Pekerja Perdamaian Sebut Fundamentalisme Agama Proses Menuju Radikalisasi Agama
HIDAYATUNA.COM, Papua – Pekerja Perdamaian, co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), Ridwan al-Makassary, yang kini sedang meneliti Islam Transnasional di Papua dengan tekanan pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok Salafi Wahabi, khususnya Faksi Salafi Jafar Umar Thalib, mengatakan bahwa radikalisme adalah paham yang berdasarkan pada pemahaman agama yang kembali ke akar atau kembali pada fundamen ajaran agama. Oleh sebab itu, sering diidentikkan dengan fundamentalisme.
“Radikal tidak berbahaya, sepanjang tidak mengalami proses radikalisasi. Ketika ajaran diperjuangkan dengan kekerasan, ia menjadi ekstremisme dan bahkan terorisme. Radikal tidak otomatis teroris. Tetapi teroris sudah pasti radikal dengan mengabsahkan cara kekerasan. Radikalisme adalah prasyarat ekstremisme dan terorisme,” jelasnya, diterima HIDAYATUNA.COM dari laman law-justice.co, Selasa (05/11/2019).
Hizbut Tahir Indonesia (HTI) radikal, tapi belakangan ini nir kekerasan. Sepanjang sejarah, lebih lanjut, dua kali pernah kudeta di Libanon, Mesir, Irak, dan dilarang di Timur Tengah. Front Pembela Islam (FPI) juga radikal, dan acap mengabsahkan pencapaian tujuan amar makruf nahi munkar dengan kekerasan, di tengah absennya negara dan penegakan hukum. Akibatnya, organisasi mereka dinilai relevan. Pelarangan terhadap organisasi mereka dianggap sebagai bagian dari melemahkan Islam.
Negara memang harus ada demi tegaknya hukum, sehingga keberadaan mereka tidak lagi relevan. Kaum radikalis kerap menafsirkan ajaran agama secara ekstrem, terutama ajaran jihad yang dipahami sebagai perang agama an sich dan pendirian negara Islam yang mesti tegak. Inilah yang acap menimbulkan radikalisasi yang mengarah pada ekstremisme.
“Radikalisasi, sejatinya, terjadi tidak hanya murni pada ajaran agama, namun biasa terbangun dan berkelindan dengan deprivasi relatif atau marjinalisasi yang akut, situasi kepahitan dan keterpinggiran; sehingga melahirkan perlawanan yang berbasiskan agama,” paparnya.
Tidak ada teori yang tunggal mengenai terjadinya radikalisasi, tetapi Sageman (2004) menawarkan teori “Bunch of Guys Theory”, bahwa individu yang terpapar radikalisme berasal dari lingkungan dekat, terutama teman dan kekuarga.
“Di tanah air, saya tambahkan, ustadz karbitan atau yang memperjuangkan Islam yang radikal, yang menjadi mentor mereka dalam ketidakpastian nilai atau krisis identitas akut yang dialami, terutama yang latar belakang agamanya minim sejak kecil,” tegasnya.
Persentuhan dengan ajaran agama yang radikal membuat mereka terlahir kembali, setelah merasa hidup dalam kubangan dosa atau dunia yang penuh hura-hura. Dalam pandangan mereka, sebagian dihayati sebagai hijrah melalui pakaian, lalu merasa menjadi orang suci dalam dunia yang memusuhi.
Radikalisme tidak bisa selalu dinilai atau diidentikkan hanya dari pakaian yang digunakan, tetapi bersandar pada pikiran pemakaiannya. Ketika dia menggunakan celana cingkrang atau cadar hanya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan, menjadi muslim atau muslimah yang baik, dan juga tidak ada penghakiman bahwa orang yang tidak seperti mereka salah, serta kafir yang perlu dimusnahkan; tidak ada masalah.
“Namun, kalau dorongan menggunakan cadar atau celana cingkrang karena menganggap dunia di luar mereka tidak suci, kotor, dan mesti membangun tembok tebal eksklusifisme; radikalisasi mungkin sedang bekerja, apalagi dalam sebuah sistem yang korup di satu negara,” terang pekerja perdamaian itu.
Kalau satu negara tidak bisa membangun sebuah tatanan pemerintahan yang bersih dan menjalankan sistem yang jauh dari korup dan otoritarian, maka radikalisme (agama, ekonomi dan politik) akan tumbuh seperti cendawan di musim penghujan.
Radikalisme seyogyanya jangan dijadikan kambing hitam dari meluasnya deprivasi sosial, marjinalisasi dan sistem yang tidak menyertakan semua anak bangsa, akibat kegagalan sebuah rezim yang berkuasa di mana pun, dalam mengantarkan kesejahteraan dan pemerintahan yang bersih.
Pengalaman terancam, diskriminasi, rasisme, teralienasi meningkat dan dibentuk dalam sebuah konteks sosial politik yang melawan atau melemahkan Islam, menyebabkan para radikalis yang menghayati sebagai korban, perlu merubah sistem dengan mengatasnamakan agama, di mana hukum Tuhan yang ditafsirkan secara ekstrem mesti berdiri tegak.
Pada akhirnya, mobilisasi jaringan dari individu yang terancam membuat mereka rela bertindak demi nilai yang diperjuangkan sebagai tugas suci, baik dengan cara bom bunuh diri, atau menarik diri dari dunia yang memusuhi.