Pendeketan Responsif Gender dalam Pengentasan Stunting sebagai Upaya Hifdzun Nafs bagi Anak

 Pendeketan Responsif Gender dalam Pengentasan Stunting sebagai Upaya Hifdzun Nafs bagi Anak

Pendeketan Responsif Gender dalam Pengentasan Stunting sebagai Upaya Hifdzun Nafs bagi Anak (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Indonesia saat ini sedang gencar mempersiapkan Generasi Emas 2045. Ini bukanlah hal yang mudah. Karena kasus stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak masih menjadi isu yang serius dan menjadi prioritas untuk segera dientaskan.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta balita.

Presiden Joko Widodo menargetkan dalam periode kepemimpinannya, angka stunting dapat diturunkan hingga di bawah 20%  pada tahun 2024.

Menurut  Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum. yang merupakan seorang dokter, health influencer dan ahli gizi masyarakat, menegaskan bahwa istilah stunting sendiri harus diluruskan.

Karena selama ini pemahaman yang beredar di masyarakat, stunting identik dengan kerdil atau pendek dan itu merupakan pemahaman yang keliru.

Karena anak yang gemuk atau obesitas juga berpeluang terkena stunting.

Beliau berpendapat, stunting itu adalah suatu kondisi kekurangan gizi kronis yang sangat merugikan bagi seorang anak.

Jika kondisinya akut, yaitu gemuk atau kurus, hitungannya sejak 1000 hari pertama kehidupan. Dimulai sejak bayi masih dalam kandungan hingga usia dua tahun.

Memang salah satu indikatornya adalah panjang atau tinggi badan anak-anak berdasarkan standar deviasi dari kurva pertumbuhan panjang badan anak seusianya.

Indikator berikutnya diukur dari kecerdasan anak. Anak yang stunting bisa mengakibatkan kecerdasannya di bawah rata-anak anak seusianya.

Jadi apabila anak pendek karena genetik orang tuanya, tapi dia cerdas, maka anak itu tidak termasuk kategori stunting.

Anak yang stunting bisa saja memiliki badan gemuk, tidak sama dengan anak-anak yang nampak kurus lantaran kurang makan.

Oleh karena itu, risiko stunting ke depan adalah obesitas, hipertensi, diabetes, gangguan penyakit jantung, dan pembuluh darah.

Pada kenyataannya permasalahan stunting tidak hanya berkaitan dengan masalah kesehatan saja.

Tetapi juga berhubungan dengan faktor lain seperti isu gender dan anak.

Isu kesehatan perempuan yang berdampak pada banyaknya jumlah anak yang terkena stunting, masih dianggap menjadi tanggung jawab perempuan saja.

Mulai dari pemenuhan gizi ibu hamil dan anak, gizi keluarga, pola asuh pada anak, hingga isu stunting pada anak.

Sepertinya hal tersebut hanya dibebankan kepada para ibu, kader Posyandu, bidan yang notabene mereka semua perempuan.

Lalu jika masalah terkait hal tersebut muncul, yang disalahkan juga perempuan.

Budaya patriarki yang masih tumbuh subur di Indonesia, menyebabkan ketimpangan gender di dalam kehidupan keluarga.

Hal inilah yang seringkali mempengaruhi kesehatan perempuan, tak terkecuali pada ibu di masa kehamilan.

Di beberapa daerah sering kali masih menjadi hal yang dimaklumi ketika para istri melakukan pemeriksaan kehamilan ditemani oleh ibunya, atau kerabat perempuannya.

Sementara suami lebih suka bercengkerama dengan teman laki-lakinya, atau asyik melakukan hobinya.

Padahal banyak manfaat yang didapat jika para suami ikut menemani istri ketika check up kehamilan atau turut menemani jadwal vaksin anak.

Selain mendapatkan informasi perkembangan janin dan kesehatan ibu juga anaknya, istri juga merasakan dukungan positif yang lebih dari suaminya.

Selanjutnya kesadaran untuk memenuhi kebutuhan dasar anak salah satunya tentang pola asuh, harus dikuatkan di masyarakat.

Sebab, pola asuh sangatlah mempengaruhi tumbuh kembang anak, hingga kehidupan di masa depannya.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah menerapkan pola asuh yang responsif atau tanggap terhadap kebutuhan dasar anak sejak usia dini.

Pola asuh responsif berperan dalam memberikan perlindungan dari bahaya yang mengancam fisik dan pemenuhan asupan bergizi, mengenali dan merespons sakit yang diderita anak, membantu memperkaya proses belajar anak, serta membangun kepercayaan anak dalam melakukan interaksi sosial.

Sudah seharusnya stunting menjadi tanggung jawab bersama, baik kaum laki-laki, perempuan, keluarga, hingga masyarakat.

Stunting dapat dicegah jika kesetaraan gender terwujud. Hal ini perlu dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dan pemenuhan hak anak oleh seluruh proses pembangunan, yang di dalamnya juga ada pemangku kebijakan.

Melalui Surat Edaran Bersama 4 Menteri, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri PPPA, Strategi Nasional Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) pada setiap program dan anggaran termasuk pada program percepatan penurunan stunting sebenarnya telah diterapkan sejak 2012.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal terkait pencegahan stunting yang responsif gender, upaya ini dibutuhkan komitmen tinggi dan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah, serta landasan hukum yang kuat.

Agar seluruh elemen masyarakat mendapatkan edukasi, serta pemahaman menyeluruh tentang permasalahan yang khas pada perempuan dan laki-laki.

Upaya tersebut juga bisa dilakukan dengan cara membangun persepsi bahwa urusan kehamilan, perencanaan jumlah anak, menentukan alat kontrasepsi, dan memastikan kebutuhan gizi keluarga terpenuhi, menjaga kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab suami istri.

Penurunan stunting juga bisa dilakukan dari sisi ekonomi keluarga yakni suami dan istri memperoleh hak yang sama untuk bisa mengakses pendidikan, untuk bisa berkarya dan menghasilkan pendapatan, juga melakukan perencanaan keuangan bersama secara terbuka.

Selain itu penguatan fungsi keluarga sebagai safe place, baik melalui perluasan jaringan kemitraan dengan memperhatikan relasi gender dan responsif pada hak anak juga harus digencarkan.

Karena salah satu cara yang efektif untuk menerapkan kesetaran gender bisa dimulai dari rumah.

Salah satu caranya yakni dengan saling berbagi peran dalam pengasuhan anak, pembagian tugas domestik, juga menghindari kekerasan dalam rumah tangga baik kekerasan fisik, verbal, psikologis, maupun ekonomi.

Suami dan istri juga harus saling berkomitmen mengokohkan nilai-nilai (agama, budaya, sosial) yang lebih sesuai untuk kehidupan keluarganya.

Upaya-upaya tersebut merupakan salah satu perwujudan ikhtiar orang tua dalam melaksanakan perlindungan jiwa atau hifdzun nafs bagi anak.

Implementasi dan pemberitaan yang masif melalui media sosial sebagai bentuk kampanye positif harus dilakukan oleh berbagai sektor guna menyelesaikan isu ketidaksetaraan gender, isu perempuan dan anak yang saling berkaitan dalam mengatasi masalah stunting.

Jadi siapapun yang siap untuk merencanakan memiliki anak di masa depan harus siap juga dalam mencegah stunting.

Para remaja putra dan putri sebagai calon ayah dan ibu  juga harus memiliki bekal pengetahuan terkait berbagi peran dalam relasi rumah tangga dan fungsi keluarga.

Itulah mengapa pra konsepi (persiapan sebelum kehamilan) dan pengetahuan pra nikah, sangatlah penting bagi para calon orang tua agar generasi di masa depan tumbuh sehat, cerdas, bahagia, dan terbebas dari stunting. []

Zainul Afatmawati

Zainul Afatmawati, ibu dari satu orang anak ini adalah penikmat teh, alam dan kata-kata. Isu komunikasi, media, perempuan, parenting, lingkungan, sosial juga menjadi minatnya. Kini dia juga bergabung di Komunitas Puan Menulis, Momtomomsharing dan Ibu Profesional.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *