Penyebar Benih Perdamaian dari Tanah Bone
HIDAYATUNA.COM – Perdamaian menjadi nilai universal yang dapat ditemukan pada setiap agama maupun moral-etik yang bersumber dari kearifan lokal. Terlebih dalam konteks negeri ini yang ber-Bhineka, damai melulu berselang-seling dengan situasi yang polemik dan konflik.
Barangkali damai juga kerap ditemukan telah mengejawantah pada situasi politik yang menjurus ke pertumpahan darah.
Di tanah Bone pada masa silam, konflik peperangan kerap kali dialami oleh masyarakat setempat. Sentimen antar raja, perebutan kekuasaan dan sumber daya kerajaan melulu dijadikan dalih untuk memulai konflik peperangan.
Masyarakat sipil yang tidak mengerti problem juga turut dilibatkan. Mereka juga sekaligus menjadi korbannya. Tapi tentu saja, ada satu dua nama di dalam tubuh kerajaan yang getol menyuarakan gerak perdamaian.
Meskipun langkah yang ditempuh juga tidak terbilang mudah karena, mereka terkadang dinilai sebagai figur yang memihak lawan, menjadi mata-mata, atau telik sandi. Padahal damai yang mereka upayakan itu, memiliki dampak panjang bagi generasi setempat berabad-abad yang akan datang.
Kajao Laliddong Menjadi Simbol Perdamaian
Adalah Kajao Laliddong, gelar penasihat kerajaan yang telah berubah menjadi nama sapaan. Kajao berarti bijaksana atau orang yang telah bijaksana.
Sedangkan Laliddong merupakan nama daerah ia dilahirkan, tumbuh, dan berproses menjadi dewasa. Ia diduga lahir pada 1507 M dan wafat 1586 M, rentang usia yang terbilang panjang.
Saat kecil, ia dipanggil dengan nama La Mellong. Kebiasaannya terbilang tidak lazim untuk anak seusianya. Ia gemar mengamati tata kelola pemerintahan, mengais ilmu pengetahuan, dan merenungkan hakikat segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Indikasi kepemilikan laku arif sudah muncul saat usianya masih muda.
Suatu ketika, Raja Bone mencari pabicara atau orang yang ahli dalam bidang hukum kerajaan. Akhirnya nama La Mellong dipilih untuk menduduki posisi tersebut karena dinilai memiliki pengetahuan yang mapan dan sikap arif.
Meskipun ketika itu, usianya masih tergolong muda-dibandingkan dengan yang lain-untuk menduduki posisi penting di kerajaan sebagai pabicara. Puncak karirnya ketika ia memutuskan untuk mengantar jenazah Raja Gowa, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data, saat konflik peperangan meletus antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Dari keputusannya ini, Kerajaan Gowa menilai yang diperbuat Kajao Laliddong sebagai simbol bahwa perdamaian lebih penting, ketimbang berperang terus-menerus. Konflik pun mulai mereda.
Naskah Latoa Bersuara Perdamaian
Naskah Latoa merupakan salah satu naskah yang mendokumentasikan kebijaksanaan Kajao Laliddong. Naskah ini berisi banyak nasihat bagi raja dan masyarakat, utamanya dalam konteks mencintai negerinya sendiri.
Isinya berbentuk percakapan antara Kajao Laliddong dengan Raja Bone. Mirip seperti risalah yang ditulis beberapa abad sebelum masehi, mengulik pemikiran Socrates melalui percakapannya dengan Plato.
Salah satu nasihat di Naskah Latoa, jika diterjemahkan secara bebas, “Jangan mengambil tanaman yang bukan engkau menanamnya.” Nasihat ini secara tersirat mengatakan pada manusia bahwa, jangan mengambil segala yang bukan menjadi haknya.
Jika tetap memaksa mengambil, maka jalan yang ditempuh akan menyengsarakan dirinya dan orang-orang di sekitarnya; fitnah, konflik, dan perang. Dalam konteks tasawuf, nasihat ini barangkali selaras dengan ajaran tasawuf dari para sufi. Bahwa manusia mesti bisa menekan hawa nafsu serakahnya.
Syahruddin dalam artikelnya Bermoderasi ala Kajao Laliddong (Kajian Moderasi Melalui Naskah Latoa) (2021) memberi interpretasi senada. Bagi Syahruddin, naskah tersebut sejalan dengan muatan di dalam ajaran Islam.
Topik penting yang melulu ada di dalam Naskah Latoa di antaranya seperti mengejawantahkan perdamaian, mencintai tanah airnya melalui persatuan, dan menjaga keselamatan jiwa manusia dari perbuatan buruk. Topik-topik ini juga tersebar dalam ajaran Islam melalui ayat-ayat di kitab suci maupun tauladan Kanjeng Nabi.
Saya rasa, Naskah Latoa ini menjadi salah satu di antara sekian naskah yang ada di khazanah Nusantara yang tidak perlu dihadap-hadapkan dengan ajaran Islam. Jika naskah ini dinilai sebagai produk budaya, tetapi selama muatannya turut mengafirmasi ajaran Islam, maka tidak perlu terlalu dipersoalkan. Begitu.