Pembahasan Sifat Bagian 2: Menerjemahkan Sifat Khabariyah Allah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Saya sebelumnya sudah menulis tentang pentingnya menjaga redaksi dan mengungkap kesalahan mereka yang dengan sengaja melakukan tahrif konteks (penyelewengan konteks) sehingga membuat para pembaca salah paham.
Lalu bagaimana dengan melakukan penerjemahan redaksi sifat itu ke bahasa lain? Inilah masalahnya.
Suatu bahasa seringkali mengalami reduksi makna ketika dialihbahasakan ke bahasa lainnya. Ambil contoh kata ‘inggih’ dalam bahasa jawa ketika diterjemah menjadi ‘ya’ dalam bahasa Indonesia maka ada nuansa kesopanan yang hilang.
Demikian pula ketika kata “shalat” kita terjemah ke bahasa Inggris menjadi “prayer”, maka nuansa ritual khususnya hilang menjadi doa secara umum.
Biasanya banyak pendaku salafi yang baper ketika kawan-kawan Asy’ariyah mengkritik mereka yang menerjemah sifat-sifat khabariyah sehingga terkesan seperti rangkaian organ tubuh.
Akhirnya mereka hampir selalu menyimpulkan bahwa Asy’ariyah menolak sifat Allah. Padahal yang ditolak sebenarnya adalah penerjemahan itu sendiri, bukan sifatnya.
Tapi seperti biasa, siapapun yang menolak redaksi mereka, biasanya dianggap menolak redaksi Allah sendiri.
Uniknya, mereka itu tak tahu bahwa menerjemah sifat khabariyah itu dianggap salah oleh para ulama yang biasa mereka nukil namanya.
Ulama seperti Adz-Dzahabi dan Ibnu Qayyim menyetujui larangan terjemah ini sehingga redaksi asal yang dari Allah dan Rasulullah tak berubah.
Yang masyhur tentang ini adalah penjelasan panjang Syaikh Ibnu Suraij as-Syafi’i yang di antaranya berisi:
اعتقادنا فيه وفي الآي المتشابهة في القرآن، أن نقبلها ولا نردها، ولا نتأولها بتأويل المخالفين، ولا نحملها على تشبيه المشبهين، ولا نترجم عن صفاته بلغة غير العربية
Artinya:
“Keyakinan kami dalam hal itu dan dalam ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an adalah kami menerimanya dan tak menolaknya, juga tak mentakwilnya dengan takwil orang-orang yang berbeda, dan tak kami arahkan maknanya ke penyerupaannya para musyabbihin dan kami tidak menerjemahkannya ke dalam bahasa selain Bahasa Arab.”
Pernyataan gamblang Syaikh Ibnu Suraij itu dinukil secara harfiah sebagai hujjah oleh Imam ad-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul al-‘Uluw dan al-Arsy.
Juga dinukil sebagai hujjah oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah. Ketiga kitab ini menjadi rujukan favorit para pendaku salafi di seantero planet ini dan menganggap isinya valid semua.
Kalau sudah dinukil di kitab-kitab itu, bisa ditebak bahwa pernyataan Syaikh Ibnu Suraij itu menyebar juga di kitab-kitab pendaku salafi modern. Lihat saja misalnya di kitab Mausu’ah Mawaqif as-Salaf karya Abu Sahl.
Harusnya, para pendaku salafi ini konsisten mengikuti imam mereka di atas dan tak menerjemah kata “yad” menjadi tangan, kata “istawa” menjadi bersemayam dan seterusnya.
Ini karena kata asli dalam redaksi bahasa Arabnya mempunyai banyak sekali makna yang akan tereduksi ketika dialihbahasakan ke bahasa lain.
Kalau ingin tahu ragam maknanya di bahasa asal dan bahasa tujuan, maka rujukannya adalah kamus.
Perlu dicatat, kawan-kawan yang terbiasa mengikuti tulisan saya akan mendapati saya kadang menerjemah juga.
Hanya saja selalu saya beri catatan makna mana yang saya maksud.
Misalnya ketika saya menerjemah “yadullah” menjadi “tangan Allah”, maka saya selalu menulis bahwa yang dimaksud “tangan Allah” bukanlah sebuah organ tubuh.
Dengan demikian, kekurangan dalam terjemah itu saya tambal dengan keterangan tambahan.
Anehnya, ketika saya mengatakan bahwa “tangan Allah” bukanlah organ tubuh, maka selalu saja ada pendaku salafi yang protes dan menuduh saya mengingkari makna tangan.
Logikanya, kalau dia memprotes pernyataan itu, maka dia sedang berusaha mengatakan bahwa “tangan Allah” adalah organ tubuh bukan?
Tapi anehnya, ketika sudah dikonfirmasi dengan mbuuuuulet akhirnya dia bilang kalau “tangan Allah” yang dia maksud juga bukan organ tubuh. Lalu kenapa protes, aneh bukan?
Yang lebih aneh lagi, dia akan menukil pernyataan yang sangat panjang yang isinya menyalahkan orang yang mengartikan “tangan Allah” sebagai “kekuatan.”
Nah siapa yang mengartikan sebagai kekuatan coba? Sejak awal tak ada yang bilang kata “kekuatan.”
Anggap saja saya sedang pergi ke barat, lalu dia protes teriak-teriak ke saya dengan membawa argumen yang isinya menyalahkan orang yang pergi ke timur.
Semoga bermanfaat.
*** Sebelumnya saya sudah membahas konteks shifat. Sekarang terjemah shifat. Berikutnya, saya akan bahas tentang mendefinisikan shifat lalu takyif shifat lalu klasifikasi shifat. Jangan lewatkan satu pun! Ini satu paket kurikulum yang berharga bagi siapapun yang belajar akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. []