Perang Suriah: Ketika Kepedulian Menjadikan Seseorang Sebagai Kriminal
Menurut laporan terbaru dari Physicians for Human Rights (PHR) [Dokter untuk Hak Asasi Manusia], pemerintahan Suriah secara sistematis telah menjadikan fasilitas kesehatan dan pekerja di bidang kesehatan di daerah yang dikuasai oleh oposisi sebagai ‘target’ yang termasuk dalam bagian dari strategi mereka yang bertujuan untuk ‘menghancurkan populasi sipil’.
Dalam sebuah studi yang dirilis pada hari Rabu, kelompok hak asasi mengatakan bahwa selama perang saudara Suriah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, pemerintah telah melanggar hukum domestik dan internasional, serta etika medis dasar dan kewajiban untuk merawat orang sakit dan terluka tanpa adanya pendiskriminasian.
“Sampai saat ini, belum ada laporan lainnya dari kelompok hak asasi manusia. PBB atau kelompok-kelompok yang lainnya, telah mendokumentasikan bagaimana petugas layanan kesehatan di Suriah telah ditangkap, ditahan dan disiksa oleh pemerintah Suriah,” kata Rayan Koteiche, seorang peneliti di organisasi yang berbasis di New York saat bercerita kepada Al Jazeera.
“Ini adalah laporan pertama yang mendokumentasikan bagaimana pemerintah Suriah secara sengaja menjadikan petugas kesehatan sebagai target untuk penahanan dan penyiksaan, khususnya karena mereka ‘memberikan layanan kesehatan’.”
Diketahui, perang Suriah awal meletus pada tahun 2011 dan telah menyebabkan hancurnya nilai-nilai kemanusiaan yang sangat mengerikan di negara tersebut. Pada bulan Juli, PBB mengatakan bahwa lebih dari 100.000 orang telah ditahan, yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintah Suriah.
Penyediaan layanan kesehatan yang non-diskriminatif telah dikriminalisasi oleh pemerintahan Presiden Bashar al-Assad di bawah Undang-Undang Anti Terorisme 19 yang dikeluarkan pada tahun 2012. Menyediakan layanan kesehatan di daerah-daerah yang dikuasai oleh pihak oposisi dianggap sebagai ‘dukungan material untuk aksi terorisme’ dan dapat dihukum berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Laporan tersebut menyatakan bahwa petugas layanan kesehatan di daerah yang dikuasai oleh pihak oposisi secara khusus telah dijadikan ‘target’ oleh otoritas pemerintah.
Beracuan pada sesi wawancara dan penilaian psikologis yang dilakukan oleh PHR terhadap 21 petugas layanan kesehatan yang sebelumnya telah ditahan, yang orang-orang tersebut menolak untuk disebutkan namanya karena alasan keselamatan mereka, PHR membuat laporan setebal 48 halaman yang berjudul “Satu-satunya Kejahatan Saya adalah Saya Seorang Dokter”.
Organisasi tersebut mengatakan bahwa petugas layanan kesehatan yang ditangkap itu mengalami kepadatan ruang yang berlebihan, sanitasi yang sangat buruk, dan kurangnya akses ke perawatan medis saat berada di dalam tahanan. Selain itu, mereka juga jarang diberi makanan dan air yang cukup.
PHR mengatakan bahwa penahanan-penahanan yang telah didokumentasikannya itu ‘dapat dikualifikasikan sebagai penghilangan seseorang secara paksa’, dan dalam kebanyakan kasusnya, selama berbulan-bulan keluarga dari para tahanan tidak memiliki informasi sedikitpun tentang keberadaan mereka.
Menurut PHR, sebagian besar dari petugas layanan kesehatan yang diwawancarai dalam laporan mereka telah dipaksa menandatangani berkas pengakuan yang telah disiapkan oleh pihak berwenang yang kemudian digunakan oleh mereka (pihak berwenang) sebagai bukti untuk melawan para petugas layanan kesehatan tersebut.
Seorang paramedis yang kemudian menjadi direktur administrasi di sebuah rumah sakit di wilayah yang dikuasai oleh pemberontak, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia ditangkap oleh otoritas pemerintah pada bulan Mei 2013 dan didakwa dengan ‘dianggap sebagai anggota dalam organisasi teroris’.
Dia mengatakan telah menghabiskan waktu selama 14 bulan di kamar toilet yang berada di dalam sel isolasi tanpa jendela, dia juga mengalami penyiksaan berulang kali menggunakan sengatan listrik, pemukulan dan kekerasan seksual yang membuatnya cacat fisik.
“Para petugas layanan kesehatan ditangkap dan dilecehkan di dalam penjara ‘terlepas dari apakah orang yang mereka rawat adalah pejuang-pejuang yang terluka atau hanya karena memberikan susu formula kepada seorang ibu dengan bayinya,” katanya kepada Al Jazeera.
PHR mengatakan bahwa banyak dari orang yang mereka wawancarai, muncul di pengadilan Suriah dan dihadapkan dengan pengakuan ‘kesalahan’ mereka yaitu memberikan perawatan medis kepada ‘teroris’ yang telah diekstrak di bawah penyiksaan oleh pihak berwenang.
“Penyediaan perawatan medis kepada lawan ataupun dipersepsikan sebagai lawan oleh pemerintah Suriah, akan secara efektif dikriminalisasi dan dihukum dengan sangat kejam karena dianggap melanggar Konvensi Jenewa tahun 1949,” kata Dr. Michele Heisler, salah satu penulis dari laporan itu kepada Al Jazeera.
“Sejak tahun 2011, pemerintah Suriah dan sekutunya telah membom banyak rumah sakit dan membunuh petugas layanan kesehatannya,” tambahnya.
PHR mengatakan pemerintah Suriah terikat oleh hukum kemanusiaan internasional yang melindungi para tenaga medis. Konvensi Jenewa memberikan penghormatan dan perlindungan kepada tenaga medis dalam segala situasi. Hukum internasional juga melarang menghukum seseorang yang melakukan tugas medis yang sejalan dengan etika medisnya.
Pada tahun 2004, Suriah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1984 yang Menentang Penyiksaan. Konvensi ini mengharuskan pihak-pihak untuk secara aktif mencegah tindakan penyiksaan, bahkan selama masa perang berlangsung.
PHR meminta pemerintah Suriah untuk segera membebaskan semua individu yang ditahan secara sewenang-wenang atau tidak sah dari lokasi penahanan, dan juga untuk mengungkap lokasi-lokasi penahanan tersebut. Kelompok hak asasi manusia juga merekomendasikan agar Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi di Suriah ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Sumber : Aljazeera.com