Penjelasan Hukum Mazhab: Bolehkah Orang Islam Berpindah-pindah Mazhab?

 Penjelasan Hukum Mazhab: Bolehkah Orang Islam Berpindah-pindah Mazhab?

Al-Karaji: Ahli Matematika dan Insinyur Hidrolik Islam Abad Ke-10 (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta  Dalam doktrin tradisional, adalah suatu keharusan bagi umat muslim untuk mengikuti (taklid) mazhab-mazhab yang tersohor. Namun bolehkah berpindah-pindah mazhab? Tidak hanya setia pada satu imam yang diyakini.

Sementara doktrin modern berbanding terbalik, pendidikan modern secara tegas menolak mengikuti mazhab.

Syekh Ibnu Hazm, tokoh alirah Zhahiriyah (Mazhab Zahiri), bahkan mengharamkannya sehingga, jangankan berpindah-pindah mazhab, meyakini dan mengikutinya saja suatu keharaman.

Mazhab Zahiri sendiri merupakan mazhab fikih yang memahami sumber ajaran Islam secara teks, mereka menolak takwil, istihsan dan istishab.

Oleh karena itulah mereka menghukumi haram berpindah-pindah mazhab, apalagi menganut empat mazhab dari ulama-ulama.

Islam sendiri telah mewajibkan umatnya untuk taklid kepada Rasulullah saw. Jenis taklid syakhsyi  ini tidak menganjurkan muslim mengikuti mazhab-mazhab tertentu terus-terusan.

Taklid kepada pribadi mana pun, para imam mazhab siapa pun, kecuali hanya kepada Rasulullah Saw, tidak boleh dilakukan.

Husein Muhammad menuturkan dalam Menuju Fiqh Baru (hal. 87), Syaikh Izzuddin bin Abdissalam mengungkapkan bahwa para sahabat nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in, bahkan tidak pernah terpikirkan satu kali pun untuk mewajibkan muslim bermazhab, apalagi berpindah-pindah mazhab.

Di abad pertama dan kedua Hijriyah, dalam memecahkan persoalan, umat muslim berhak meminta fatwa kepada mujahid mana pun, apa pun mazhabnya.

Kaum muslimin abad ini tidak mengikat diri pada satu mazhab tertentu sehingga, bukanlah suatu persoalan serius “berpindah-pindah mazhab” tersebut.

Itulah yang sampai dengan hari ini diwarisi oleh organisasi Islam Muhammadiyah, mereka tidak anti mazhab, namun tidak mengikutinya.

Sedangkan pemikiran yang mewajibkan kaum muslimin bermazhab tidaklah muncul dari sumber-sumber murni ataupun tradisi para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Menurut Syaikh Ibnu Hummam, sejumlah ulama berpendapat bahwa meyakini dan mengikat diri pada salah satu mazhab tertentu adalah darurat dan wajib.

Pendapat tersebut dibantah sebagian ulama lainnya yang meyakini bahwa Allah SWT. tidak memerintahkan meyakini pada mazhab tertentu.

Nahdlatul ulama, organisasi Islam tertua yang menganut pendidikan tradisional ini meyakini satu mazhab, yakni Imam Syafi’i dan mengakui tiga mazhab lainnya meski tidak mengikutinya.

Imam Syafi’i menjadi hafiz sejak berusia 7 tahun, ia memperdalam ilmu fikih dan menghafal Al-Muwatha di usia ke-20 tahun kepada gurunya, Imam Malik.

Sosoknya terkenal sangat cerdas dan kuat hafalannyabahkan sejak penglihatan pertamanya. Selain Negeri-Negeri Timur, mazhabnya tersebar di Mesir, Irak, dan Daghistan.

Imam Syafi’i, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al-Muzani, salah seorang muridnya bahwa beliau pun selalu menganjurkan agar kaum muslimin taklid kepada Rasulullah Saw.

Imam Syafi’i kerap berpesan kepada murid-muridnya agar tidak mengikuti apa yang diucapkan dan dilakukannya, jika belum benar-benar paham.

Agaknya ini menjadi jalan tengah bagi mereka yang awam dengan fikih karena, banyak ulama yang menentang meyakini mazhab tertentu.

Di sisi lain, hal yang perlu umat muslim ingat bahwa disamping taklid ada pula ittiba’, yakni menerima ucapan ulama dengan mengetahui sumber ucapan baik dari Al-Qur’an maupun hadis.

Sebagaimana Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ittiba’ berbeda dengan taklid, ittiba’ ar-rasul hukumnya wajib bagi kaum muslimin.

Oleh karena itu, ia menganjurkan umat muslim untuk mengikuti tokoh-tokoh yang paling takwa, di antaranya ialah para sahabat nabi.

Sedangkan tabi’in, tabi’in tabi’ut boleh diikuti, boleh juga tidak diikuti.

Dengan kata lain, berpindah-pindah mazhab tidak menjadi persoalan di tengah kaum muslimin selama tidak fanatik pada salah satu imam.

Imam Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam referensi yang sama, Menuju Fiqh Baru, mendukung bolehnya berpindah-pindah mazhab.

Lantaran ia meyakini bahwa para sahabat (fuqaha), yang jaya dengan keilmuan fikihnya pada masa awal, tidak pernah melarang umat muslim yang berpindah-pindah mazhab.

Menurut sejarah, kaum muslimin pada masa itu boleh beralih mazhab selama mengetahui alasan atas mazhab yang ia ikuti.

Kebolehan berpindah-pindah mazhab ini sebagaimana dikutip Imam Abdul Wahhab asy-Sya’rani dari Syaikh Ibnu Abdi al-Bar:

“Saya tidak pernah mendengar ada imam dari suatu mazhab yang meminta pada murid dan pengikutnya agar hanya berpegang pada mazhabnya saja…”

Tak ada satu pun hadis shahih maupun dhaif yang mengatakan bahwa beliau Saw meminta sahabat-sahabatnya tersebut untuk tidak berpindah-pindah mazhab.

Rasulullah saw. pun tidak pernah memerintahkan para sahabatnya hanya mengikuti satu mazhab tertentu serta melarang mazhab lainnya. []

Pipit Enfiitri

https://hidayatuna.com/

Suka menulis hal-hal random yang dekat dengan dirinya.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *