Penentuan Awal Zulhijah: Metode Rukyah dan Hisab
HIDAYATUNA.COM – Penentuan awal bulan Zulhijah mempunyai arti yang sangat penting bagi umat Islam. Hal itu lantaran penentuan awal bulan tersebut sangat berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat Islam itu sendiri, yakni ibadah puasa Ramadhan dan hari raya Idulfitri dan Idul Adha.
Penentuan awal bulan Zulhijah ini merupakan masalah klasik. Sejak awal kedatangan Islam, masalah itu sudah mendapatkan perhatian dan pemikiran yang serius dari para fuqaha. Meskipun demikian, penentuan awal bulan yang disebut sebagai bulan qamariyah ini tetap aktual.
Hampir setiap tahun, khususnya menjelang Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, persoalan ini sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Sebab, dalam penentuan awal bulan qamariyah itu kaum muslimin sering tidak terjadi kesepakatan.
Satu pihak mewajibkan hanya dengan rukyat (pengamatan dengan mata kepala) saja. Pihak lain hanya mencukupkan diri dengan hasil hisab (perhitungan astronomis) saja.
Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan cendekiawan mengeluarkan fatwa nomor 2 tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Pengeluaran fatwa MUI tersebut sebagai upaya maksimal untuk mempersatukan umat Islam.
3 Keputusan Pemerintah yang Harus Ditaati
Dalam keputusan fatwa MUI nomor 2 tahun 2004 tersebut, ada beberapa ketetapan yang harus ditaati oleh umat Islam di Indonesia.
Metode Rukyah dan Hisab
Pertama, penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI.
Metode tersebut dilakukan oleh Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia dalam menetapkan awal bulan qamariyah, terutama Zulhijah, didominasi oleh dua metode besar yang berbeda dari ormas yang berbeda pula.
Hal ini menegaskan bahwa kedua metode, hisab dan rukyat yang selama ini dipakai di Indonesia, berkedudukan sejajar.
Menurut Alquran dan Hadis
Kedua, bahwa seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Hal ini berarti bahwa MUI sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia.
Allah SWT. berfirman dalam QS. an-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kamu.”
Nabi Saw juga bersabda: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benc. Kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”. (HR. Al-Bukhari no. 4340, Muslim no. 1840).
Maknanya, keputusan pemerintah itu wajib dipatuhi dan menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan dalil tersebut, jika kita beriman kepada pemerintah maka sama dengan kita taat kepada Allah.
Sinergi Pemerintah dengan Ulama
Ketiga, bahwa dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait. Hal ini berarti bahwa kita tidak berjalan sendiri-sendiri ketika menetapkan awal bulan qamariyah.
Dengan demikian, kerukunan dan kebersamaan dalam ukhuwah Islamiyah akan tercipta dengan baik tanpa adanya pengkotak-kotakan yang membingungkan masyarakat awam. Fatwa MUI pada butir kedua dan ketiga ini sangat penting dan membuka jalan penyatuan hari raya Islam.
Sumber : Arino Bemi Sado, Analisis Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Idulfitri dan Zulhijah dengan Pendekatan Hermeutika Schleiermacher, 2015