Pentingnya Empati dalam Berdakwah

 Pentingnya Empati dalam Berdakwah

Perbedaan Dakwah Bertahap dan Dakwah Merusak (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dulu di tahun 2018 banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Saat itu banyak netizen yang menghubungkannya dengan azab Allah.
Banyak yang mengatakan bahwa yang celaka terkena gempa itu adalah orang yang perilakunya jelek sehingga kena azab. Ayat dan hadis diobral untuk dijadikan justifikasi.
Saya merasa miris dan kasihan para korban yang kesusahan kena musibah malah dapat vonis buruk, pakai dalil agama pula. Lalu saya menulis di NU Online sebuah artikel berjudul Bolehkah Menghubungkan Gempa Bumi dengan Teguran Tuhan?
Saya tegaskan bahwa kesimpulan netizen itu salah dan tidak diperbolehkan. Harusnya kita berprasangka baik dan memakai perspektif yang baik. Bisa jadi yang divonis buruk oleh netizen itu justru orang yang mati syahid di hadapan Allah. (Silakan baca artikel lengkapnya di NU Online)
Ketika Covid-19 mulai menyebar, muncul pula pendakwah sok hebat yang bilang bahwa yang kena covid itu hanya orang yang imannya tidak kuat, hanya orang-orang yang tidak shalat.
Berulangkali saya menyindir orang yang berpikiran sempit seperti itu. Kasihan sekali orang yang kena covid, sudah kena musibah berat masih disakiti pula mentalnya. Setelah wabah merata, dai sok hebat itu tiba-tiba menghilang, sakti ternyata.
Kasusnya sama seperti tulisan saya baru-baru ini tentang orang stres dan depresi. Banyak yang dengan enteng memvonis orang stres dan depresi sebagai orang yang imannya tipis, tidak sabar, tidak tawakal dan seterusnya.
Padahal Allah memang tidak menciptakan kekuatan manusia sama, ada yang dibuat kuat dan ada yang dicipta lemah. Rasulullah pernah bersabda bahwa mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada yang lemah tapi keduanya tetap baik.
Artinya mukmin yang lemah itu memang nyata ada dan diapaka-apakan juga tetap lemah sebab memang begitulah karakternya.
Mereka yang lemah ini mudah stres dan depresi ketika ditimpa musibah, tak peduli mau dia hafal al-Qur’an dan ribuan hadis pun kalau mentalnya lemah tetap mudah jatuh juga.
Sebaliknya seorang ateis pun kalau mentalnya kuat maka takkan mudah jatuh, meski dia tak beriman sama sekali.
Rasulullah dengan kasih sayang menyebut mereka yang lemah tetap sebagai orang baik, bagaimana bisa sebagian umatnya mudah sekali menyudutkan mereka seolah-olah mereka pasti tidak baik? Mereka yang lemah butuh pendampingan dan pelatihan, bukan butuh disalah-salahkan.
Andai orang-orang yang niatnya berdakwah itu punya empati, maka mereka akan menjaga lisannya dan akan memperbaiki prasangkanya. Yang didahulukan harusnya merasa iba dan membantu sebisanya. Itulah pentingnya empati terhadap sesama.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *