Pentingnya Berempati dan Berbagi Tanpa Harus Pencitraan dan Melukai

 Pentingnya Berempati dan Berbagi Tanpa Harus Pencitraan dan Melukai

Muslim Polandia Memberikan Makanan Para Migran dan Tentara Perbatasan (Ilustrasi/Hidayatuna)

Artikel berikut merupakan kiriman dari peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com yang lolos ke tahap penjurian, sebelum penetapan pemenang. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.


HIDAYATUNA.COM – Sebagai manusia ciptaan Allah SWT., kita umat Islam diwajibkan untuk selalu berikhtiar maksimal dalam mencari dan menjemput rejeki yang halal. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sambil terus berdoa dan menyerahkan hasilnya hanya kepada Allah semata, atau yang disebut dengan “tawakal”.

Hal ini seperti yang tercantum dalam Alquran Surat Al Jumu’ah ayat 10 yang artinya:

”Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi(untuk mencari rejeki dan usaha yang halal). Dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Namun, tentu saja hasil dari ikhtiar yang didapatkan oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sesuai dengan ‘takaran rejeki’ dan ‘garis hidup’ masing-masing yang telah Allah takdirkan, yang tentunya berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Bahkan saudara kembar sekalipun, tidak akan sama ‘takaran rejeki’ dan ‘garis hidup’nya.

Kita pun dapat melihat dengan ‘mata kepala’ kita sendiri, bagaimana kondisi ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kita juga berbeda-beda. Bahkan bisa dibilang ‘timpang’ antara sebagian orang dengan sebagian lainnya.

Ada orang yang terlihat begitu mapan, dengan rumah mewah dan bertingkat, deretan mobil mahal dan mengkilat, juga memiliki perabotan dan barang-barang yang serba eksklusif. Serta uangnya yang seperti tak habis 7 turunan.

Sebagian lainnya ada yang hidup cukup sejahtera, tidak kekurangan namun juga tidak berlebih. Serta sebagian lainnya lagi justru banyak yang hidup dalam ‘garis kemiskinan’ dan serba kekurangan. Jangankan untuk membeli barang-barang mahal, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup pokoknya yaitu makan sehari-hari, mereka harus jungkir melakukannya.

***

Agama Islam sebenarnya sudah mengatur tentang hal ini, yaitu dengan diwajibkannya membayar zakat, yang bahkan termasuk dalam “Rukun Islam”, yaitu Rukun Islam yang ketiga. Begitu banyak surah di Alquran yang memerintahkan kita untuk membayar zakat.

Salah satunya tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 110, yang artinya;

”Dan tegakkanlah salat, dan tunaikanlah zakat, dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Selain Zakat, juga terdapat Sodaqoh dan Infak, yang semuanya memiliki beberapa keutamaan di dalam agama Islam. Yaitu diantaranya untuk membersihkan harta, mensusikan hati, dan menentramkan hati orang yang memberikannya. Kedua, meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.

Ketiga, untuk meringankan beban kesulitan “Kaum Dhuafa”. Keempat, untuk mempererat tali “Ukhuwah Islamiyah” dan “Solidaritas Sosial” sesama muslim. Kelima, juga untuk meningkatkan kesejahteraan bersama sekaligus mempersempit jurang perbedaan antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”.

Namun yang menjadi permasalahan di sini, tidak semua muslim dan muslimah yang benar-benar memahami dan juga menyadari pentingnya berempati dan berbagi. Terhadap sesama muslim yang bisa dibilang ‘kurang beruntung’ dalam hidupnya. Mereka beranggapan bahwa limpahan rejeki yang mereka miliki adalah ‘mutlak’ milik mereka sendiri.

Padahal Allah sudah berfirman di dalam surat Az-Zariyat ayat 19, yang artinya adalah:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Itu berarti kita harus benar-benar menyadari bahwa di dalam rejeki yang kita peroleh, sebenarnya ada ‘hak’ fakir miskin yang harus kita keluarkan. Lalu kita berikan kepada yang berhak menerimanya. Dengan kata lain, “Orang Kaya” sesungguhnya adalah ‘Agen’ untuk menyalurkan sebagian rejekinya bagi “Orang Miskin’.

***

Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam soal perbuatan ‘berbagi’ dengan Sesama Muslim. Bukan hanya ‘niat’ dan ‘maksud’ yang baik, melainkan ‘cara’nya pun harus baik, santun, dan tepat sasaran. Bukan dengan cara yang justru malah menyinggung, melukai, dan menjatuhkan harga diri dan martabat orang-orang yang disumbang.

Seperti yang tercantum dalam Surat Al-Baqoroh ayat 264 yang artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti (perasaan Si Penerima). Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…”

Tentu saja zakat dan sedekah juga harus diberikan pada orang yang ‘tepat’ atau memang berhak dan layak untuk menerimanya. Jangan sampai ‘salah sasaran’ sehingga bisa menimbulkan kecemburuan sosial dan keresahan di dalam masyarakat dan tentu saja masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial akan semakin sulit untuk diatasi.

Di zaman serba digital seperti sekarang ini, dan smartphone seolah telah menjadi ‘teman setia’ manusia modern. Dengan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita maupun orang-orang sekitar kita bisa dengan begitu mudahnya tersebar luas hanya dalam hitungan detik, seolah menjadi ‘pisau bermata dua’.

Begitu juga soal ‘berbagi’ dengan sesama. Di satu sisi, kita dimudahkan untuk membayar Zakat, Infak, dan Sedekah melalui Badan Zakat atau Lembaga Amal lainnya dengan fasilitas Online. Kita juga dimudahkan untuk bisa mencari tahu dan mengawasi kemana saja dana yang telah kita sumbangkan itu disalurkan oleh pihak-pihak terkait.

Namun di sisi lain, kita juga bisa lihat secara gamblang, kegiatan amal berbagi kepada sesama ini oleh sebagian orang sengaja diunggah oleh “Si Donatur” dan dijadikan ‘tontonan publik’ melalui berbagai media sosial. Dalam hal ini, terjadi Pro-Kontra di dalam masyarakat, yang masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat.

***

Pendapat yang Pro mengatakan, jika kegiatan berbagi yang disebarluaskan melalui media sosial yang bisa dilihat oleh khalayak ramai. Ini adalah bentuk ‘Kampanye Positif’ yang mengajak orang lain untuk berbuat hal yang sama, atau setidaknya bisa mengetuk hati nurani orang yang melihatnya.

Namun di sisi lain, bagi pihak yang Kontra justru menganggap hal itu sebagai bentuk ‘Riya skala besar’ dan ‘Pencitraan Diri’. Selain juga dianggap bisa mempermalukan orang yang disumbang dan seolah ‘menjual’ kemiskinan demi kepentingan pribadi. Terlebih lagi jika dari hasil ‘berbagi’ melalui media sosialnya itu ia bisa menghasilkan banyak uang.

Namun meskipun begitu, kontroversi yang terjadi dalam soal berempati dan berbagi dengan sesama yang membutuhkan, terutama sesama muslim, jangan sampai memperuncing perbedaan. Apalagi sampai menimbulkan konflik sehingga hal itu justru malah menghilangkan semangat ‘berbuat kebaikan’ dan semangat ‘ikhuwah Islamiyah’.

Setiap orang punya pemikiran masing-masing, yang tentunya tidak bisa dipaksakan satu dengan lainnya. Yang terpenting adalah, mari kita semua satukan tekad kita, luruskan niat kita, mantapkan keikhlasan kita, dan maksimalkan ikhtiar kita dalam berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, termasuk berbagi dengan sesama muslim.

Kita pun bersama menyatukan tujuan kita untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial di dalam masyarakat kita. Sebagai bentuk Jihad kita kepada agama dan juga kepada Sang Pencipta, “Allah Azza Wajalla”.

Amie Retna Wulan Dewi

Amie Retna Wulan Dewi merupakan peserta Lomba Menulis Artikel Hidayatuna.com, artikel tersebut adalah tulisan yang lolos ke tahap penjurian sebelum ditetapkan siapa pemenangnya.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *