Perayaan Nyader dalam Lintasan Sejarah

 Perayaan Nyader dalam Lintasan Sejarah

Perayaan Nyader dalam Lintasan Sejarah

HIDAYATUNA.COM – Setiap memasuki Bulan Juli hingga Bulan Agustus, masyarakat Saronggi, Sumenep mengadakan perayaan nyader. Hal ini sudah menjadi acara tahunan.

Perayaan nyader ini dilakukan di sekitar komplek makam leluhur (asta) atau oleh masyarakat dikenal dengan sebutan buju’ gubang (jurang).

Konon, penamaan gubang disini ialah tidak lain sebab karomah yang dimiliki oleh pangeran Anggasuto. Tempat yang ia tinggali terdapat banyak lubang yang sebab karomahnya kubangan itu tertutup dengan sendirinya.

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Sumenep yang dipimpin dua bersaudara pada tahun 1562 -1567 M diserang oleh pasukan Raja Menakjayeng yang datangnya dari Bali. Namun, keraton Sumenep mampu bertahan dan menyudutkan pasukan dari Bali.

Pasukan Bali dibuat kalah. Sebagai jaminan atas nyawa mereka, pangeran dari keraton dari Sumenep meminta upeti untuk bisa membebaskan mereka dan kembali ke Bali.

Namun selaku pemimpin, ia menolak untuk membayar upeti kepada Keraton Sumenep dan memilih melarikan diri ke arah selatan. Mereka dikejar oleh pasukan keraton hingga mereka dibuat lari terbirit-birit.

Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang mereka tidak bisa melintas karena dihadapan mereka adalah lautan. Tempat itu kini dikenal dengan sebutan pinggir papas.

Penaman desa ini diserap dari istilah, a lare ka penggirna ma tagerpas keya, yang artinya lari terbirit-birit akhirnya jatuh dipinggir pantai juga. Mereka lari dari kejaran Kerajaan Sumenep ternyata mereka tidak bisa pulang dan melintas karena sudah di pantai, tidak bisa lari lagi. Mereka akan tertangkap.

Di tempat ini, pasukan Bali bertemu dengan sosok pangeran Anggasuto. Mereka terselamatkan dari kejaran para pasukan Kerajaan Sumenep. Akhirnya mereka masuk Islam di bawah bimbingan pangeran Anggasuto.

Dalam banyak literatur disebutkan bahwa pangeran Anggasuto adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Setelah kerajaannya ditaklukkan oleh Raden Fatah, Brawijaya melarikan diri ke pulau Madura.

Konon Brawijaya menerima agama yang dibawa oleh Raden Fatah. Namun karena dirinya seorang raja, dia tidak mau menurunkan martabatnya demi agama yang dibawa oleh musuh sehingga memilih melarikan diri.

Dengan seiring berjalannya waktu, keberadaan bekas pasukan Bali semakin menambah popularitas mereka. Keberadaan masyarakat yang semakin banyak membuat pangeran berpikir keras untuk mencari pemecahan bagaimana bisa bertahan hidup bila tanpa ada mata pencaharian yang memadai.

Penduduk yang kesehariannya sebagai nelayan jika hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan, menurut Pangeran Anggasuto mata pencaharian tersebut dianggap belum cukup memadai untuk kebutuhan pokok hidup masyarakat.

Oleh karenanya, pada suatu malam, pangeran melakukan istikharah dalam rangka mencari mata pencaharian atau sesuatu yang bisa dijadikan sumber hidup. Masyarakat yang pada umumnya hidup sebagai petani, jauh dari pesisir, bertani adalah sebagai mata pencaharian.

Namun kali ini pemasalahannya berbeda. Mereka hidup di pesisir, tanah tidak terlalu subur untuk bertani dan tidak mungkin bergantung pada satu sumber penghasilan dari tangkapan ikan.

Akhirnya istikharah beliau terjawab. Ketika Pangeran Anggasuto berjalan menyisir pantai, bekas kakinya berlubang dan bekas ini tergenangi air.

Anehnya setelah beberapa hari, genangan ini mengkristal. Oleh Pangeran Anggasuto, kristal ini dinamai dengan buja (garam).

Dari pengalaman tersebut, pangeran Anggasuto berusaha membuatnya dengan masyarakat setempat. Dibuatlah talangan skala besar untuk membuat buja yang banyak sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat.

Setelah garam-garam itu menunjukkan hasil, pangeran tidak lupa bahwa karunia yang selama ini ia terima atas kehendak-Nya, maka ia pun bernadzar, setiap kali akan memasuki musim kemarau, ia akan melakukan upara perayaan dalam rangka mensyukuri atas segala nikmat yang Tuhan berikan.

Kemudian, hal ini juga diikuti oleh adiknya, Pangeran Kuasa. Ia juga bernadzar bila talangan berhasil mejadi garam, maka ia akan melakukan selametan (semacam upacara tasyakuran) dengan masyarakat setempat.

Pun demikian yang dilakukan oleh putri Indusari, istri dari Embah Bangsa, adik perempuan dari Pangeran Anggasuto melakukan hal yang sama ketika talangan garamnya berhasil.

Dari sinilah, kebiasaan nadzar yang dilakukan oleh Pangeran Anggasto oleh masyarakat dilestarikan dan populer dengan sebutan nyader.

Musyfiqur Rozi

Mahasiswa UIN Sunan Ampel, Surabaya dan merupakan alumni PP Annuqayah Lubangsa Utara (Lubtara). Dapat disapa melalui sosial media Musyfiqur Rozi (FB) Musyfiqrz (IG&Twitter)

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *