Pembahasan Sifat Bagian 4: Memahami Sifat Allah yang Tak Terdefinisikan (Part 1)
HIDAYATUNA.COM – Sebelumnya sudah kita bahas bahwa mendefinisikan sifat khabariyah Allah secara gamblang dengan definisi esensial tidaklah mungkin kita lakukan sebab hakikat Dzat Allah sendiri tak kita tahu.
Kita mampu mendefinisikan seluruh hal di jagad raya yang menjadi tanda-tanda kekuasaan-Nya tapi kita harus menyerah kalau sudah berurusan Dzat-Nya. Beginilah akidah Ahlusussunnah Wal Jama’ah yang direpresentasikan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Lalu pertanyaannya adalah apabila sifat Allah tak terdefinisikan, maka bagaimana kita memahami seluruh ayat atau hadis yang memuat itu?
Apakah berarti kita hendak mengatakan bahwa Nabi mengucapkan sesuatu yang tak dapat dipahami dan bahwa seluruh sahabat tak paham tentang sabda Nabi?
Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan oleh banyak pihak yang tak paham bagaimana manhaj Ahlussunnah.
Namun meski tak paham, tetap saja tak mencegah mereka menuduh representasi Ahlusunnah wal jama’ah ini sebagai mazhab tajhil, mazhab terburuk yang menisbatkan kejahilan pada Rasulullah dan para sahabat.
Sebelum kita membahas jawaban pertanyaan itu, mari kita beralih ke contoh yang lebih sederhana dahulu supaya kita bisa membedakan antara makna dan pemahaman. Simak baik-baik contoh berikut:
1. Dompet saya dianu pencopet.
2. Aku padamu duhai kasihku.
Anda paham bukan kedua kalimat itu? Saya yakin paham. Tetapi meski demikian, anda tak dapat mendefinisikan kata “anu” di contoh pertama dengan tepat sebab kata ini memang tak jelas maknanya.
Tapi ketika kata “anu” yang misterius itu sudah berada dalam konteks tertentu, dalam hal ini adalah “Dompet saya dianu pencopet”, maka kita semua langsung paham bahwa maksudnya dompet saya dicopet.
Contoh kedua lebih ekstrem lagi, kalimat “aku padamu” yang biasa diungkapkan remaja zaman now ini sama sekali tak menyebut kata kerja yang akan didefinisikan.
Tapi tetap saja kita paham kata kerja misterius itu maknanya adalah cinta. Maksudnya, aku cinta padamu duhai kasihku.
Nah, sekarang kita kembali ke topik awal soal sifat Allah. Perhatikan baik-baik redaksi Allah yang menyebut sifat yad atau “tangan” berikut ini:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا [الفتح: 10]
Artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”
Apa yang anda pahami dari redaksi “Tangan Allah di atas tangan mereka” dalam konteks di atas? Semua orang dengan fitrah yang sehat akan mampu memahami ungkapan itu bahwa Allah terlibat dalam baiat yang dilakukan para sahabat kepada Nabi Muhammad itu.
Baiat sendiri dilakukan dengan cara berjabat tangan. Karena itu, ketika mereka menjabat tangan Nabi Muhammad, maka “tangan Allah” juga terlibat di situ di atas tangan mereka sehingga kalau mereka melanggar baiatnya maka mereka akan berurusan dengan Allah. Semua orang paham maksud ayat ini demikian.
Sekarang kita beralih pada firman Allah berikut:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ [المائدة: 64]
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki.”
Semua orang dengan fitrah yang sehat akan paham bahwa ayat di atas sedang membicarakan tentang kedermawanan Allah yang disangkal oleh sebagian Yahudi dengan ungkapan “Tangan Allah terbelenggu”. Ucapan mereka dibantah dengan ungkapan “padahal kedua tangan Allah terbuka.
Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki”. Ayat ini sama sekali tidak sedang membahas tentang “tangan Allah” itu sendiri, tapi kedermawanannya.
Semua orang paham makna ini. Bagi mereka yang teliti, ayat ini justru menunjukkan bahwa Allah sangat dermawan sebab tak hanya menyebut satu tangan tapi dua tangan sekaligus.
Tafsir-tafsir mu’tabar menjelaskan seluruh makna ini.
(Bersambung ke Part 2)