PBNU Bersyukur Atas Pengesahan UU Pesantren
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, atau PBNU, KH Said Aqil Siroj mengucapkan alhamdulillah was syukrulillah dengan rasa bersyukur, bangga, gembira bahwa UU Pesantren sudah diputuskan oleh DPR RI atas Rancangan Undang-Undang soal Pesantren jadi undang-undang.
“Sebelum RUU diketok jadi UU, PBNU senantiasa menyokong dan berkoordinasi dengan sejumlah partai termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan juga Kementerian Agama RI,” katanya di Gedung PBNU seperti yang dikutip HIDAYATUNA.COM di NU Online, Rabu (25/9/2019).
Selain itu ia juga berpesan 3 hal yang harus dijaga. Pertama, menjaga independensi pesantren, dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Kedua, pesantren selaku pusat peradaban Islam mempunyai wisdom yang tinggi. Ketiga, relasi Kementerian Agama dan pesantren Adalah mitra.
“Wisdom lokal yang kita banggakan dan dibanggakan oleh masing-masing daerah, maka saban pesantren mengandung nilai-nilai wisdom lokal,” paparnya.
Namun, di sisi lain, UU ini disahkan tidak serta merta persoalannya selesai. Sebab, dalam pandangannya, masih ada peraturan yang di bawah selaku pelaksaaan UU tersebut, seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Agama.
“Saya meminta agar UU ini terus dikawal sehingga independensi pesantren tetap terjaga. UU Soal Pesantren harus mengakui pesantren salafiyah selaku lembaga pendidikan dan tidak terikat dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, kemudian kita tetap independen selaku lembaga pendidikan pesantren, selaku lembaga pendidikan agama,” tegas Ketua Umum PBNU tersebut.
Pada kesempatan lain, Ketua Pengurus Pusat Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) H Abdul Ghoffarrozin juga menyampaikan bahwa pengesahan RUU Soal Pesantren tersebut adalah perjuangan NU yang melakukan amanah Munas NU dari tahun 2017.
“Yang paling penting dari pengesahan RUU Soal Pesantren ialah aspek legitimasi negara kepada pesantren yang mempunyai andil besar bagi negara. Selama puluhan tahun semenjak Indonesia merdeka, pesantren belum memperoleh hal yang kira-kira cukup untuk mengembangkan dirinya,” ungkapnya.
Dengan demikian, kewajiban moral RMI NU selaku suatu wadah pesantren-pesantren NU se-Indonesia. Selanjutnya, legitimasi terpenting jadi kewajiban moral RMI mengawal RUU ini sampai pada level drafting.
“Pengesahan ini terjadi bukan atas andil besar RMI NU selaku lembaga yang aktif di dalamnya, tetapi karomah NU dan para kyai agar RUU ini berhasil,” pungkasnya.