Penafsiran dengan Lanjutan Ayat
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seringkali suatu kata dapat diketahui maknanya dari lanjutannya. Semisal anda mendengar si A dan si B sama-sama berkata bahwa bahwa dirinya sakit hati, maka maksud dari sakit hati dapat dipahami dari lanjutan ucapan mereka.
A berkata, “Saya sakit hati mendengar ucapannya yang begitu menyakitkan”
B berkata, “Saya sakit hati karena kecapekan sehingga dokter menyuruh saya istirahat”
Meskipun sama-sama sakit hati, tapi ternyata dari lanjutannya kita paham bahwa si A merasa marah pada perlakuan orang lain sedangkan si B organ hati atau livernya benar-benar sakit.
Dalam memahami ayat Al-Qur’an juga demikian, lanjutan ayat seringkali menjadi kunci bagaimana suatu kata atau narasi seharusnya dipahami.
Perhatikan contoh firman Allah berikut:
وَهُوَ ٱللَّهُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَفِي ٱلۡأَرۡضِ يَعۡلَمُ سِرَّكُمۡ وَجَهۡرَكُمۡ وَيَعۡلَمُ مَا تَكۡسِبُونَ [الأنعام: 3]
Artinya:
“Dialah Allah di banyak langit dan dan di bumi. Dia mengetahui rahasia dan apa yang kalian ungkapkan, juga mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Dari lanjutan ayat tersebut kita tahu bahwa yang dimaksud Allah ada di banyak langit dan di bumi adalah pengetahuan Allah mencakup semua tempat. Jangan dibayangkan Allah ada di semua tempat baik di langit atau pun di bumi, meskipun secara literal di awal ayat menyatakan demikian.
Kaidah yang sama berlaku pada ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ [يونس: 3]
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang menciptakan banyak langit dan bumi dalam enam periode kemudian Dia istawa atas Arasy mengatur segala sesuatu.”
Dari lanjutan ‘mengatur segala sesuatu’ itu kita tahu bahwa maksud istawa di sana bukan duduk, istirahat atau bertempat.
Tapi kondisi Allah yang mengatur semesta yang telah ia ciptakan.
Jadi jangan dibayangkan bahwa setelah Allah menciptakan alam semesta kemudian duduk-duduk berdiam di suatu tempat bernama Arasy.
Inilah logika dalam kitab-kitab tafsir Ahlussunnah Wal Jamaah yang jumlahnya tidak terhitung banyaknya. Dari rangkaian lanjutan ayat dapat diketahui maksud narasi sebelumnya.
Mereka semua meyakini bahwa Allah ada namun tidak bertempat, baik di semua tempat atau di satu tempat sebab Allah bukan jisim sehingga tidak menempati ruang.
Adapun dalam kitab-kitab orang yang menyimpang, ayat pertama di atas diwajibkan untuk dipahami dengan lanjutan ayatnya sebagaimana dijelaskan di sini.
Tapi anehnya tanpa satu pun petunjuk dari Rasulullah ayat kedua diharamkan dipahami dengan cara yang sama.
Akhirnya dalam pandangan mereka sebagian ayat harus dibaca secara kontekstual sedangkan sebagian lagi mereka harusnya dibaca literal.
Ini adalah penyimpangan yang nyata dan nafsu belaka dan sama sekali tidak pernah diterangkan oleh Rasulullah.
Andai memang demikian cara yang benar dalam memahami ayat, tentu Rasulullah sudah pasti menjelaskannya sebab inkonsistensi ini implikasinya sangat besar dan menimbulkan perdebatan tajam selama berbabad-abad lamanya bahkan bisa jadi hingga kiamat. Semoga bermanfaat. []