Perayaan Ulang Tahun Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam Islam, hukum perayaan ulang tahun masih diperdebatkan. Ada yang memperbolehkan dengan catatan diisi dengan kegiatan-kegiatan positif (gair al-munkarat) dan menjadikannya sebagai ajang refleksi dan introspeksi diri.
Ada juga yang mengharamkan dengan alasan bahwa perayaan ulang tahun adalah tradisi dan budaya Barat yang tidak layak untuk diikuti dan dilestarikan oleh umat Islam.
Benarkah Islam secara substansial melegalkan tradisi ini. Jika iya, seperti apa dan bagaimana perayaan ulang tahun yang mendapat label mubah oleh Islam (Al-Qur’an atau hadis)?
Konsepsi Al-Qur’an tentang Perayaan Ulang Tahun
Di dalam Al-Qur’an, kata ied hanya disebut satu kali, yaitu dalam surah al-Maidah ayat 14 yang mengisahkan tentang Nabi Isa:
قال عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Artinya:
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rizki, dan Engkaulah pemberi rizki Yang Paling Utama.” (Q.S. Al-Maaidah ayat 114).
Dalam konteks ayat ini, kata ied diartikan sebagai hari raya yang cukup berbeda dengan hari-hari biasa. Sedangkan kata walad beserta derivasinya diulang sebanyak 65 kali.
Dari 65 kali penyebutan, kata walad yang bermakna hari kelahiran hanya disebut 2 kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 15 dan ayat 33.
Anniversary atau perayaan ulang tahun, tidak secara jelas disebut baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Namun secara implisit, terdapat dua ayat dalam Al-Qur’an yang cukup representatif memberikan rambu-rambu hukum mengenai perayaan hari kelahiran (ulang tahun), yaitu surah Maryam ayat 15 dan ayat 33.
“Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (Q.S. Maryam ayat 15)
Dalam memberikan notasi ayat ini, Muhammad Amin bin Muhammad Al-Syanqithi dalam Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an mengutip pendapat Sufyan bin Uyainah mengatakan bahwa kondisi paling kritis yang dialami oleh seseorang adalah saat ia dilahirkan.
Karena ia melihat dirinya telah keluar dari tempat yang selama ini ia huni (janin), pada saat ia meninggal, karena ia melihat keadaan yang belum pernah ia alami sebelumnya dan saat ia dibangkitkan kembali (yaum al-bi’sah), karena ia melihat dirinya berada di padang Mahsyar yang cukup luas.
Di Indonesia, manifestasi syukur atas kelahiran manusia dikenal dengan istilah walimat al-wiladah, sebuah ungkapan syukur atas lahirnya seorang bayi.
Walimat al-wiladah biasanya identik dengan tasyakuran atau selamatan yang diadakan oleh keluarga yang punya hajat dalam rangka mendoakan si bayi.
Ayat selanjutnya adalah:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali.” (Q.S. Maryam ayat 33)
Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab mengatakan bahwa Al-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat hari kelahiran yang diucapkan pertama kali oleh Nabi Isa.
Di Indonesia, banyak ulama yang melarang, akan tetapi tidak sedikit juga yang membolehkannya dengan kualifikasi dan catatan-catatan tertentu.
Pandangan yang memperbolehkan ucapan tersebut mengaitkannya dengan ucapan Nabi ‘Isa,
“Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia telah memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”
Agar mendapatkan pemaknaan yang utuh, penulis mencoba merelevansikan (baca: munasabah) kedua ayat di atas dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 2 dan ayat 16 dalam surah yang sama, di mana Allah menggunakan redaksi dzikru dan wadzkur yang secara bahasa bermakna peringatan.
Dalam kamus bahasa Arab, kata dzakara bisa bermakna ta’ziyah (bersedih) dan tahni’ah (berbahagia).
Istilah ta’ziyah digunakan dalam konteks kematian, sedangakn tahni’ah biasanya dipakai dalam konteks hari kelahiran.
Kemudian tahni’ah bisa diimplementasikan dalam bentuk ta’mirah (merayakan).
Selain Al-Qur’an, juga terdapat hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw juga pernah merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa.
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang merayakan ulang tahun untuk memperingati hari lahirnya.
Beliau mengutip sebuah hadis riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
عَن أبي قَتَادَة الْأنْصَارِيّ أَن رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َسُئِلَ عَن صَوْم يَوْم الِاثْنَيْنِ قَالَ : ذَاك يَوْم ولدت فِيهِ ، وَيَوْم بعثت أَو أنزل عَليّ فِيهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Abi Qatadah, beliau berkata, “Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, lalu beliau menjawab, ‘Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu pertama kali kepadaku.’” (HR. Muslim)
Kalimat “ذاك يوم ولدت فيه” dalam penggalan hadis tersebut menurut ‘Umar ‘Abdullah Kamil dalam al-Inshah fima Ushira Haulahu al-Khilaf mengandung dua pengertian.
Pertama, Nabi berpuasa pada hari Senin setiap tahun. Kedua, beliau berpuasa setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Nabi berpuasa pada hari ulang tahunnya (yauma maulidihi) adalah sebagai bentuk syukur beliau kepada Allah karena pada hari itu beliau telah lahir di dunia sebagai rahmat bagi manusia.
Hadis ini juga memiliki kausalitas hukum bahwa puasa hari Senin sangat dianjurkan (baca: sunah) karena pada hari itu Nabi Muhammad dilahirkan.
عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال: أن النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة وجد اليهود تصوم يوم عاشوراء، فسأل عن ذلك؟ فقالوا: إنه يوم نجى الله فيه موسى من فرعون، فقال صلى الله عليه وسلم: نحن أولى بموسى منكم، فصامه وأمر بصيامه (متفق عليه)
Artinya:
“Dari Ibnu ‘Abbas ra. beliau berkata, “Ketika Nabi Saw. datang ke Madinah, beliau bertemu orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram).
Beliau lalu bertanya kepada mereka tentang puasa tersebut. Mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fira’un dan menyelamatkan Nabi Musa’.
Nabi kemudian bersabda, ‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian’. Beliau pun berpuasa pada hari itu dan menyuruh untuk berpuasa’”. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan informasi hadis di atas, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan bahwa ini menunjukkan kebolehan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu.
Baik karena memperoleh kenikmatan yang besar atau terhindar dari bahaya dan refleksi tersebut bisa dilakukan berulang-ulang pada hari yang sama setiap tahun.
Bentuk syukur bisa dilakukan misalnya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai ibadah seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Al-Qur’an dan kegiatan-kegiatan lainnya, lebih-lebih memperingati ulang tahun (maulid) Nabi.
Walhasil, Al-Qur’an dan hadis tidak serta merta melarang perayaan ulang tahun, meski tidak ada ayat atau riwayat yang secara gamblang melarang atau membolehkannya.
Kebolehan merayakan ulang tahun lebih sebagai bentuk manifestasi syukur kepada Allah yang telah memberikan umur panjang kepada kita.
Sekaligus sebagai momen refleksi diri agar kita menjadi manusia yang lebih shalih dan muslih dari tahun-tahun sebelumnya.
Karena itu, perayaan ulang tahun sebaiknya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang positif seperti puasa, bersedakah, berbagi dan lain sebagainya.[]