Pembahasan Sifat Bagian 4: Memahami Sifat Allah yang Tak Terdefinisikan (Part 2)

 Pembahasan Sifat Bagian 4: Memahami Sifat Allah yang Tak Terdefinisikan (Part  2)

Kenapa Gua Tsur Menjadi Penting dalam Sejarah Nabi Muhammad?

HIDAYATUNA.COM – Ini adalah tulisan terakhir untuk tema pembahasan sifat, yang merupakan bagian keempat dari rangkaian tulisan bertema tersebut dan merupakan bagian kedua dari sub tema memahami sifat Allah yang tak terdefinisikan.

Sekarang kita beralih pada firman Allah lainnya:

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ [ص: 75]

Artinya:

“(Allah) berfirman, “Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan “kedua tangan-Ku”. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?”

Ayat di atas berbicara tentang kesombongan Iblis yang menolak sujud pada Nabi Adam, meskipun tak seperti makhluk lainnya, Adam diciptakan dengan perlakuan berbeda yang Allah ungkapkan dengan “kedua tangan-Ku”.

Bagaimana bisa Iblis begitu congkaknya padahal dia dan seluruh makhluq lainnya diciptakan dengan cara standar sedangkan Adam diciptakan dengan cara istimewa?

Makna “perlakuan istimewa” inilah yang dipahami dari ayat itu oleh semua orang dengan fitrah yang sehat.

Jadi, ternyata meskipun kita tak bisa mendefisikan kata yad dalam sifat Allah (sebagaimana kita bahas di bagian ketiga seri bahasan ini), tetapi kita semua bisa paham maksud seluruh ayat yang berbicara soal itu maupun seluruh hadis terkait itu.

Tak ada satu pun ayat yang tak dipahami. Nabi Muhammad saw paham maksudnya, para sahabat juga paham, kita semua juga paham.

Tak ada satu pun yang mengatakan bahwa Nabi dan para sahabat tak paham. Sungguh aneh bila Ibnu Taymiyah atau siapapun menuduh mazhab Asy’ariyah menisbatkan kejahilan pada Nabi dan para sahabat padahal tak seorang pun Asy’ariyah yang mengatakan itu!

Bagaimana kita bisa paham redaksi itu bila tak mampu mendefinisikan?

Jawabannya adalah pada konteks ayat atau hadisnya itu sendiri. Konteks asal semua ayat dan hadis itu jelas mudah dipahami.

Hanya saja mereka yang gemar memanipulasi konteks itulah yang mencari gara-gara dan bikin ribut dengan mengesankan siapapun yang menolak makna dalam konteks baru yang mereka karang sendiri seolah menentang ayat atau hadis itu sendiri.

Silakan baca tulisan sebelumnya tetang tahrif konteks bila masih rancu tentang ini.

Imam Baihaqy rahimahullah menjelaskan tentang pemahaman kontekstual para ulama Ahlusunnah ini dalam penjelasannya berikut:

الأسماء والصفات للبيهقي (2/ 168)

أَمَّا الْمُتَقَدِّمُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا فَإِنَّهُمْ لَمْ يَشْتَغِلُوا بِتَأْوِيلِ هَذَا الْحَدِيثِ، وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ، وَإِنَّمَا فَهِمُوا مِنْهُ وَمِنْ أَمْثَالِهِ مَا سَيقَ لِأَجْلِهِ مِنْ إِظْهَارِ قُدْرَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَعِظَمِ شَأْنِهِ، وَأَمَّا الْمُتَأَخِّرُونَ مِنْهُمْ فَإِنَّهُمْ تَكَلَّمُوا فِي تَأْوِيلِهِ بِمَا يَحْتَمِلُهُ

Artinya:

“Adapun para ulama terdahulu (ulama salaf yang sejati) dari golongan kami (Ahlussunnah Wal Jama’ah – al-Asy’ariyah & Maturidiyah), maka mereka tak menyibukkan diri dengan mentakwil hadis ini dan apa-apa yang seperti ini (sifat khabariyah Allah). Sesungguhnya mereka hanya memahami darinya dan yang sepertinya sesuai konteksnya yang berupa penampakan kekuasaan Allah dan keagungan-Nya. Adapun para ulama belakangan dari mereka, maka mereka membicarakan takwilnya sesuai makna yang memang dikandungnya.”

Jadi, para ulama salaf memilih tafwidh dan memahami maksud sifat khabariyah itu sesuai konteksnya. Dengan demikian mereka tak perlu melakukan takwil.

Allah berfirman bahwa kedua tangan-Nya terbuka, ya diimani bahwa kedua tangan-Nya terbuka. Allah berfirman bahwa Dia menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya, maka diimani bahwa Allah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya, demikian seterusnya.

Kita imani sifat itu dan kita pahami apa adanya tanpa mengubah konteksnya. Cukup imrar (mengulang redaksi asli) tanpa membahas lebih lanjut.

Maka dari itu, pernyataan ulama salaf selalu menidak. Ketika ada yang mengatakan bahwa yad bermakna kekuasaan atau kekuatan, mereka menolak dan dengan tegas menyatakan tidak!

Tapi ketika ada yang mengatakan bahwa makna yad adalah organ tubuh atau jisim, maka mereka juga keras menolak dan menyatakan tidak.

Inilah poin di mana para pendaku salafi banyak melalukan tadlis (penyamaran kedustaan agar terlihat benar). Mereka menukil pernyataan ulama salaf yang menolak pengartian yad sebagai kekuasaan atau kekuatan.

Tapi tak sekalipun menukil pernyataan ulama salaf yang menolak makna organ tubuh atau jisim supaya orang awam salah paham. Mufawwidh sejati menolak semua tafsirannya sebab mereka mengakui keterbatasan pengetahuannya tentang Dzat Allah.

Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *