Perayaan Maulid Nabi Menurut Ulama Muta’akhirin
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Perayaan maulid Nabi Muhammad saw oleh sekelompok orang dilarang karena dianggap bid’ah tercela, yang tidak pernah diajarkan oleh nabi dan sahabat-sahabatnya.
Meski begitu, tidak sedikit yang membolehkannya, terutama ulama muta’akhirin (ulama yang hidup setelah abad ke-4 H), seperti Ibnu Dihyah al-Andalusi, Jalaluddin al-Suyuthi, Umar Abdullah Kamil, Sayyid Muhammad al-Maliki dan Mutawali Sya’rawi.
Bahkan mereka menganggapnya sebagai ibadah yang terpuji dan cara terbaik untuk taqarrub, karena di dalam acara maulid biasanya diisi dengan sedekah, dzikir, pembacaan sirah Nabi dari lahir hingga wafat, puji-pujian terhadap Nabi dan lain-lain.
Di antara karya-karya yang mengupas kebolehan bahkan anjuran untuk mengadakan perayaan maulid Nabi Muhammad adalah al-Hawi li al-Fatawa fi al-Fiqh wa Ulum al-Tafsir wa al-Hadis wa al-Ushul wa al-Nahwi wa al-I’rab wa Sairi al-Funun dan Husnu al-Maqshad fi Amal al-Maulid karya imam Jalaluddin al-Suyuthi, Kalimah Hadi’ah fi al-Ihtifal bi al-Maulid dan al-Inshaf fi ma Usira Haulahu al-Khilaf karya Umar Abdullah Kamil, Haul al-Ihtifal bi dzikri al-Mulid al-Nabawi al-Syarif karya Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Ana min Sulalati Ali al-Bait karya Mutawali Sya’rawi dan lain-lain.
Klarifikasi Atas Perbedaan Tanggal Kelahiran Nabi Muhammad
Dalam kitab al-Qaul al-Jali fi al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi karya Muhammad Anwar Mursal dijelaskan tentang berbagai pendapat ulama terkait dengan tanggal dan bulan kelahiran Nabi saw.
Di antaranya ada yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad lahir di bulan Ramadhan (pendapat Zubair bin al-Bakkar), bulan Safar, Rajab dan ada yang berpendapat bahwa beliau lahir di bulan Rabi’ul Awwal, namun tanggalnya masih diperdebatkan.
Ibnu Abdi al-Barr mengutip riwayat dari al-Waqidi dari Najih bin Abdurrahman al-Madani mengatakan bahwa Nabi lahir tanggal 2 Rabi’ul Awwal.
Sementara Ibn Hazm, Malik, Uqail, Yunus bin Yazid mengutip pendapat al-Zuhri dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, yang ditarjih oleh Abu al-Khatthab bin Dihyah dalam bukunya al-Tanwi fi Maulid al-Basyir al-Nazhir berpendapat Nabi lahir tanggal 8 Rabi’ul Awwal.
Ada juga ulama yang menduga bahwa Nabi lahir tanggal 10 Rabi’ul Awwal sebagaimana yang disampaikan al-Syu’bi dan Abu Ja’far al-Baqir.
Dari berbagai perbedaan tersebut, pendapat yang masyhur sebagaimana diyakini oleh mayoritas ulama adalah tanggal 12 Rabi’ul Awwal Tahun Gajah.
Maulid di Zaman Nabi Muhammad
Peringatan maulid di zaman Nabi, dalam pengertian sekarang yaitu berkumpulnya orang banyak dalam sebuah majlis, yang di dalamnya dibacakan pujian-pujian atas Nabi, dibacakan sirah Nabi, dan lain-lain memang tidak pernah ada.
Namun Nabi sendiri secara punya kebiasaan berpuasa untuk memperingati maulid-nya.
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki secara gamblang dawuh bahwa Nabi Muhammad adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang merayakan maulid.
Beliau mengutip sebuah hadis riwayat imam Muslim sebagai berikut:
عَن أبي قَتَادَة الْأنْصَارِيّ أَن رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َسُئِلَ عَن صَوْم يَوْم الِاثْنَيْنِ قَالَ : ذَاك يَوْم ولدت فِيهِ ، وَيَوْم بعثت أَو أنزل عَليّ فِيهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Abi Qatadah, beliau berkata, “Rasulullah pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, lalu beliau menjawab, ‘Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu pertama kali kepadaku.’” (HR. Muslim).
Penggalan hadis “ذاك يوم ولدت فيه” dalam penggalan hadis tersebut menurut ‘Umar ‘Abdullah Kamil dalam al-Inshah fima Ushira Haulahu al-Khilaf mengandung dua pengertian, sebagai berikut.
Pertama, Nabi berpuasa pada hari Senin setiap tahun. Kedua, beliau berpuasa setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Nabi berpuasa pada hari kelahirannya (yauma maulidihi) adalah sebagai bentuk syukur beliau kepada Allah karena pada hari itu beliau telah lahir di dunia sebagai rahmat bagi manusia.
Hukum Perayaan Maulid Nabi Menurut Ulama Muta’akhirin
Di antara ulama muta’akhirin yang konsen melakukan kajian ulang tentang hukum perayaan/peringatan maulid Nabi Muhammad adalah ‘Umar ‘Abdullah Kamil.
Ia mengatakan bahwa memang peringatan maulid bukan ibadah yang sifatnya tauqifi (ditetapkan berdasarkan wahyu).
Tetapi maulid adalah ibadah qurbah (refleksi untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang dibolehkan (qurbah mubahah).
Fatwa itu ia sampaikan berdasarkan kaidah bahwa setiap perbuatan mubah (tidak dilarang), yang dibarengi dengan niat yang baik seperti dzikir, shalawat dan puji-pujian atas Nabi, maka perbuatan mubah tersebut menjadi penyebab dekatnya dia dengan Allah (qurbah) dan menjadi bagian dari bentuk ketaatan seseorang.
Kemudian sekelompok orang yang hadir dalam peringatan maulid akan mendapatkan pahala. Berikut cuplikan fatwa Umar Abdullah Kamil dalam bukunya al-Inshah fima Ushira Haulahu al-Khilaf halaman 400:
ونشير هنا إلى أنه إذا وقع الفعل المباح مقترنا بنية الطاعة كالذكر والصلاة على رسول الله وتدارس سيرته العطرة ومدحه والثناء عليه، فهو قربة وطاعة باعتبار النية. فالمجتمعون على هذا مثابون عليه إن شاء الله
Artinya:
“Kami berisyarat bahwa jika ada perbuatan mubah dibarengi dengan niat menjalankan ketaatan, seperti dzikir, salawat atas Nabi, pembacaan sirah, dan puji-pujian kepada Nabi menjadi sebab dekatnya dia dengan Allah (qurbah) dan menjadi bagian dari bentuk ketaatan. Orang yang berkumpul untuk peringatan maulid inysallah mendapat pahala.”
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Husnu al-Maqshad fi Amal al-Maulid pernah ditanya tentang hukum peringatan maulid Nabi Saw. Kemudian ia menjawab:
عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف
Artinya:
“Menurut pendapat saya, hukum memperingati maulid al-Nabi, di mana banyak orang yang berkumpul, membaca Alqur’an, membaca kisah tentang awal Nabi mendapat perintah dan kejadian-kejadian saat beliau dilahirkan,
Kemudian mereka menyantap makanan dan pulang tanpa menambahi selain dari itu, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang terpuji) yang dapat menghasilkan pahala yang melakukannya,
Karena di dalam maulid tersebut bertujuan mengagungkan Nabi serta menampakkan kebahagian dan suka cita atas lahirnya Nabi yang mulia.”
Ibnu al-Hajj al-Maliki sebagaimana dikutip Muhammad Washiyurrahman bin Muhammad Ishaq dalam al-Durr al-Maknun fi al-Ihtifal bi Maulid al-Nabi al-Amin al-Ma’mun lebih provokatif lagi.
Ia secara gamblang mewajibkan umat Nabi Muhammad untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan setiap hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai ungkapan syukur atas lahirnya Nabi saw.
Ia berkata
فكان يجب أن نزداد يوم الاثنين الثاني عشر في ربيع الأول من العبادات والخير شكرا للمولى على ما أولانا من هذه النعم العظيمة وأعظمها ميلاد المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم. وقال أيضا: ومن تعظيمه صلى الله عليه وآله وسلم الفرح بليلة ولادته وقراءة المولد
Artinya:
“Wajib bagi kita pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal untuk menambah (memperbanyak) ibadah dan kebaikan sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat yang besar ini.
Di antaranya adalah hari lahir Nabi Muhammad Saw. Ia juga berkata, “Termasuk memuliakan Nabi Saw. adalah bersuka cita pada malam kelahiran Nabi dan membaca maulid.”
Walhasil, peringatan maulid Nabi saw. dalam pengertian sekarang meski tidak pernah dilakukan di zaman beliau, tetapi mengandung banyak keberkahan, karena di dalamnya diisi dengan sedekah, pembacaan maulid dan sirah nabi, serta pujian dan lantunan shalawat atas beliau.
Tradisi peringatan maulid Nabi dilakukan sebagai bentuk syukur atas lahirnya Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. []