَى ٱلَّذِینَ﴾ لَا ﴿یُطِیقُونَهُۥ﴾ لِكِبَرٍ أَوْ مَرَض لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ ﴿فِدۡیَةࣱ﴾

“Dan bagi orang-orang yang [tidak] mampu menjalankan puasa, [karena tua, sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh], maka wajib membayar fidyah.”

Kata “tidak” dan semua yang saya letakkan dalam tanda kurung kotak [ ] di sana adalah penafsiran. Bila Anda membaca teks ayat yang asli saja maka terjemahannya adalah: “Dan bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa, maka wajib membayar fidyah”.

‘Penafsiran’ dalam Kasus Puasa ‘Fidyah’

Betapa bertolak belakang antara bunyi ayat dan bunyi tafsirannya di mana ayatnya memperbolehkan fidyah bagi yang mampu berpuasa. Sedangkan tafsirannya justru melarang fidyah kecuali bagi yang tidak mampu berpuasa.

Lalu, apakah tafsiran Jalalain tersebut salah? Tidak, itu tafsiran yang tepat sebab perubahan makna yang 180° itu berdasarkan dalil.

Pada awalnya saat ayat itu turun, kewajiban puasa Ramadan adalah perintah yang opsional sehingga orang yang kuat dan sehat pun boleh tidak puasa asalkan membayar fidyah. Namun aturan ini kemudian dinasakh (direvisi) dengan aturan baru di mana kewajiban puasa berlaku untuk semua muslim yang sehat dan mampu.

Sedangkan opsi fidyah hanya berlaku bagi mereka yang sudah tua renta atau sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh. Aturan revisi ini dijelaskan panjang lebar dalam kitab-kitab tafsir yang besar.

Dalam Tafsir super ringkas semacam Jalalain, kata “mampu” akhirnya ditafsirkan sebagai “tidak mampu” agar singkat dan padat. Meskipun terdengar aneh, tapi berdasar.

Tafsir yang Bertolak Belakang adalah Penyesatan

Bila tafsiran yang bertolak belakang 180° seperti itu ditawarkan tanpa dasar, maka yang ada adalah penyesatan, bukan lagi sebuah tafsiran. Misalnya saja teks dalam buku ketika pengarangnya “menafsirkan” (baca: menyesatkan) makna surat Al-Kafirun.

Pengarangnya dengan melabrak kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa huruf alif dalam kata لا  bisa jadi hanya sebagai tambahan. Dengan begitu, kata tersebut yang awalnya bermakna “tidak” berubah menjadi sebuah penekanan. Awalnya “tidak menyembah” menjadi sungguh menyembah.

Selain tidak ada dalam sejarah teks bahasa Arab di mana kata لا boleh dibuang alifnya. Maknanya pun berkebalikan dari “tidak makan” menjadi “benar-benar makan”, “tidak membunuh” menjadi “sungguh membunuh” dan seterusnya.

Pemaknaan yang bertolak belakang ini juga melabrak sebab nuzul (latar belakang historis) turunnya ayat tersebut hingga menjadi kacau balau.

Jelas sekali bahwa ayat tersebut turun sebagai jawaban tegas untuk menolak tawaran Quraisy yang mengajak Nabi untuk bersama menyembah sesembahan yang ada. Pun mengajak Muslimin agar menyembah berhala dan musyrikin agar juga menyembah Allah.

Kata “tidak” dalam ayat itu adalah inti jawaban yang membuat musyrikin marah dan putus asa. Namun tentu saja pengarangnya akan mengabaikan sebab nuzul itu dan menyimpannya rapat-rapat agar penyesatannya terasa sebagai sebuah tafsiran yang masuk akal di mata pembaca awam.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *