Pengalaman Ziarah ke Makam Mbah Nur Iman, Bangsawan Keraton yang Menyepi untuk Berdakwah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya orang Bengkulu yang berlatar belakang keluarga Muhammadiyah. Nenek saya pernah menjadi ketua Aisyiyah di kampung. Keluarga besar secara amaliyah otomatis berkiblat pada Muhammadiyah.
Saya pun awalnya demikian. Tapi setelah saya merantau kuliah ke Jogja dan ikut organisasi yang secara amaliyah dan ideologi terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), terjadi beberapa pergeseran pemaknaan keberislaman dalam diri saya.
Saya jadi rutin melakukan amaliyah yang sebelumnya tidak pernah saya kerjakan, seperti berjamaah membaca surat Yasin tiap malam jumat atau ziarah ke makam wali.
Dalam keluarga besar saya, dua hal tersebut sangat jarang dilakukan. Keluarga besar saya kalau tidak karena ada keluarga yang meninggal, tidak akan membuat agenda rutin untuk membaca Yasin tiap malam jumat secara bersama-sama.
Keluarga saya juga tidak terbiasa pergi ke makam para wali untuk berziarah. Kalaupun ziarah, biasanya hanya ke makam keluarga atau leluhur.
Entah apakah karena faktor latar belakang Muhammadiyah yang menjadi pondasi keislaman kami atau memang keluarga saya yang cenderung tidak terlalu risau dengan praktik ibadah model demikian, saya tidak tahu.
Yang pasti perihal Yasinan dan ziarah ke makam wali yang di Jawa dan dalam kultur NU menjadi salah satu identitas utama, keluarga saya jarang melakukannya.
Baru setelah di Jogja saya jadi mulai rutin berziarah ke makam para wali. Awalnya jelas karena faktor lingkungan organisasi yang terbiasa ziarah yang membuat saya akhirnya ikut berziarah.
Dulu saya sempat bertanya-tanya, sebenarnya yang saya lakukan ini benar atau tidak.
Karena yang terpatri dalam benak saya sebelumnya adalah bahwa ziarah ke makam-makam demikian merupakan tindakan yang berbau musyrik.
Entah berasal darimana pikiran tersebut. Tapi terus terang pikiran seperti itu pernah terlintas dalam kepala saya.
Namun, setelah saya mulai ikut berziarah dan mencari tahu secara lebih mendalam mengenai ziarah, saya baru sadar dan paham bahwa pikiran saya sebelumnya itu keliru.
Ziarah tidak ada kaitannya dengan menyekutukan Allah. Pada dasarnya kita berziarah untuk bersilaturahim atau sowan dan mengalap berkah orang-orang alim yang selama hidupnya dekat dengan Allah.
Ketika berziarah kita berdoa tetap kepada Allah. Bukan kepada wali yang kita ziarahi. Berziarah ke makam para wali hanyalah perantara antara doa kita dengan Allah.
Hal di atas sesuai dengan yang termuat dalam kitab Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al Hasani yang berjudul Mafahim Yajibu an Tusohhah atau yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Pemahaman yang Harus Diluruskan (2002).
Dalam karyanya tersebut, Sayyid Muhammad mengatakan bahwa para ulama bersepakat kalau tawassul kepada Allah dengan perantara amal shalih adalah suatu keutamaan.
Kata Sayyid Muhammad, barangsiapa yang berpuasa, salat, membaca al-Quran, atau bersedekah maka ia telah bertawassul dengan amalnya tersebut.
Artinya, ziarah ke makam wali yang mana itu merupakan suatu bentuk amal shalih dapat dikatakan menjadi sebentuk tawassul kita kepada Allah SWT.
Persoalan kemudian ada orang-orang yang menyalahgunakan makna ziarah dengan mengharap sesuatu bukan dari Allah, melainkan dari wali yang diziarahi, itu persoalan individu.
Itu masalah kesalahan pemaknaan si orang tersebut. Bukan faktor konsep ziarah itu sendiri yang keliru.
Berangkat dari kesadaran demikian, saya jadi rutin berziarah. Selama di Jogja banyak makam yang pernah saya ziarahi.
Tapi yang paling rutin saya datangi adalah makam KH. Nur Iman atau BPH Sandiyo, di Mlangi, Sleman.
Mbah Nur Iman (saya biasa menyebutnya) adalah ulama berpengaruh yang jalan hidupnya unik.
Beliau merupakan bangsawan Keraton Jogja yang keluar dari gegap gempita hidup kerajaan dan memilih jalan sepi untuk menyebarkan Islam ke masyarakat.
Nasab Mbah Nur Iman
Mbah Nur Iman kalau nasabnya dirunut, beliau merupakan anak dari RM. Suryo Putro yang tak lain adalah salah satu putra Pangeran Puger (Pakubuwono I) dari Kesultanan Mataram Islam.
Pangeran Puger sendiri bernama lengkap raden Mas Drajat. Beliau ialah anak dari Sultan Amangkurat I, pewaris tahta Mataram setelah Sultan Agung.
Pangeran Puger menurut riwayat yang terpampang di kompleks makam Mbah Nur Iman memiliki anak bernama RM. Suryo Saputro yang nantinya menjadi Amangkurat IV.
Suryo Saputro memiliki beberapa anak, antara lain: Aryo Mangkunegoro, Suyoso (Pakubuwono II), Mangkubumi/Hamengkubuwono I, Mangkuprodjo, dan BHP Sandiyo (Mbah Nur Iman).
Mbah Nur Iman adalah anak Amangkurat IV lewat jalur istri R.A Retno Susilowati.
Menurut cerita yang beredar, RM. Suryo Saputro ketika sebelum diangkat menjadi raja pernah menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu Islam kepada KH. Abdullah Muhsin di Pondok Pesantren Gedangan, Surabaya.
Ketika di pondok inilah RM. Suryo menikah hingga akhirnya memiliki anak bernama Sandiyo (Mbah Nur Iman).
Dalam riwayat yang dipercayai banyak orang, sewaktu RM. Suryo sedang mondok ia diperintah oleh raja untuk kembali ke keraton.
Karena perintah itu datang dari raja, RM. Suryo kemudian pulang ke keraton. Ia selanjutnya menitipkan istri dan anaknya kepada Kyai Muhsin.
Ketika ia pulang, tak lama setelahnya RM. Suryo diangkat menjadi raja baru bergelar Amangkurat IV.
Amangkurat IV memerintah selama kurang lebih 7 tahun terhitung sejak 1719-1726. Ketika Amangkurat IV berkuasa ia menyuruh utusan keraton untuk menjemput Mbah Nur Iman pulang ke keraton.
Mbah Nur Iman yang taat kepada raja sekaligus ayahnya tersebut kemudian pulang ke keraton. Setibanya di keraton ia dikenalkan dengan saudara-saudaranya yang lain.
Mbah Nur Iman karena selama hidupnya berada di dalam naungan pesantren, beliau tumbuh menjadi seorang ahli agama.
Hal inilah yang nantinya membuat beliau tidak tertarik dan menarik diri dari intrik kekuasaan di lingkungan keraton yang melibatkan saudara-saudaranya.
Tahta kerajaan justru diberikan kepada saudara-saudaranya yang lain. Kalau saja dirinya mau, sangat mungkin beliau akan menjadi raja pula seperti ayahnya.
Tapi beliau mengambil jalur lain. Beliau malah memilih menyepi dan berkeliling untuk menyebarkan Islam ke masyarakat. Sebuah jalan yang jarang diambil para bangsawan Jawa kala itu.
Berdakwah di Mlangi
Menyebut nama Mbah Nur Iman tidak mungkin untuk tidak menyebut Mlangi. Sebuah kawasan di pinggiran kota Jogja yang kini dikenal sebagai kampung santri.
Julukan tersebut bukan tanpa sebab. Pasalnya kini di Mlangi berdiri banyak sekali pondok pesantren untuk mendidik anak-anak mendalami ilmu agama.
Mlangi juga adalah tempat dakwah Mbah Nur Iman. Makam beliaupun berada di sana.
Daerah yang hari ini dinamakan Mlangi awalnya adalah hutan tak berpenghuni. Daerah ini berubah menjadi seperti sekarang berkat usaha Mbah Nur Iman yang memulai dakwah di sana.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, penamaan Mlangi bermula ketika Mbah Nur Iman sedang berjalan ke barat dalam rangka berdakwah.
Di tengah perjalanan beliau bertapa untuk memohon petunjuk kepada Allah guna menemukan tempat berdakwah.
Setelah bertapa, tak lama setelahnya beliau mendapat semacam petunjuk bahwa tempat berdakwahnya adalah tempat yang bercahaya dan wangi.
Petunjuk inilah yang menjadi kunci ketika di perjalanan Mbah Nur Iman tiba-tiba melihat wilayah yang terlihat bercahaya dan wangi.
Daerah itulah yang nantinya disebut Mlangi yang berasal dari ungkapan ‘meleng-meleng tur wangi’ serta mulangi yang berarti mengajar.
Setelah menemukan tempat berdakwah, Mbah Nur Iman kemudian meminta izin kepada adiknya Sultan Hamungkubuwono I untuk berdakwah di Mlangi.
Sultan mengizinkan dan memberikan tanah di Mlangi untuk dibangun kawasan pendidikan.
Setelahnya dibangun pula sebuah masjid yang dinamakan Masjid Pathok Negoro pada tahun 1758.
Masjid ini masih berdiri megah hingga sekarang. Meski diberi wilayah di Mlangi, Mbah Nur Iman tidak terputus hubungannya dengan keraton.
Beliau masih sering wira-wiri ke keraton di samping padatnya jadwal mengajar beliau di Mlangi.
Makam Mbah Nur Iman
Ziarah ke Mbah Nur Iman selain untuk dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah juga bisa dipakai sebagai sarana belajar teladan melalui sejarah hidupnya.
Mbah Nur Iman adalah contoh luar biasa dari seorang muslim yang mewakafkan hidupnya untuk berdakwah.
Beliau meskipun seorang bangsawan yang statusnya bisa dikatakan setara dengan raja, tidak sungkan untuk mengambil jalur sunyi demi berbaur dengan rakyat dan mendidik mereka sesuai dengan ajaran Islam.
Sesuatu yang hari ini tidak banyak orang bisa melakukannya. Banyak yang lebih memilih kenyaman materi, jabatan, dan kedudukan daripada hidup untuk mengabdi kepada masyarakat.
Pada titik itulah Mbah Nur Iman penting diingat dan diteladani kisah hidupnya. Dedikasi beliau sepanjang hidup terbukti nyata dengan melihat wajah Mlangi hari ini.
Daerah yang dulunya dipenuhi hutan, kini berubah menjadi salah satu kawasan santri di Jogja. Banyak ulama yang lahir dari Mlangi.
Hal itu tidak mungkin terwujud tanpa kuasa Allah melalui usaha Mbah Nur Iman semasa beliau hidup.
Makam Mbah Nur Iman berada di belakang Masjid Pathok Negoro. Makamnya berada di sudut kota di pinggiran Jalan Lingkar Luar Jogja.
Di kompleks makam Mbah Nur Iman terdapat banyak makam lain yang terdiri dari keluarga dan para ulama lain yang berdakwah di Mlangi.
Siapapun boleh datang dan berziarah. Tidak ada waktu buka tutup untuk berziarah. Kapanpun kita bisa berziarah ke sana. []