Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Islamisasi Bahasa Sebagai Langkah Awal Islamisasi Sains
Pemikiran Naquib Al-Attas tentang islamisasi bahasa sebagai langkah awal Islamisasi sains. Tulisan menarik dari A Khudori Soleh.
Oleh; A Khudori Soleh
HIDAYATUNA.COM – Salah satu tokoh kunci dalam diskursus Islamisasi sains adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dialah orang pertama yang secara eksplisit menyatakan dan meresmikan proyek Islamisasi ilmu ketika diadakan konferensi Pendidikan Islam Internasional di Makkah, tahun 1977. Ide ini kemudian disempurnakannya sendiri lewat beberapa buku yang ditulis dan diterbitkan tahun 1978. Menurutnya, Islamisasi bukan sekedar mempertemukan atau menyandingkan ilmu umum dan ilmu keislaman tetapi rekonstruki ontologis dan epsitemologis semu bentuk keilmuan agar sesuai dengan nialai-nilai Islam.
Gagasan Naquib ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para intelektual muslim dunia, sehingga pada tahun yang sama diadakan konferensi di Swiss, konferensi di Islamabad, konferensi di Kuala Lumpur dan konferensi di Khortum. Di Amerika, gagasan Islamisasi sains Naquib disambut masyarakat Islam yang dipelopori Ismail Raji al-Faruqi dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi. The International Institute of Islamic Thought (IIIT), di Washinton Dc, bertujuan, 1. Meningkatkan padangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas permasalah global Islam. 2. Mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisai ilmu, kemanusiaan dan sosial dan meneliti serta memahami secara mendalami pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari kemungkinan solusinya 3. Mengembangkan suatu pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. 4. Menghidupkan pemikiran Islam, mengembangkan metodologinya dan menghubungkan dengan tujuan syariah. 5. Mengembangkan, mengkoordinasi dan mengadakan penelitan langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi disiplin ilmu Islam dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. 6. Mengembangkan SDM yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tulisan ini akan mendiskusikan ide-ide Naquib al-Attas tentang Islamisasi sains di atas yang menurutnya harus dan dapat dimulai dari Islamisasi bahasa.
Biografi Singkat
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Jawa Barat, Indonesia, 5 september 1931. Pada usia 5 tahun ia dibawa ke Johor, Malaysia, untuk dididik oleh saudara ayahnya, Encik Ahmad, kemudian Ny. Azizah, istri Engku Abd al-Aziz ibn Abd Majid, seorang menteri besar Johor. Namun, pada masa penjajah Jepang, Naquib pulang ke Jawa Barat dan masuk pesantren Al-Urwah Al-Wusta, sukabumi, belajar bahasa Arab dan agama Islam.
Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer adalah masuk Universitas of Malay, Singapura, 1957-1959. Kemudian melanjutkan di McGill University, Kanada, untuk kajian keislaman (Islamic Studies) sampai memperoleh Master tahun 1963. Selanjutnya, menempuh program doktor pada School of Oriental and Africa Studies, Unvirsitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagi pusat kaum orientalis. Di sini ia menekuni teologi dan metafisika, dan menulis desertasi berjudul the mistik of Hamzah Fansuri.
Berkat semangat dan prestasinya dalam pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, Naquib mendapat beberapa penghargaan, antara lain, diangkat sebagai anggota American Philoshopical Assosiation, penghargaan sebagi ‘Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran’ dari Iran, tahun 1975, dan penghargaan dari Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajianya yang mendalam tentang pemikiran Iqbal.
Gagasan Islamisasi ilmu Naquib al-Attas, pada dasarnya adalah respon intelektualnya terhadap efek negatif ilmu modern (barat) yang semakin tampak dan dirasakan masyarakat dunia. Yang menurutnya akibat dari adanya krisis di dalam basis ilmu modern, yakni konsepsi tentang realitas atau pandangan dunia yang melekat pada setiap ilmu, yang kemudian merembet pada persolan epistomologi, seperti sumber pengetahuna, hubangan antara konsep dan realitas , masalah kebenaran, bahasa dan lainnya yang menyangkut masalah pengetahuan.
