Pengamat: Kampus Harus Aktif dan Tegas Kontrol Organisasi Mahasiswa dalam Melawan Radikalisme
HIDAYATUNA, SUKOHARJO – Paham radikalisme kini telah mewabah hingga ke perguruan tinggi. Sejumlah kasus terorisme dan radiklaisme di civitas akademika mulai mencuat ke permukaan beberapa waktu terakhir. Bahkan, tingkat keterpaparan radikalisme kalangan mahasiswa dan dosen meningkat cukup parah.
Pengamat terorisme alumni akademi militer Afganistan, Dr. Amir Mahmud, menjelaskan, paham radikalisme di kampus mulai bergeliat bebas sejak reformasi setelah keran kebebasan terbuka lebar.
“Sejumlah survei keterpaparan mahasiswa dan dosen di sejumlah perguruan tinggi menjadi bukti konkret civitas akademika dalam iklim yang tak sehat. Terutama, faktor fundamentalisme agama kalangan mahasiswa menjadi akar eksklusivisme dan praktik intoleran,” terang Amir Mahmud saat mengisi Dialog Publik di IAIN Surakarta, Senin (18/11).
Bahkan, disebutkan Amir, paham radikalisme juga merebak ke sejumlah perguruan tinggi top di Indonesia, bahkan termasuk kampus Islam. Padahal, lanjutnya, Indonesia mesti dipahami bukan sebagai negara agama.
“Penting untuk dimengerti mahasiswa, Indonesia bukan semasekali negara agama, bukan pula negara milik kelompok tertentu. Indonesia adalah negera relijius yang dalam perkembangannya mampu mengakomodir seluruh keragaman,” ujar pengajar UNU Surakarta itu.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Penyluhan dan Bantuan Hukum PWNU Yogyakarta, Gugun El Guyani, menyebutkan bahwa perguruan tinggi menjadi obyek utama kalangan radikalis untuk menyebarkan pahamnya. Menurutnya, doktrin radikal tidak sekadar dijuruskan bagi masyarakat berpendidikan rendah, tetapi juga menyasar kaum well educated dan kelas menengah.
“Bibit radikalisme memang bisa tumbuh subur di lahan manapun, tetapi kampus menjadi ladang utama paham fundamentalis-eksklusi berkembang biak. Doktrin radikal kini tidak hanya dilakukan kepada kalangan dengan tingkat pendidikan rendah, tetapi juga menyasar well udacated seperti mahasiswa,” ungkap Gugun pada diskusi bertajuk “Mahasiswa dan Negara Pancasila: Melawan Radikalisme dan Paham Khliafah di Civitas Akademika” itu.
Pasalnya, menurut Gugun, mahasiswa menjadi sasaran empuk doktrin radikal karena kelak mereka akan mudah berdiaspora di setiap profesi publik. Buktinya, kata Gugun, penelitian mutakhir di sejumlah masjid BUMN menunjukkan angka keterpaparan paham radikal, terutama kalangan fresh graduate.
“Kampus adalah tempat anak muda kritis. Lima tahun ke depan estafet kepemimpinan dan profesi dipegang oleh mahasiswa. Karena alasan itu, kelompok radikalis membuka peluang menghasut kalangan mahasiswa, bahkan dosen, menjadi partisan mereka,” terang dosen Tata Negara UIN Yogyakarta itu.
Tegas Lawan Radikalisme
Menurut Gugun, paham radikalisme akan lebih medah merebak di kampus perguruan tinggi negeri (PTN) ketimbang perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN). Pasalnya, karakter PTN dengan prodi eksakta lebih subur ketimbang humaniora menjadi alasan utama.
“Karakter prodi eksakta akan ‘menghakimi’ sesuatu benar-salah, saintifis. Sementara sosial humaniora tidak dikotomis dan segregatif, tetapi ada upaya jalan tengah moderat dan upaya dealektif. Lagipula, background sekolah menengah lebih rentan daripada muallimin atau pesantren,” terangnya.
Karena itu, lanjut Gugun, lingkungan akademik mesti memiliki aksesibiltas yang cukup untuk mengantisipasi dan memberangus paham radikal. Bagi dia, otoritas kampus harus berani mengontrol setiap kegiatan organisasi internal mahasiswa.
“Selain itu, kampus juga harus selektif dalam proses rekruitmen tenaga pendidik. Bahkan, bila ditemukan kegiatan mahasiswa yang jelas dan nyata menyimpang dari ideologi negara, kampus mesti bertindak tegas, bubarkan,” ucap Gugun.
“Selama hal itu menyangkut ideologi negara, menyangkut konsensus bersama, menurut saya, kampus sah saja bertindak tegas, karena hal tersebut berkaitan dengan bangunan kita berbangsa dan bernegara,” pungkas dia.