Penjelasan Fikih Nusantara dan Fikih Arab, Ini Bedanya!

Melihat Kembali Fikih Nusantara (Ilustrasi/Hidayatuna)
HIDAYATUNA.COM – Fikih atau hukum Islam erat kaitannya dengan dunia Timur—Arab secara spesifik. Ketika membahas fikih atau hukum Islam cenderung menjadikan dunia Arab sebagai kiblat.
Hal ini disadari atau tidak membentuk semacam konsensus tidak langsung di kepala umat Islam. Sejujurnya, hal demikian adalah wajar, mengingat agama Islam muncul di belahan dunia Arab.
Kemudian sesudah Islam itu menguasai belahan bumi padang pasir, lantas berlanjut ke belahan lain. Di titik ini tarulah Nusantara sebagai suatu wilayah yang juga disentuh oleh Islam itu sendiri.
Islam dan hukum Islam selalu berkelindan erat, keduanya senantiasa bergandengan tangan. Meski demikian, beberapa sarjana membuat identifikasi yang jelas di antara dua elemen tersebut.
Islam, sebagai agama adalah bagian pokok yang kemudian melahirkan fikih atau hukum Islam. Sedangkan, dua kata yang disebut terakhir ini merupakan bagian cabang dari Islam sebagai agama itu.
Titik diferensialnya bahwa Islam sebagai agama bersifat mutlak dan hadir di luar jangkauan manusia. Sementara, fikih atau hukum Islam hadir dengan sifatnya yang relatif, meski ia sendiri diilhami oleh Islam sebagai agama itu tadi.
Identitas Fikih Nusantara
Studi fikih dan belahan dunia Arab yang punya ikatan mesra membawa satu dampak negatif. Itu barangkali yang menghasut secara halus sebagian umat Islam melupakan bahwa di Nusantara punya kajian terkait hukum Islam secara tersendiri.
Identitas yang membedakan fikih Nusantara ini tidak lain adalah masuknya realitas kenusantaraan yang hal tersebut tidak ada di dunia Arab. Fikih yang diekspor dari Arab berusaha menjawab realitas di sana, sementara fikih lokal Nusantara berusaha menjawab konteksnya sendiri.
Penting untuk dicatat, adanya pemisahan secara mutlak antara lokal dan Arab tidak perlu dilakukan. Keduanya bisa saling bernegosiasi untuk menentukan coraknya tersendiri.
Di beberapa bagian, fikih lokal Nusantara pasti masih menganut apa yang datang dari sana. Di beberapa bagian yang lain, persoalan yang hanya cocok di dunia Arab sana tidak mesti dipaksa diadopsi Nusantara. Inilah yang disebut sebagai negosiasi antara dua dunia fikih yang secara latar sosiokultural punya perbedaan yang mencolok.
Hal-hal yang kadangkala dilupakan juga antara lain bahwa terdapat karya-karya besar di khazanah fikih Nusantara. Dimulai dari bagian Barat, Nuruddin ar-Raniry(w.1659) salah seorang mufti di kerajaan Samudera Pasai menulis kitab Shirath al-Mustaqim.
Di samping itu muncul nama Abdul Rauf as-Sinkili, salah seorang yang masyhur dengan tafsirnya yang berbahasa Melayu, juga menulis kajian-kajian tentang fikih. Di dataran Jawa justru lebih fantastis lagi dengan melahirkan beberapa penulis dan pemikir bidang fikih yang cukup produktif. Salah satunya adalah Syeikh Nawawi al-Bantani yang tak asing di telinga kita dan buku-bukunya masih dikaji sampai saat ini.
Fleksibilitas dalam Hukum Islam
Kitab lain di bidang fikih Nusantara yang membahas ihwal segala tetek-bengek menyangkut perempuan adalah Risalatul Mahid. Kitab yang ditulis dengan bahasa Jawa pegon ini adalah buah karya K. Masruhan Ihsan.
Dari beberapa hal di atas dapat kita tarik kesimpulan beberapa hal. Pertama, bahwa terdapat banyak karya monumental dari ulama Nusantara. Kedua, bahwa sekali lagi, selalu mempunya hubungan yang erat dengan realitas sosial di mana ia berkembang.
Dengan kesimpulan yang semacam ini, fikih diharap mampu menjadi suatu bidang yang lebih fleksibel lagi. Kita akan menolak rigiditas yang terjadi di tubuh hukum Islam musabab sejatinya ia sendiri memang luwes. Hukum Islam senantiasa dapat berubah sesuai dengan ruang waktu, keadaan, kondisi bahkan.
Fleksibilitas di dalam hukum Islam ini memberi kita gambaran bahwa aturan dalam Islam mempertimbangkan dinamika kehidupan di bumi. Kendati ia merupakan hukum Tuhan, tidak serta merta secara otoriter dapat dipaksa tanpa memerhatikan kepentingan masyarakat bumi.
Dengan ini, penting pemetaan terkait kebutuhan orang Nusantara yang berbeda dengan Arab, walau tidak seluruhnya. Sekali lagi, kita tidak akan memaksakan hukum Islam yang murni berlatar Arab tersebut untuk diterapkan di Nusantara.
Juga tidak akan memaksa meninggalkan fikih dengan nuansa Arab itu sepenuhnya. Selalu terjadi saling tawar menawar di antara keduanya, sambil memerhatikan realitas dan kondisi masing-masing.