Menurut Naquib, pandangan dunia Barat bersifat dualistik akibat dari kenyataan bahwa peradaban Barat tumbuh dari peleburan historis dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai. Yakni peleburan dari peradaban, nilai, filsafat dan aspirasi Yunani, Romawi Kuno dan perpaduannya dengan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat Latin, Jermania, Keltik dan Nordik.
Padangan Dunia
Setiap pengetahuan, secara apriori, menerima adanya realitas sebagai objek pengetahuan, sehingga padangan tentang realitas atau pandangan dunia merupakan dasar dari seluruh bangunan ilmu. Semua pemikiran yang menyangkut masalah ini dalam kaitannya dengan keberadaan teori, maksud alam tataran filsafat, khususnya epistemologi dan filsafat ilmu. Sehubungan dengan ini, Naquib merusmuskan konsepsi tentang realitas, dengan menelaah ulang pemikiran tentang realitas dari para ahli ilmu kalam, filosof dan sufi yang dari kajian-kajian ini ia kemudian menyerukan suatu ‘filsafat ilmu Islam’.
Menurut Naquib, Islam memandang realitas sebagai sesuatu yang ‘ada’ bukan sesuatu yang ‘menjadi’ sebagaimana yang dipahami barat, sehingga objek epistemologinya menjadi tetap, jelas dan pasti, bukan relative dan skeptic. Dengan konsep bahwa realitas adalah ‘menjadi’.
Berbeda dengan filsafat dan sains modern, Naquib menyatakan bahwa pengetahuan datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh kekuatan potensi-potensi manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, maka dari sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan ke dalam jiwa manusia; sebaliknya, dari sisi subyek atau manusianya, pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu objek pengetahuan.
Berawal dari Islamisasi Bahasa
Dari mana kita harus memulai Islamisasi sains? Menurut Naquib, proses Islamisasi atau konsep-konsep diatas, yaitu tentang pandangan dunia, tentang realitas dan epistemologi yang bertujuan untuk mengimbangi dan meluruskan pandangan dunia metafisika dan epistemologi barat yang tidak sesuai dengan tata nilai Islam dan cendurung merusak tata kehidupan manusia itu sendiri. Menurutnya dapat dimulai dari apa yang diistilahkan dengan ‘islamisasi bahasa’. Akan tetapi Islamisasi bahasa yang dimaksud tidak sama dengan arabisasi bahasa sebagaima yang sering terjadi dan dipahami oleh sebagian masyarakat Islam. Islamisasi bahasa mensyaratkan adanya perubaha cara pandang dan pemahaman atas kandungan makna sebuah bahasa, istilah atau kata-kata, berdasarkan atas world view yang digali dari keyakinan dan nilai-nilai ajaran Islam. Islamisasi bahasa tidak mesti diiringi dengan adanya perubahan atau penterjemahan bahasa daerah kepada bahsaa Arab, tetapi yang penting adalah perubahan pemahaman dan kandungan makna lafat atau bahasa yang digunakan.
Menurut Naquib, mesti pengetahuan bersumber dari Tuhan bukan berarti pengetahuan hanya bisa digali dari wahyu. Epistomologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan, dan tidak mengajurkan satu cara melainkan banyak cara untuk mempelajari objek kajian. Konsep ilmu mencakup semua bentuk pengetahuan, yang diperoleh lewat observasi, oleh nalar mapun intuisi. Wahyu Tuhan terdiri atas dua macam, tertulis dan tidak tertulis; yang tertulis adalah al-qur’an dan yang tidak tertulis adalah alam semesta.
Pernyataan Naquib bahwa Islamisasi konsep atau teori harus pararel atau didahului oleh Islamisasi bahasa adalah sesuatu yang bagus dan membantu. Sebab, perubahasan bahasa dan Islamisasi bahasa dapat memberi pengaruh besar pada cara pandang dunia seseorang, sehingga dapat merubah keyakinan dan perilaku yang bersangkutan. Kita harus menggali kembali khazanah bahasa keilmuan Islam yang ada, kemudian menambah vocab baru yang belum dikenal yang mencerminkan metafisaka atau pandangan dunia Islam.
*Magister Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta