Pemuka Jahiliyah jadi Pembela Islam, ‘Abu Sufyan bin Harb
Abu Sufyan bin harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah yang sangat menentang dan memusuhi Rasulullah. Dia seorang saudagar yang terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain Al-Abbas Bin Abdul Muthalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.
Ia dilahirkan 10 tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke mekkah Wafat pada 31 H / 652 M. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain arab) lainya. Abu Sufyan bin Harb suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan “Al-Uqab”. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya di pegang olehnya.
Pada masa Jahiliyah Abu Sufyan termasuk tokoh terhormat. Pada masa mudanya, Abu Sufyan pemuka kabilah Abdu Syams. Namun, dengan segala kehormatan itu, Abu Sufyan sangat memusuhi Islam dan berupaya menghalangi orang masuk islam. Setelah hijrah. Kafilah dagang Abu Sufan pernah mau dihadang oleh kaum Muslimin namun ia berhasil meloloskan diri. Inilah pemicu Perang Badar. Abu Sufyan pun memimpin langsung Perang Uhud dan Khandaq melawan kaum muslimin.
Setelah perang badar, ia dinobatkan menjadi pemuka seluruh suku Quraisy setelah tewasnya Utbah bin Rabiah dan Abu Jahal. Setelah perang uhud, ia dinobatkan menjadi kepala semua kabilah dari keturunan kinanah hingga peristiwa Fathu Makkah. Ayahnya dulu panglima perang Bani Kinanah pada perang fijar melawan suku Qais Ailan. Saudarinya adalah Ummu Jamil Arwa binyi Harb, Istri Abu Lahab. Anaknya adalah Ummu Habibah, istri Nabi Saw. Muawiyah bin Abi Sufyan juga putranya, pendiri Daulah Ummayah di Damaskus
Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallâhu ‘anhu adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab radhiallâhu ‘anhu. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu ‘anha. (Ummu Habibah), adalah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.
Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata kepadanya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau” .
Ramlah lalu berkata, “semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga!”
Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya!”
Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ternyata dia merupakan orang yagn paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan mereka.
Tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu!”
Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al-Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan Muhammad dan para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang hendak melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah”.
Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”
Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan!”
Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.
Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah berangkat di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan busurnya, sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased.
Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah, jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah! Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu menasehatinya: “Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan menimbulkan anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Abrang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai sebagfai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah Ta’ala ingin memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri, Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah menang!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”.
Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar! Apa maunya?”
Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad ?”
Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”.
Ia lalu berkata dengan tegas: “Saya lebih percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad!”
Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu”.
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al-Khuza’i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa, wahai Ma’bad?”
Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas kekejaman yang derita kawan-kawannya”.
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?”
Ma’bad berkata lagi, menegaskan: “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!”
Abu Sufyan berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”.
Ma’bad menasehati mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!”
Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan.
Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan terang-terangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan; ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan. Rasululklah Shallallahu ‘alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah itu.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad-Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan. Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah itu, Rasulullah mengutus Abu Sufyan ke Mekkah, Abu Sufyan diminta memberitakan kepada pendudukan Mekkah tentang kedatangan Rasulullah dan pasukannya. Ketika itu Rasulullah berpesan, “Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, Masjidil Haram, atau berada dirumah masing-masing maka ia akan aman”.
Kemudian Abu Sufyan kembali ke Mekkah. Sesampai disana, Abu Sufyan segera memberitakan akan datangnya pasukan Rasulullah dalam jumlah yang besar. Tidak lupa, ia juga menyampaikan pesan Rasulullah dan mengajak orang-orang Quraisy memeluk agama islam.
Semenjak memeluk agama islam, Abu Sufyan bin Harb, ikut serta dalam menyebarkan ajaran agama islam. Ia juga ikut berjuang di Medan perang Yarmuk. Dalam peperangan itu, ia tampak sangat bersemangat menyerang musuh yang seolah-olah hendak menebus dosanya selama ini.