Penerapan Hukum Rajam dalam Islam
HIDAYATUNA.COM – Bentuk hukuman dalam Islam yang umum diketahui masyarakat awam adalah membayar denda, potong tangan dan rajam. Jenis terakhir ini sering mendapat sorotan dan bahkan kritikan tajam terutama dari dunia barat. Rajam dianggap sebagai hukuman yang tidak manusiawi, benarkah demikian? Mari kita lanjutkan pembahasannya.
Diberlakukannya sebuah hukuman memiliki tujuan untuk memberi efek jera atau mencegah berbuat sesuatu yang dilarang aturan. Dalam konteks Islam, hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar syari’at Islam. Jadi jelas pemberlakuan rajam pun demikian agar orang menjauhi perilaku zina, khusus zina muhsan yaitu yang dilakukan oleh orang yang bersuami atau beristri. Sedangkan bagi yang belum berkeluarga diberlakukan hukum cambuk.
Objek pemberlakuan hukum rajam sangatlah spesifik dan tidak semua pelanggaran dapat dijatuhi hukuman ini. Bentuk hukuman ini sebenarnya tidak disebutkan eksplisit dalam Alquran, namun dijelaskan cukup gamblang dalam riwayat hadis.
Karena tidak disebutkan eksplisit dalam Alquran ulama berbeda pendapat mengenai hukum rajam. Ada yang menyatakan keberadaan hukum rajam telah dianulir atau di hapus (naskh) dengan turunnya surat An-Nur ayat 2. Namun, Jumhur ulama dan salafus shalih menyatakan tetap berlaku, alasannya adalah ayat tersebut berlaku untuk pezina belum menikah (ghairu muhshan) sementara rajam seperti yang saya jelaskan diawal diberlakukan khusus untuk pezina menikah (muhshan).
Sulitnya Syarat
Hukum rajam tidaklah bisa diterapkan begitu saja, melainkan dengan syarat yang sangat ketat sebab berhubungan dengan nasib dan nyawa seseorang. Tuduhan berbuat zina bukanlah sebuah hal main-main dampaknya, bukan hanya bagi diri yang dituduh tetapi juga bagi masyarakat.
Sebagaimana disampaikan oleh Gus Baha, syarat hukum rajam dapat diberlakukan, jika ada 4 orang saksi yang melihat langsung. Kalau hanya menyaksikan sendiri tentulah kesaksian itu gugur. Melihatnya pun harus bersamaan tidak boleh bergantian misalnya mengintip disatu lobang yang secara otomatis mengharuskan bergantian, ini tidak boleh.
Syarat yang begitu berat mangindikasiakan sebuah kehati-hatian agar tidak salah tuduh, bahkan jika salah menuduh atau saksi yang diajukan kurang justru dikenai hukuman cambuk 80 kali. Maka dari itu wajar bila hukuman ini kebanyakan tidak berhasil untuk diberlakukan.
Lebih lanjut mengenai syarat, dijelaskan kitab-kitab kalau saksi harus melihat kedua pelaku zina seperti melihat masuknya batang celak ke dalam wadahnya. Perumpamaan ini mengharuskan saksi-saksi harus benar-benar melihat masuknya penis kedalam vagina.
Rajam Zama Rasulullah
Tidak heran di zaman Rasulullah Saw hukuman rajam ini hanya diberlakukan empat kali, itupun bukan karena memenuhi syarat kesaksian melainkan pengakuan si pelaku zina. Diantara empat kali tersebut salah satunya sebagaimana termaktub dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari berbunyi berikut:
Artinya: “Sa’id bin ‘Ufair menceritakan kepada kami, ia mengatakan bahwa dirinya menerima dari al-Layts yang diterimanya dari Abdurrahman bin Khalid, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Musayyab dan Abu Salamah bahwasannya Abu Hurairah pernah mengatakan: “ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. sedangkan pada saat itu beliau berada dalam masjid. Laki-laki itu memanggil Rasulullah dengan, “Wahai Rasul, sungguh aku telah berzina.” Kemudian Nabi memalingkan wajahnya. Lalu laki-laki itu berpindah ke arah hadapan Nabi setelah berpaling dan mengatakan lagi, “Wahai Rasul, sungguh aku telah berzina.” Nabipun berpaling kedua kalinya. Kemudian ia bersaksi sebanyak empat kali, lalu Nabi mengatakan: “Apa kamu gila?” Laki-laki itu menjawab: “tidak, wahai Rasulullah.” Kemudian Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu muhshan (telah kawin)? “Laki-laki itu menjawab: “benar ya Rasul. Rasulullah bersabda kepada shahabat-shahabatnya: “pergilah dan lakukan hukum rajam kepadanya.”
Hadis ini menunjukkan bagaimana Rasulullah Saw sangat berhati-hati dalam menerapkan hukum rajam. Dimana Rasulullah Saw sempat menolak pengakuannya sampai dan baru diterima ketika telah memastikan laki-laki tersebut benar-benar dalam kesadaran penuh.
Sementara kasus rajam selanjutnya, digambarkan Rasulullah Saw seolah engggan karena berhati-hati untuk menerapkan hukum rajam. Dimana ketika itu datang seorang perempuan yang mengaku telah berzina tapi disuruh pulang dengan alasan mungkin tidak benar-benar melakukan zina.
Namun kemudian perempuan itu datang lagi dalam keadaan hamil, lalu Rasulullah Saw menyuruhnya pulang untuk merawat janin diperutnya. Setelah melahirkan, perempuan tadi datang lagi, Rasulullah Saw untuk ketiga kalinya menyuruhnya pulang dan menyarankan untuk menyusui bayinya sampai umur 2 tahun. Begitu anaknya disapih, perempuan ini datang lagi dan menunjukkan bahwa anaknya sudah bisa makan-makan padat selain susu. Setelah itu barulah hukuman rajam diberikan kepada perempuan itu.
Kisah-kisah pemberlakukan hukum rajam yang demikian dapat dijadikan pelajaran. Kita harus jeli dalam menetapkan hukuman, apalagi Rasulullah Saw begitu berhati-hati menghukumi orang untuk dirajam. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari setiap yang dicontohkan Nabi, agar kita dapat bersikap bijak menghadapi dunia. Wallahu a’lam.