Pemilihan Umum Dalam Pandangan Islam

 Pemilihan Umum Dalam Pandangan Islam

HIDAYATUNA.COM – Sejumlah kalangan umat Islam masih mempersoalkan hukum menjalankan sistem demokrasi. Perdebatan dan adu argumentasi kerapkali terjadi dalam berbagai forum. Hal demikian tidak akan menjadi soal jika hanya terbatas dalam adu gagasan dan tidak menyentuh upaya penggulingan kekuasaan.

Agar tidak terlalu jauh terseret pada polemik dan perdebatan mengenai sistem demokrasi mari lebih fokus mebahas Pemilihan Umum (Pemilu). Kita ketahui Pemilu merupakan salah satu elemen dasar dari demokrasi, bagaimana Islam menghukuminya?.

Sebelum jauh membahas mengenai Pemilu baiknay kita simak dulu pendapat Imam al-Ghazali dan Syekh Adnan al-Afyuni, salah seorang ulama dan mufti Suriah memandang relasi agama dan negara. Keduanya sepakat bahwa:

   الإسلام أس والسلطان حارس وما لا إس له ينهدم وما لا حارس له يضيع

Artinya: “Islam itu pondasi, dan pemimpin negara adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah dirobohkan. Dan segala sesuatu yang berpondasi namun tidak ada yang menjaganya, maka akan berlaku sia-sia”

Baiklah, dengan menggunakan pandangan dasar ini negara dan agama jelas tidak bisa dipertentangkan atau dihadap-hadapkan. Bahkan Kyai Wahab Chasbullah pernah mengatakan, jika ada yang ingin memisahkan agama dan negara sama halnya memisahkan gula dari manisnya.

Pemilu memang baru dikenal dalam sistem pemerintahan modern, jelas belum dikenal dizaman dahulu. Indonesia sendiri telah memilih menggunakan system demokrasi dengan bentuk negara kesatuan sebagaimana disepakati para pendiri bangsa. Perlu diketahui bahwa para pendiri bangsa juga merupakan ulama yang jelas sudah menyepakati bentuk negara Indonesia. Pemilu merupakan salahsatu konsekwensi pilihan system negara tersebut.

Menurut KH Hasyim Muzadi pemilu adalah proses untuk menegakkan kekuasaan negara. Beliau menjelaskan dalam konteks tersebut ikut serta dalam pemilu bahkan meupakan kewajiban. Hal ini senada dengan pendapat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri berikut:

قوله (وواجب نصب إمام عدل) أي نصب إمام عدل واجب على الأمة عند عدم النص من الله أو رسوله على معين وعدم الاستخلاف من الإمام السابق… ولا فرق في وجوب نصب الإمام بين زمن الفتنة وغيره كما هو مذهب أهل السنة وأكثر المعتزلة

Artinya: “(Wajib menegakkan pemerintah yang adil) maksudnya, umat diwajibkan untuk menegakkan pemerintahan yang adil ketika tidak ada nash dari Allah atau rasul-Nya pada pribadi tertentu, dan tidak ada penunjukkan pengganti dari pemerintah sebelumnya… Tidak ada perbedaan soal kewajiban menegakkan pemerintahan di zaman kaos/fitnah atau situasi stabil-kondusif-normal sebagaimana pandangan Mazhab Ahlussunnah dan mayoritas ulama Muktazilah,”

Secara jelas, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan bahwa umat Islam berkewajiban untuk menjaga keberlangsungan kepemimpinan di tengah masyarakat. Kewajiban ini bersifat syari, bukan aqli.

 قوله (بالشرع فاعلم لا بحكم العقل) أي إن وجوب نصب الإمام بالشرع عند أهل السنة فاعلم ذلك

Artinya: “(Berdasarkan perintah syariat, patut diketahui, bukan berdasarkan hukum logika), maksudnya, penegakan pemerintahan merupakan kewajiban sesuai perintah syariat bagi kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Pahamilah hal demikian”.

Pemimimpin yang terpilih melaui Pemilu diharapkan dapat menegakkan kemaslahatan umat. Pemimpin tersebut adalah khalifah yang menduduki peran sebagai al-niyabah li al-nabi (menduduki perang pengganti nabi). Pemilu dapat dipadankan dengan khilafah dalam konteks sebagai sistem atau cara menentukan khalifah (pemimpin). Lebih jelasnya mengenai hal ini kita perlu merujuk pendapat  Ibnu Khaldun sebagaimana telah dinukil oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily berikut ini:

  وحدد ابن خلدون بطريقة أخرى وظيفة الإمامة فقال: هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إلىها؛ إذ أن أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة. فهي (أي الخلافة) في الحقيقة: خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به 

 Artinya: “Ibnu Khaldun menetapkan batasan definisi khilafah ini dengan menyebutnya dengan istilah lain, yaitu tugas pemilihan pemimpin (wadzifatu al-imamah), yaitu suatu upaya mengerahkan daya upaya secara total sesuai dengan kehendak syariat dalam menciptakan kemaslahatan ukhrawi dan kemaslahatan duniawi yang terkait dengannya. Itulah sebabnya, sesungguhnya peran dunia, seluruhnya harus bisa kembali dengan penyandaran kepada Allah, khususnya sebagai wasilah bagi kemaslahatan akhirat. Jadi, dalam hal ini, hakikat dari khilafah (sistem pemilihan pemimpin) itu sendiri adalah sebuah sistem untuk menentukan pengganti dari shahibu al-syar’i (nabi) dalam melaksanakan perannya sebagai penjaga agama (hirasatu al-din) dan mengatur kehidupan duniawi untuk rumah akhirat (siyâsat al-dunya)”.

Berdasarkan definisi Ibnu Khaldun di atas, maka jelas bahwa khilafah hakikatnya merupakan sistem pemilihan pemimpin. Pemilu merupakan cara pemilihan pemimpin di Indonesia. Sangat aneh bila orang-orang yang mendukung khilafah kemudian menolak pemilu. Semoga kita dapat memetik pelajaran. Wallahu a’lam.

Sumber:

  • Syekh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 573.
  • Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118.
  • al-Afyuni, al-‘Alaqah baina Al-Din wa Al-Daulah, halaman 176).

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *