Pengertian dan Keharaman Takyif
HIDAYATUNA.COM – Salah satu yang disepakati haram oleh semua ulama Ahlussunnah adalah takyif. Takyif adalah memberikan kaifiyah alias gambaran teknis pada Dzat Allah.¹ Takyif ini terjadi dengan cara misalnya seseorang berkata: Dzat Allah itu begini, punya bagian ini dan bagian itu.
Posisinya di sini, di bawahnya ada ini, berpindah dari sini ke sini, dan seterusnya. Ini semua disepakati haram karena merupakan cabang dari ajaran tajsim yang dianut para mujassim.
Imam Qadli Iyadl berkata:
وَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيمِ التَّكْيِيفِ وَالتَّشْكِيلِ ²
“Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bersepakat atas haramnya memberikan gambaran teknis (takyif) dan memberikan gambaran fisikal (tasykil) atas Allah.”
Kesalahpahaman Tentang Takyif
Ada hal yang sering disalahpahami dari bahasan ini. Ialah anggapan orang awam yang mengira takyif hanyalah menentukan ukuran Tuhan setinggi sekian meter, beratnya sekian kilo, warna kulitnya putih misalnya, dan sebagainya.
Hal itu sangat khas dengan ajaran sesat mujassimah. Jadi, kalau tidak menentukan teknis seperti itu mereka kira bukan takyif. Padahal, takyif terjadi ketika Tuhan ditempatkan sebagai sosok fisikal yang mempunyai lokasi, arah, batasan, ukuran, volume dan sebagainya. Penentuan lokasi semisal berkata bahwa di sebelah atasnya langit ada Arasy lalu di sebelah atas Arasy ada Tuhan adalah salah satu bentuk takyif itu sendiri.
Demikian juga dengan meyakini bahwa Allah punya ukuran, nuzulnya dilakukan dengan berpindah dari atas ke bawah. Kalamnya dilakukan dengan mengeluarkan gelombang suara dan semacamnya juga adalah takyif yang diharamkan.
Meski begitu, ia tidak pernah menentukan seberapa besar ukurannya, bagaimana teknis turunnya dari atas ke bawah. Lalu juga, seperti apa gelombang suara yang diucapkan dan semacamnya.
Tetap saja takyif, meskipun orangnya berteriak kuat-kuat sambil sumpah-sumpah mengatakan bahwa dalam keyakinannya Allah tidak sama seperti makhluk. Pokoknya menetapkan unsur fisikal di atas, maka terjadilah takyif yang disepakati haram oleh semua ulama, baik itu sama dengan makhluk atau tidak sama dengan makhluk.
Sebab itu Qadli Iyadl juga mengungkapkan keherannya pada orang yang menetapkan arah tertentu bagi Allah tapi dia merasa tidak melakukan takyif. Dia berkata:
وَهَلْ بَيْنَ التَّكْيِيفِ وَإِثْبَاتِ الْجِهَاتِ فَرْقٌ ³
“Memangnya ada perbedaan antara takyif dan menetapkan arah?
Mau Menjadi Orang yang Cerdas atau Dimaklumi?
Bagaimana lagi, beberapa orang memang terlalu bodoh untuk mencerna hal ini. Mereka tidak mampu memahami adanya entitas Tuhan yang tidak berarah dan tidak bertempat sebab pikirannya selalu terikat pada makhluk.
Akhirnya, seperti disebutkan oleh Qadli Iyadl, beberapa ulama memaklumi orang semacam itu.⁴ Senada dengannya, Imam Izzuddin bin Abdissalam menyatakan bahwa mereka yang meyakini Allah ada dalam arah tertentu (𝘮𝘶’𝘵𝘢𝘲𝘪𝘥 𝘢𝘭-𝘫𝘪𝘩𝘢𝘩) adalah salah.
Akan tetapi masih dimaklumi (𝘮𝘶𝘬𝘩𝘵𝘩𝘪’𝘶𝘯 𝘬𝘩𝘢𝘵𝘩𝘢’𝘢𝘯 𝘮𝘢’𝘧𝘶𝘸𝘸𝘢𝘯 ‘𝘢𝘯𝘩𝘶) sebab memang keberadaan entitas yang tidak di luar alam. Tapi tidak juga dalamnya adalah sesuatu yang sulit dipahami nalar standar.⁵
Anda tinggal pilih, mau menjadi orang yang cerdas dalam memahami bahasa hakikat. Apakah mau menjadi orang yang “dimaklumi” karena memang nalarnya sudah mentok di batas nalar sempit “semua pasti ada tempatnya.
Semoga bermanfaat.
_________________________
¹. nu.or.id/…/definisi-kaifiyah-dalam…
². Sebagaimana dinukil dalam: an-Nawawi, 𝘚𝘺𝘢𝘳𝘩 𝘢𝘯-𝘕𝘢𝘸𝘢𝘸𝘪 ‘𝘢𝘭𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮
³. 𝘐𝘣𝘪𝘥.
⁴. 𝘐𝘣𝘪𝘥.
⁵. Izzuddin bin Abdissalam, 𝘘𝘢𝘸𝘢’𝘪𝘥 𝘢𝘭-𝘈𝘩𝘬𝘢𝘮 𝘧𝘪 𝘔𝘢𝘴𝘩𝘢𝘭𝘪𝘩 𝘢𝘭-𝘈𝘯𝘢𝘮